Alt Title

Cattleya untuk Syuhada

Cattleya untuk Syuhada

 



Entah apa yang pelautku rasakan. Mungkin memori orang-orang terkasih berkelebat, sembari merapal zikir dan lantunan istighfar nan mencekam. 


Mencoba mengais sisa akhir pijakan iman. Bermuhasabah sambil mendaras nafsiyah.

______________________________


Penulis Embun Cattleya

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, INSPIRASI - Sejatinya, napak tilas langkah manusia serta merta diiringi berita musibah. Namun kala itu, nubari tergetar berbeda. Teh sore tak lagi wangi, kanvas langit menghitam. Ada duka mendalam, nubari tercekam dan tercekat mengikuti warta hari demi hari dengan asa yang membuncah. Tapi nampaknya kian hari asa itu sirna... pupus. 


Asa pupus sembari terkoyak. Angan berkelebat, ngungun tak tentu aral dan arahnya. Kepingan-kepingan badan kapal yang ditemukan menunjukkan bukti, bahwa kapal pelautku sudah pecah. Sedalam 600 meter di bawah permukaan laut, dekat palung. Dengan tekanan air mencapai puluhan atmosfer, baja pun akan remuk terkeremus. Dinding kapal pelautku akan koyak tercabik.


Miris, teriris hati ini. Tak kuasa, bahkan untuk membayangkan. Hari-hari mencekam para pelautku, ketakutan luar biasa. Gelap yang memutus terang asa, panas, pengap, oksigen harus dihemat dengan mengirit napas. Perlahan... rekan pelaut di sisi, mulai lemas. Pingsan sebelum dijemput ajal.


Dinding kapal selam yang berdentum dihantam tekanan air. Terasa bagai fanfare, lonceng kematian. Sekuat apa pun mental, inilah saat paling mengerikan.


Entah apa yang pelautku rasakan. Mungkin memori orang-orang terkasih berkelebat, sembari merapal zikir dan lantunan istighfar nan mencekam. Mencoba mengais sisa akhir pijakan iman. Bermuhasabah sambil mendaras nafsiyah.


"Ya Allah ya Rabbi, aku berserah..." Batin ini terisak membayangkan air mata kalian mengalir deras….


Selamat jalan, pelautku…

Cattleya untukmu para syuhada maritim

Beristirahatlah dalam kedamaian...


Cattleya kurangkai dengan seuntai pesan nubari yang terhunjuk berbalut ketulusan dan pinta, seraya mendaraskan nas Nabi saw.


مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ


“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim: 1915)


Cimahi, 13 Februari 2024. Saat senja menyapa, peristiwa itu pun kembali berkelebat. Dan terurai lagi dalam alur storytelling yang kucoba selesaikan menulisnya. Dalam mengenang tenggelamnya Nanggala 402.... Wallahualam bissawab. [SJ]