Alt Title

PHK Terus Berulang, Mana Peran Negara?

PHK Terus Berulang, Mana Peran Negara?

Dalam sistem Islam masalah pekerjaan benar-benar diatur secara rinci

Pekerja dan pemberi kerja diikat dalam akad ijarah. Perjanjian keduanya harus saling menguntungkan

___________________________________


Penulis Erni Setianingsih, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dilansir dari CNBC INDONESIA (23/01/2024), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali mencuat di awal tahun 2024 ini. Baru-baru ini menimpa sebuah pabrik ban di Cikarang hingga membuat 1.500 orang pekerja terkena PHK. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bop Azam mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena perlambatan ekonomi dunia. 


"Kita menghadapi perlambatan ekonomi sehingga persaingan tambah ketat karena market melambat dan mengecil. Yang tidak efisien akan menghadapi persoalan daya saing. Paling tidak tahun ini saja setiap perusahaan harus menaikkan produktivitas lebih dari 7% untuk meng-absorb kenaikan-kenaikan karena gaji, bahan baku, pelemahan rupiah dan lain-lain," katanya kepada CNBC Indonesia, Selasa (23/01/2024).


Mendengar kata PHK, tentu menjadi bayangan buruk bagi para pencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya. Dan setelahnya menjadi sebuah ancaman yaitu bertambahnya pengangguran. Namun, apabila kita menelaah lebih dalam bahwa salah satu alasan perusahaan menempuh jalan PHK pada masa resesi adalah untuk meminimalkan kerugian.


Sebagaimana diketahui, tujuan berdirinya perusahaan tentu ingin memperoleh keuntungan. Jika pesanannya sepi, pasti tidak ada produksi. Apabila pabrik tidak produksi berarti tidak ada pemasukan, sedangkan mereka harus membayar karyawannya. Jadi, untuk meminimalkan pengeluaran, jalan keluarnya adalah melakukan PHK.


Akibat dari PHK, pekerja yang kehilangan pekerjaannya tidak lagi memiliki pemasukan yang pasti. Mereka akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi di kondisi saat ini serba mahal, harga-harga kebutuhan pokok naik, kesehatan, dan pendidikan juga harus mengeluarkan uang sehingga masyarakat akan kelimpungan.


Ditambah lagi dengan serbuan barang-barang impor yang murah merupakan bukti bahwa pasar lokal saat ini telah dikuasai oleh kaum kapitalis. Perdagangan bebas membuat barang mudah masuk ke dalam negeri dengan harga yang lebih murah. Penduduk Indonesia yang mayoritas berpenghasilan menengah ke bawah pasti lebih memilih barang yang lebih murah harganya, walaupun itu berasal dari luar negeri. 


Sebenarnya ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya PHK di mana-mana, yaitu akibat ketidakpastian ekonomi global berupa dampak buruk penerapan ekonomi kapitalisme yang membawa penyakit bawaan berupa inflasi ataupun resesi. Dan mengapa terjadi inflasi? Ini dikarenakan ekonomi kapitalisme mengandalkan kebijakan moneter pada mata uang kertas, seperti dolar yang rentan inflasi.


Persoalan inflasi ini merupakan kondisi kenaikan harga barang dan jasa terus-menerus. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat turun yang berimbas pada berkurangnya pendapatan perusahaan. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya PHK besar-besaran. Jadi, resesi maupun inflasi, sama-sama berimbas pada PHK.


Dalam sistem ekonomi kapitalisme hanya berputar pada inflasi dan resesi. Apabila menyelesaikan masalah inflasi, bisa menyebabkan resesi. Sebaliknya, menyelesaikan masalah resesi, bisa kembali mengalami inflasi. Ini karena sistem ekonomi kapitalisme bertumpu pada sektor non-riil berbasis riba.


Jadi, jika penerapan sistem ekonomi kapitalisme masih terus berlangsung, sampai kapan pun tidak bisa menghilangkan PHK yang berpengaruh pada jumlah pengangguran sehingga mengakibatkan kemiskinan makin meningkat. Dan pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme tidak memiliki jaminan sosial.


Padahal, pekerja membutuhkan sistem kerja yang memberikan jaminan dan perlindungan bagi mereka. Permasalahan dari sistem ekonomi kapitalisme akan terus berputar seperti itu selama ideologi ini diterapkan. 


Sungguh, negara dalam sistem kapitalisme telah mengabaikan perannya sebagai pelindung rakyatnya. Misalnya, tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Negara memiliki peran penting untuk menyelesaikan masalah pengangguran. Namun, negara yang mampu mewujudkan hal tersebut hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam kafah termasuk ekonomi Islam dan politik Islam.


Dalam sistem Islam masalah pekerjaan benar-benar diatur secara rinci. Pekerja dan pemberi kerja diikat dalam akad ijarah. Perjanjian keduanya harus saling menguntungkan. Dan tidak boleh ada yang melakukan kezaliman. Pengusaha akan mendapatkan keuntungan dari kerja yang dilakukan pekerja dan sebaliknya, buruh akan mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya.


Dengan demikian, sistem Islam pun sudah membagi kekayaan menjadi tiga pilar, kekayaan pribadi, kekayaan negara, dan kekayaan umum. Negara akan memberikan kebebasan rakyatnya dalam mengelola hartanya, asalkan dengan cara yang halal.


Untuk kekayaan negara berasal dari ghanimah, jizyah, fa'i, kharaj, harta tidak bertuan, dan lainnya yang akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan negara. Sedangkan, kekayaan umum yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) akan digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyat (pendidikan, kesehatan, dan sarana-sarana umum lainnya).


Dalam sistem ekonomi Islam juga berfokus pada pembangunan ekonomi sektor riil dan tidak mengenal sektor ekonomi non-riil. Karena ekonomi non-riil bertentangan dengan sistem Islam. Hukum jual beli saham di lantai bursa saham juga haram karena di dalamnya terdapat riba dan akad yang batil.


Walhasil, hanya dengan adanya Khilafah-lah yang akan menjamin kesejahteraan rakyatnya, karena posisi pemimpin dalam Islam adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.


Pemimpin atau khalifah akan mengeluarkan aturan yang tidak memihak kepada segelintir orang namun memihak kepada semua rakyat. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:


"Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari Muslim)

Wallahualam bissawab. [SJ]