Alt Title

Mimpi Memberantas Korupsi Hanya Ilusi

Mimpi Memberantas Korupsi Hanya Ilusi

Bukan rahasia lagi, sistem politik demokrasi berbiaya tinggi. Butuh biaya banyak untuk menjadi politisi, pejabat maupun presiden. Menjadikan para politisi ini mencari sponsor dan  uang dijadikan segala-galanya sehingga kekuasaan hanya menjadi lahan mencari pendapatan

Para sponsor ini mau memberikan dukungan modal  dengan perjanjian uang yang dikeluarkan itu akan dikembalikan. Sehingga tidak heran banyak oligarki atau konglomerat menjadikan partai politik seakan seperti kendaraan yang memberikan tiket gratis

___________________________________


Penulis Irmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit akut. Seperti kanker yang sudah mengakar kuat. Upaya mencabut hingga ke akarnya tampaknya tak mampu dilakukan. Bahkan gaji tinggi bukan lagi menjadi jaminan seseorang bisa merasa puas terbebas dari sifat keserakahan.


Dilansir dalam Detik News (27/11/2023), Bupati  Muna Laode Muhammad Rusman Emba dan tersangka lainnya Ketua DPC Gerindra Laode Gomberto terjerat kasus dugaan pemberian suap dalam pengurusan dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) daerah Kabupaten Muna di Kemendagri tahun 2021-2023.


Usut punya usut ternyata kasus ini merupakan pengembangan kasus dari terpidana mantan Dirjen Kesda Kemendagri yang telah ditetapkan sebagai tersangka di kasus suap PEN daerah Kolaka Timur. KPK menetapkan salah satu kepala daerah Sulawesi Tenggara sebagai pemberi suap dan satu pihak swasta.


Berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan korupsi yang kian menjamur, namun belum menjadi solusi. Bahkan korupsi di negeri ini makin menjadi-jadi seolah tiada akhir. Berdasarkan pemberitaan media, modus korupsi pun seolah bergantian dan beragam.


Hal ini menunjukkan sistem politik negeri ini seolah tidak bisa terpisahkan dari praktik korupsi. Sebab akar persoalannya adalah akibat dari penerapan sistem politik demokrasi yang lahir dari pemikiran sekulerisme yakni agama dipisahkan dari kehidupan. Sekulerisme menjadikan para politisi, pejabat dan aparatur tidak memiliki nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintah.


Bukan rahasia publik lagi,  sistem politik demokrasi berbiaya tinggi. Butuh biaya banyak untuk menjadi politisi, pejabat maupun presiden. Menjadikan para politisi ini mencari sponsor dan  uang dijadikan segala-galanya sehingga kekuasaan hanya menjadi lahan mencari pendapatan. Para sponsor ini mau memberikan dukungan modal  dengan perjanjian uang yang dikeluarkan itu akan dikembalikan. Sehingga tidak heran banyak oligarki atau konglomerat menjadikan partai politik seakan seperti kendaraan yang memberikan tiket gratis.


Disisi lain, institusi lembaga negara telah dikuasai segelintir elit politik dan oligarki menjadikan korupsi terlindungi. Ironisnya, banyak pihak baik dari para pejabat dan wakil rakyat yang korup berupaya keras untuk melemahkan KPK satu-satunya lembaga yang diharapkan dalam pemberantasan korupsi.


Jika kasus itu terkait dengan para pihak baik dari para politik, kerabat keluarga maupun pengusaha yang memiliki hubungan atau kedekatan dengan pengusaha, KPK maupun lembaga penegak hukum lainnya bersikap lamban. Bahkan cenderung tidak melanjutkan proses penanganannya tergantung pada kesepakatan diantara pihak yang terlibat dalam kasus korupsi dan para  penegak hukum. Apalagi dengan penerbitan SP3 oleh KPK Penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap obligur Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang secara otomatis terlepas dengan dalih memberikan kepastian hukum.


Tentu hal ini mengusik rasa keadilan publik. Bagaimana mungkin kasus tindak pidana korupsi yang jelas-jelas merugikan negara tetapi diputus bebas begitu saja. Tindakan ini hanya akan memberikan normalisasi bagi para koruptor dan para oligarki yang sudah mengambil uang negara, tetapi tidak terjerat hukum.


Belum lagi, korupsi dapat menyebabkan kemelaratan rakyat. Rakyat yang seharusnya berhak untuk diurusi kehidupannya justru terabaikan. Kerakusan kian menjadi, tatkala muncul kepentingan oligarki  terkait ekonomi dan difasilitasi elit yang mengorbankan rakyat. 


Tidak hanya itu, semuanya juga didasari karena menjabat bukan lagi amanah namun menjadi alat untuk mengeruk kekuasaan dan memperkaya diri. Alhasil uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat diambil.


Karena itu, sistem politik dalam sistem demokrasi hanya akan memberikan celah bertindak korupsi. Berbeda dengan Islam. 


Islam tidak hanya sekedar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah diakhirat kelak. Karena itu  dengan bersandar pada akidah Islam akan mampu memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah, tetapi mencegah sedari dini untuk melakukan korupsi.


Islam dalam pemilihan ataupun pengangkatan penguasa dan pejabat negara diangkat berdasarkan rida pilihan rakyat tanpa biaya tinggi dan untuk melaksanakan syariah Islam. Selain itu, terdapat larangan keras menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar'i baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat.


Pemerintah Islam juga akan membentuk badan pemeriksa keuangan untuk mengetahui pejabat dalam instansi pemerintah yang melakukan kecurangan dengan pengawasan yang ketat serta memberi sanksi tegas yang mampu memberi efek jera diantaranya bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.


Oleh karena itu, perubahan menuju ke arah Islam dan solusi Islam dalam memberantas korupsi harus segera dilaksanakan. Akan tetapi perubahan hanya bisa diwujudkan dengan sistem pemerintah Islam yang menerapkan syariah secara menyeluruh. Sehingga tidak ada lagi cerita koruptor yang bangga apalagi kembali menjadi pejabat negara. Wallahualam bissawab. [GSM]