Alt Title

KDRT Berulang, Alarm Kesehatan Mental Masyarakat Menghilang

KDRT Berulang, Alarm Kesehatan Mental Masyarakat Menghilang

Keluarga dibangun atas asas keimanan dan ditegakkan dengan pengaturan Islam

Masing-masing anggota keluarga berupaya untuk saling mengokohkan akidah satu sama lain, penuh cinta, dan kepedulian 

________________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hari ini kewarasan mental masyarakat menjadi sesuatu yang berharga. Tekanan hidup yang menghimpit seolah menjadi beban yang tak mampu dipikul. Celakanya, orang-orang di sekitar seakan lumrah menjadi pelampiasan. Pada akhirnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) marak terjadi.


Seorang pria berinisial JM tega membakar istrinya (AM) hidup-hidup di kediamannya Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Pemicunya api cemburu yang membakar hatinya saat melihat istrinya chatting-an dengan pria lain. (Kompas[dot]com, 5/12/2023)


Seorang ayah (PD) mengaku telah membunuh keempat anaknya di rumah kontrakannya wilayah Jagakarsa Jakarta Selatan. Pelaku mengaku membunuh keempat anaknya dengan cara dibekap satu per satu berselang 15 menit. Semua dibunuh dalam keadaan sadar. Sementara istrinya tengah dirawat di RSUD Pasar Minggu akibat KDRT yang dilakukan tersangka. Motif PD melakukan hal tersebut diduga karena cemburu melihat istrinya bekerja sedang dirinya jadi pengangguran yang sebelumnya menjadi sopir taksi. (Kompas[dot]com, 9/12/2023)


Faktor Ekonomi dan Disharmonisasi Keluarga


Ada banyak faktor yang menjadi pemicu KDRT. Baik faktor internal misalnya faktor ekonomi maupun faktor eksternal seperti perselingkuhan.  


Faktor ekonomi merupakan penyumbang utama dalam berbagai permasalahan mental. Tidak sedikit orang mengontrak di kota-kota besar terutama Jakarta, mempunyai pekerjaan dengan pendapatan yang sangat minim. Hal ini membuat kondisi ekonomi mereka terganggu. Kesulitan ekonomi memberi tekanan berat yang sangat membebani, khususnya tekanan mentalitas. 


Sementara penguasa kehilangan kepedulian untuk sekadar memikirkan beban masyarakat yang kian hari makin meningkat. Mereka sibuk berpikir tentang kekuasaan dan kelanggengannya. Sehingga problem kesehatan mental masyarakat menjadi problem sistemik.


Di sisi lain, persoalan relasi antaranggota keluarga yang mengalami disharmonisasi. Keluarga seharusnya menjadi sandaran ternyaman menjadi hambar. Sebab masing-masing saling menjauh dengan alasan kesibukan. Maka akhirnya membangun relasi baru di luar keluarga. Namun relasi di luar keluarga terkadang kehilangan batasan. 


Itulah fakta-fakta yang sering kita temukan, pelaku dan korban sejatinya sama-sama mengalami sakit mental. Mirisnya, KDRT seolah menjadi pelampiasan atas sakit mental yang mereka hadapi.


Dr. Arum Harjanti, pengamat masalah perempuan, anak, dan generasi menegaskan bahwa, meningkatnya KDRT, apalagi dilakukan pasangan intim atau orang dekat, jelas menunjukkan tanda masyarakat yang “sakit”. Ketika pasangan intim atau orang-orang terdekat menjadi pelaku kekerasan maka relasi ini merupakan relasi yang salah dalam keluarga. Relasi yang salah sejatinya cerminan sistem yang berlaku hari ini.


Udara Sekuler Kapitalis


Maraknya KDRT, sesungguhnya cukup untuk menjelaskan bahwa kondisi masyarakat tidak sedang baik-baik saja. Keadaan ini disebabkan sebagian besar masyarakat menghirup udara sekuler kapitalis. Sehingga mentalitas dan perilaku mereka jauh dari nilai-nilai agama. Dengan kata lain kesehatan mental merupakan fenomena masalah yang belum bisa dituntaskan. 


Pada tahun 2018 saja, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Sehingga penyakit mental stres, depresi yang berujung pada KDRT telah dianggap sesuatu yang wajar terjadi.


Situasi ini sebenarnya mencerminkan karakter pola asuh sistem sekularisme kapitalisme. Terpisahnya agama dari kehidupan menjadikan masyarakat tidak memiliki daya topang hidup yang benar. Syahwat dan ego bebas berselancar mengendalikan perilaku masyarakat.


Di sisi lain tabiat sistem sekularisme kapitalisme mencekik masyarakat dengan standar materi. Sedang negara bukan negara yang memiliki peran sebagai pengayom bagi masyarakatnya.


Negara berlepas tangan mewujudkan pekerjaan bagi laki-laki. Padahal mencari nafkah merupakan kewajiban utama bagi mereka untuk memberi penghidupan yang layak bagi keluarganya. Oleh karena itu, sekeras-kerasnya para laki-laki bekerja tetap saja belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga secara layak.


Belum lagi PHK yang sering terjadi, menjadikan laki-laki makin sulit mendapatkan uang. Sementara kebutuhan keluarga harus tetap terpenuhi. Dengan demikian sekularisme kapitalisme gagal mewujudkan harmonisasi dalam keluarga. Hal ini disebabkan ketenteraman yang sulit diwujudkan karena banyak masalah yang menyertai.


Islam Solusi Tuntas


Problem sistemik yang terjadi saat ini, sejatinya disebabkan oleh kesalahan pengaturan dan kepengurusan. Juga salah dalam memilih pihak yang mengatur. Untuk itu betapa urgensinya mencari alternatif pengaturan sahih yang mampu menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan permasalahan baru. Sejauh ini tidak ada pengaturan yang lebih baik dari pengaturan Islam.


Penerapan Islam secara menyeluruh dalam aspek kehidupan, baik pada ranah individu, keluarga maupun negara menjadi sangat mendesak. Pada level individu, masyarakat akan terjaga oleh akidah beserta cabang-cabangnya. Pemahaman tentang rezeki, qana'ah, sabar, tawakal dan lainnya telah menjadi pemahaman yang melekat dalam diri individu masyarakat. 


Pada level keluarga, Islam menetapkan bahwa hubungan suami istri adalah relasi persahabatan. Sehingga mampu memberikan kedamaian dan ketenteraman (sakinah) satu sama lain sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-A'raf ayat 189 dan surah Ar-Rum ayat 21. 


Untuk itu Islam telah menetapkan hak dan kewajiban bagi suami istri. Berbekal pengetahuan tentang hak dan kewajiban suami istri inilah, maka pasangan suami istri akan mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Islam juga menetapkan pergaulan suami istri adalah pergaulan yang makruf, berikut dengan anggota keluarga lainya misalnya anak-anak yang lahir di tengah-tengah mereka.


Keluarga dibangun atas asas keimanan dan ditegakkan dengan pengaturan Islam. Masing-masing anggota keluarga berupaya untuk saling mengokohkan akidah satu sama lain, penuh cinta, dan kepedulian. Sehingga ketenangan dan ketenteraman serta penuh tanggung jawab akan terwujud.  


Penjagaan keluarga tertuang dalam firman Allah Swt. yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)


Dalam level masyarakat akan saling beramar makruf nahi mungkar. Untuk menjaga satu sama lain. Sehingga suasana kepedulian senantiasa melingkupi masyarakat.


Pada level negara, terbentuk menjadi pengayom bagi rakyatnya. Penguasa akan senantiasa menginstal syariat dalam memecahkan berbagai persoalan. Mengurus rakyat dengan sebaik-baiknya.


Memenuhi segala kebutuhan pokoknya, sandang, pangan, papan. Menjamin pelayanan publik kesehatan, pendidikan dan keamanan secara berkualitas dan gratis. Terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat menciptakan iklim yang baik bagi kesehatan mental masyarakat. Wallahualam bissawab. [SJ]