Alt Title

Ramadan Menjelang, Inflasi Pangan Membayang

Ramadan Menjelang, Inflasi Pangan Membayang

 


Sejatinya, dari tahun ke tahun, pada bulan Ramadan, Idul Fitri, dan akhir tahun, selalu mengalami puncak inflasi

Hal ini seharusnya dapat diantisipasi, agar dapat menekan inflasi dan lonjakan harga tidak terus berulang


__________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Ramadan di depan mata. Kaum muslimin bersiap menyambut bulan berkah ini penuh suka cita. Seolah menjadi rutinitas, kegembiraan menyambut bulan suci, selalu dibarengi harga pangan yang melambung tinggi. Fenomena ini, menjadikan semangat membangun kekhusukan beribadah di bulan mulia menjadi terganggu.


Menyambut Ramadan harga sejumlah komoditas seperti biasanya mengalami kenaikan. Sebagaimana pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pada bulan Ramadan mendatang, komoditas pangan akan mengalami inflasi. Harga komoditas yang diperkirakan memberi andil terhadap inflasi pangan, seperti daging ayam, minyak goreng, dan gula pasir. 


Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah dalam konferensi pers Indeks Harga Konsumen di kantornya,  mengatakan bahwa kenaikan harga pangan dipicu oleh permintaan yang meningkat di bulan Ramadan. Pada akhirnya mendorong harga komoditas lain juga ikut merangkak naik. Apalagi beras telah lebih dulu mengalami kenaikan harga, sehingga mendorong inflasi secara umum. (CNBC, 1/3/2024)


Peningkatan harga beras berkontribusi cukup besar terhadap inflasi pangan. Berdasarkan laporan BPS, inflasi bulan Februari 2024 sebesar 0,37 persen secara bulanan. Sementara secara tahunan, inflasi Februari 2024 ini sebesar 2,75 persen dibanding Februari 2023. Dan secara year to date, inflasi pada Februari 2024 mencapai 0,41 persen. (Kumparan, 1/3/2024)


Tak Ada Antisipasi


Bagi kaum muslimin bulan Ramadan adalah bulan mulia. Bulan yang lebih baik dari seribu bulan. Keberkahan pada bulan Ramadan tentu tidak akan dibiarkan sia-sia. Dalam setiap aktivitasnya kaum muslimin akan memberikan yang terbaik. Mulai ibadah mahdoh hingga pemenuhan pangan dan gizi agar selalu sehat melaksanakan ibadah puasa. Melatih anak-anak, memberi makan orang yang berpuasa, berinfak, bersedekah. Semua itu merupakan amal yang senantiasa meramaikan bulan penuh berkah.


Namun sayang, ketika ingin memberikan aktivitas terbaiknya, kaum muslimin dihadapkan pada mahalnya harga pangan. Sehingga, harus merogoh saku lebih dalam, bahkan menggerus tabungan. Itupun jika cukup, kalau tidak harus mengurungkan segala niat baik. Bagi yang kehidupan ekonomi pas-pasan bahkan di bawah standar terpaksa mengubur dalam-dalam untuk mempersembahkan ibadah terbaiknya. Alih-alih memberi untuk orang lain memenuhi kebutuhan diri sendiri saja kesulitan.


Di samping itu, realita kaum muslimin saat ini, pandangan hidupnya dipengaruhi oleh pemahaman kapitalisme. Pemahaman ini menumbuh suburkan sifat konsumtif bagi penganutnya. Sebab, muara pencapaian segala aktivitas adalah materi. Seringkali perintah agama tidak sejalan dengan realitas kehidupan. Fenomena ini mengakibatkan permintaan menjadi semakin meningkat.


Sejatinya, dari tahun ke tahun, pada bulan Ramadan, Idul Fitri, dan akhir tahun, selalu mengalami puncak inflasi. Hal ini seharusnya dapat diantisipasi, agar dapat menekan inflasi dan lonjakan harga tidak terus berulang. Namun sayang, gerak pemerintah selalu kalah cepat dengan pergerakan harga yang terus melambung. Pada akhirnya berdampak pada inflasi.


Faktor Penyebab Problem Pangan 


Secara garis besar kenaikan harga kebutuhan pokok dipengaruhi tiga hal, pertama, tingkat permintaan (demand side). Kedua, ketersediaan stok baik dari produk domestik maupun impor (supply side). Ketiga, kelancaran distribusi hingga ke retail. Ketiga faktor ini tidak lepas dari tata kelola perkonomian. 


Sementara, sistem perekonomian saat ini bercorak kapitalisme liberal. Sistem ini membuat negeri ini harus tunduk dan terikat pada liberalisasi pasar dan perdagangan bebas. Dampaknya memunculkan korporasi pangan yaitu mafia pangan atau para spekulan. Sistem perekonomian ini menjadikan negara mandul dan tunduk di bawah kuasa korporasi. 


Dengan demikian, para mafia pangan inilah yang sesungguhnya berkuasa. Mulai dari kepemilikan lahan, penguasaan rantai produksi, distribusi barang, hingga kendali harga pangan, semua dikuasai korporasi. Karena itu sangat wajar terjadi masalah teknis yang ditimbulkan dari pemenuhan kebutuhan pokok, seperti gangguan cuaca, ketersedian stok pangan, hingga distribusi tidak dapat terselesaikan. Padahal, jika tidak ada bayang-bayang korporasi, maka penyelesaian kebutuhan pangan akan mudah teratasi.


Bayang-bayang Derita di Bulan Penuh Berkah


Sekalipun negeri ini berada dalam naungan sistem kapitalis, tetapi mayoritas penduduknya penganut agama Islam. Para penguasa maupun rakyatnya mayoritas muslim. Para elite penguasa setidaknya menyisakan sedikit rasa empatinya terhadap rakyat. Jika belum bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, minimal melakukan upaya menekan agar harga tak melambung yang mengakibatkan inflasi.


Memang, dibandingkan dengan muslim Palestina, kondisi ini masih jauh lebih beruntung. Namun seharusnya kekhusyukkan Ramadan tidak harus berbagi dengan urusan duniawi yang seharusnya bisa diselesaikan oleh penguasa. Urusan publik, merupakan tanggung jawab para pemegang kekuasaan. Untuk menstabilkan stok pangan, mengendalikan fluktuasi harga komoditas agar tidak meroket, membutuhkan regulasi sistemis. Semua itu hanya bisa dituntaskan oleh pemilik tampuk kekuasaan.


Tidak dapat dimungkiri, pada bulan Ramadan dan lebaran rawan inflasi. Namun juga merupakan kesempatan besar untuk panen pahala melalui sedekah, memberi makan orang yang berpuasa dan lainnya. Sungguh, akan sangat menciderai bulan suci, jika menggunakan kesempatan hanya untuk meraup cuan. Sementara, kaum muslimin dari Ramadan ke Ramadan selalu berada dalam bayang-bayang derita.


Sesungguhnya hanya ada satu jalan untuk berlepas diri dari bayang-bayang derita yaitu menanggalkan kapitalisme. Karena, sistem ini menjadi biang dari segala penderitaan yang ada. Selama sistem kapitalis masih dijadikan tempat bernaung, bayang-bayang derita di bulan penuh berkah akan selalu menyertai.


Dalam Naungan Sistem Islam
 

"Barang siapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang tidak merasakan haus lagi sesudahnya sehingga dia masuk ke dalam surga." (HR. Ibnu Huzaimah)


Hadis ini memotivasi kaum muslim untuk menjalani hari-hari di bulan Ramadan dengan banyak melakukan amal shaleh dan ibadah. Namun syariat ini, akan terasa berat jika ketaatan diemban secara individual. Sementara, Islam memerintahkan negara hadir dalam kepengurusan setiap individu yang warga negaranya. 


Hal ini dapat diwujudkan dengan kebijakan berupa kemudahan dalam menjalani ibadah Ramadan. Agar setiap warga dapat mempersiapkan segala sesuatunya. Merasakan kenyamanan dan fokus dengan aktivitas ibadah terbaiknya. Salah satunya, negara akan mengantisipasi dengan menjaga stabilnya harga pangan sehingga dapat dijangkau masyarakat.


Kemungkinan terjadi peningkatan permintaan di bulan Ramadan bisa saja terjadi. Di sinilah peran negara, yaitu mengawal harga mengikuti pasar dan menghilangkan distorsi pasar, seperti menindak penimbunan barang dan para mafia pangan. Negara dapat turut andil dalam penstabilan harga dengan menambah stok pangan sesuai supply dan demand.


Penerapan Islam oleh negara memungkinkan setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan syariat. Pembentukan kepribadian Islam merupakan tujuan pendidikan dalam Islam. Untuk itu, pola pikir dan pola sikap menghadapi bulan Ramadan dipastikan sudah terbentuk. Oleh karenanya, tidak akan didapati masyarakat yang bersifat konsumtif menghadapi bulan mulia tersebut. Semuanya akan fokus melakukan ibadah terbaiknya. Wallahualam bissawab. [Dara]