Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 8)

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 8)

 


Selama bercerita, Ayla tidak kuasa menahan tangisnya. Hampir 22 tahun, rahasia ini dia pendam. Tidak ada yang tahu bahwa ia punya seorang anak, bahkan suami keduanya juga tidak mengetahui. Abraham hanya mengetahui, ia seorang janda

Dari perkawinan keduanya, Ayla tidak dikaruniai keturunan. Abraham dan ibunya yang telah mengangkatnya dari keterpurukan hidupnya. Tetapi, Allah masih terus mengujinya dengan mengambil kembali Abraham. Allah Swt. lebih sayang kepadanya

_________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - Walaupun warga Turki sekuler, namun dari obrolan yang turun-temurun yang ia dengar, mereka sangat membanggakan peninggalan-peninggalan Islam yang sampai saat ini bangunannya masih berdiri kokoh. Masyarakat juga mengetahui bahwa dulu di Istanbul berdiri sebuah rumah besar bagi kaum muslimin seluruh dunia yaitu Khilafah Islamiyah. Di sinilah, kekhilafahan Utsmani terakhir berkuasa. Sebuah peradaban tinggi yang telah menyatukan bangsa kulit hitam, merah, dan putih dengan sebuah ikatan akidah yang kokoh. Peradaban ini  pernah berjaya selama 13 abad dan wilayahnya meliputi 2/3 dunia. 


Peninggalan itu salah satunya ada di Bursa. Tidak jauh dari tempatnya bekerja, berdiri sebuah masjid yang super megah. Masjid ini terkenal dengan nama Green Mosque atau YesilCamii (masjid hijau). Konon, masjid ini dibangun sekitar abad ke-15 oleh Khalifah Mehmet I, salah seorang khalifah di masa kekhilafahan Utsmani. Masjid ini dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sebagai tempat khalifah menerima tamu-tamu negara, mempersiapkan perang, kajian ilmu, tempat rapat juga untuk peradilan. Bukan hanya itu, khalifah juga menyediakan tempat khusus untuk makan bagi para duafa yang tidak bisa makan, khalifah menjamunya dengan gratis. Begitulah, dulu masjid bukan hanya dipakai untuk salat, tetapi juga aktivitas kenegaraan.


Masih di sekitar area masjid, ada juga bangunan berupa makam. Di situlah Khalifah Celebi Mehmet I dan keluarganya dimakamkan. Makamnya dihiasi dengan dominasi warna hijau dan keramik-keramik yang cantik. 


"Ayla, ayo kita salat. Salat di awal waktu dan berjamaah itu lebih baik, pahalanya 27 derajat," kata Fatimah.


Fatimah adalah teman kerja Ayla. Ia dan suaminya berasal dari Indonesia dan sedang menuntut ilmu di Turki. Ia kerja paruh waktu untuk membiayai kuliahnya. Banyak mahasiswa Indonesia yang bekerja di toko-toko souvenir, menjadi pelayan karena para pemilik toko tahu, banyak wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Turki. Turki menjadi salah satu tujuan favorit yang disukai. Banyak destinasi yang ditawarkan yang menjadi kebanggaan negeri ini. 


Ayla untuk sementara terdiam. Ia tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan Fatimah. 


"Can you speak English?" kata Ayla. 


"Oh, okay." 


Perbincangan pun lalu menggunakan bahasa Inggris. 


Ayla mengambil tas yang berisi peralatan salatnya. Barang ini menjadi istimewa akhir-akhir ini yang senantiasa ia bawa. Maklum, ia belum menutup aurat dengan sempurna.


Berbeda dengan Fatimah. Ia seorang muslimah yang nyaris sempurna di mata Ayla. Salehah, cantik, pintar, dan ramah. Fatimahlah yang selama ini membimbingnya menuju jalan Penciptanya, setelah sekian lama ia tinggalkan. Alhamdulillah, Ayla bisa melaksanakan salat di masjid yang menjadi kebanggaan umat Islam ini. Setelah melakukan salat berjamaah, mereka pun berbincang menghabiskan waktu istirahat.


"Ukhti, kalau ada waktu, aku mau ngobrol denganmu, boleh?"


"Boleh, kapan? Sore ini sepulang kerja, kebetulan ana tidak ada jadwal."


"Ya, boleh," sahut Ayla.


Akhir-akhir ini, Ayla merasakan gundah gulana. Ada kesadaran yang menyeruak dari dalam hatinya, walaupun kesadaran itu datang terlambat. Ayla menyesal, kenapa baru sekarang ia ingat kepada Allah, setelah semuanya terjadi. Tetapi, ia yakin setiap rangkaian cerita pasti ada penyesalan, semoga ia bisa mengambil makna dari arti sebuah kehidupan.


"Gimana, kalau ngobrolnya di rumahku saja, kebetulan suamiku pulang agak larut, karena ada keperluan," ajak Fatimah.


"Boleh, dengan senang hati."


Setelah waktu kerja selesai, mereka pun siap-siap. Dengan berjalan kaki menghabiskan waktu tempuh sekitar 15 menit, akhirnya mereka sampai di tempat yang dituju. Fatimah langsung mempersilahkan Ayla masuk.


"Mau cerita apa, Ayla?"


"Ini sebenarnya aib besar bagiku, Ukhti. Tapi aku ingin berbagi dan minta pendapatmu bagaimana baiknya. Dulu, umurnya masih sangat belia, ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah dengan seseorang yang tidak kukenal sebelumnya. Laki-laki itu anak kawan lama ayah. Ayah terbelit hutang, dan aku yang ditumbalkan. Pernikahan pun dilangsungkan diiringi deraian air mata. Singkat cerita, pernikahan itu tidak berjalan lancar dan hanya bertahan satu tahun, sampai suatu hari, suamiku meninggal karena over dosis obat."


"Masyaallah, betapa tragisnya kisahmu."


"Iya, Ukhti. Satu tahun setelah kematian suami yang tidak kucintai, orang tuaku menyusul karena kecelakaan mobil. Bumi seakan berhenti berputar waktu itu. Tragisnya lagi, di dalam rahimku ada benih yang tidak diinginkan. Sampai kemudian bayi itu lahir, aku sangat membencinya dan memberikannya kepada keluarga suami, untuk diadopsi. Aku sangat menyesalinya, dan aku sendiri tidak tahu, anakku di mana sekarang dan seperti apa dia."


Selama bercerita, Ayla tidak kuasa menahan tangisnya. Hampir 22 tahun, rahasia ini dia pendam. Tidak ada yang tahu bahwa ia punya seorang anak, bahkan suami keduanya juga tidak mengetahui. Abraham hanya mengetahui, ia seorang janda. Dari perkawinan keduanya, Ayla tidak dikaruniai keturunan. Abraham dan ibunya yang telah mengangkatnya dari keterpurukan hidupnya. Tetapi, Allah masih terus mengujinya dengan mengambil kembali Abraham. Allah Swt. lebih sayang kepadanya. 


"Aku selalu dihantui mimpi buruk ukhti. Malam tidak bisa tidur nyenyak. Tapi aku berjanji akan menelusuri keberadaannya."


"Iya, saudaraku, berdoalah kepada Allah. Semoga kalian dipertemukan kembali," kata Fatimah menenangkan saudaranya.


"Apakah, Engkau menyimpan alamat terakhir saudaramu yg membawa anakmu"


"Terakhir saya tahu, mereka berada di Indonesia mengikuti tempat tinggal istrinya."


Setelah mereka ngobrol panjang lebar, Ayla pun pamit. Di luar salju masih turun walaupun mulai berkurang. Ayla merasakan beban di hatinya menjadi ringan. Ia berjanji akan mencari anaknya.


Sesampainya di rumah, hari sudah agak larut. Setelah menengok ibunya yang sudah terlelap dalam buaian malam, Ayla masuk ke kamarnya. Ayla mengambil air wudhu, selesai salat Isya dan berzikir, ia berdoa atas segala kekhilafannya selama ini. Ia berdoa agak dipertemukan kembali dengan anaknya. Ia teringat syair Abu Nawas yang pernah dibacanya.


Ya Tuhanku, hamba tidak pantas menjadi penghuni surga


Namun hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka


Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku


Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar


Dosaku bagaikan pasir dilautan


Maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan


Umurku ini setiap hari berkurang


Sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya


Wahai, Tuhanku hamba-Mu yang telah berbuat dosa telah datang kepada-Mu


Dengan mengakui segala dan telah memohon kepada-Mu


Maka jika Engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni


Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau? [GSM]


- Bersambung -