Alt Title

Overcrowded Lapas, Grasi Massal Napi Narkoba Jadi Solusi, Apakah Masalah Bisa Tuntas?

Overcrowded Lapas, Grasi Massal Napi Narkoba Jadi Solusi, Apakah Masalah Bisa Tuntas?

 


Sayangnya dalam sistem sekuler kapitalis saat ini, hampir mustahil mewujudkan hal tersebut. Hal ini karena zat terlarang tersebut merupakan komoditas bisnis yang mempunyai nilai jual tinggi. Itulah mengapa, akan senantiasa ada pihak-pihak yang berupaya menyuburkan peredaran barang haram ini

Memang begitulah watak dari sekulerisme. Selama suatu hal bisa memberi manfaat, maka segala usaha akan ditempuh untuk meraihnya, tak peduli apakah hal tersebut halal atau haram, berbahaya atau tidak

_________________________


Penulis Etik Rosita Sari, 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pasca Sarjana


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Peredaran dan penyalahgunaan narkoba sebenarnya bukan merupakan kasus baru di dunia kriminal, termasuk di Indonesia. Seolah telah mengakar kuat, kasus ini bahkan bukan hanya melibatkan orang dewasa. Remaja di bawah umur pun tidak menutup kemungkinan ikut terlibat. Mirisnya, tak hanya sebulan dua bulan sekali, kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba ini terjadi hampir tiap saat. Tidak pernah absen rasanya telinga kita setiap hari mendengar kabar sindikat maupun oknum yang kepergok menggunakan narkoba. Pelakunya pun beragam mulai dari orang biasa hingga publik figur. 


Sayangnya, kondisi ini agaknya tak ditanggapi serius oleh pihak yang berwenang. Buktinya, bukannya membaik, upaya pemberantasan narkoba justru kian mundur. Alih-alih melakukan upaya evaluasi kinerja karena jumlah pelaku kejahatan narkoba seakan tak berkurang, pemerintah justru merencanakan pemberian grasi masal bagi para narapidana penyalahguna narkoba. 


Sebagaimana dilansir dalam mediaindonesia[dot]com (16/9/23), tim percepatan reformasi hukum merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan grasi massal kepada narapidana kejahatan narkoba. Alasannya, ini dimaksudkan sebagai upaya mengurangi overcrowded di lapas. 


Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum dari Kelompok Kerja (Pokja) Reformasi Pengadilan dan Penegakan Hukum, Rifqi S. Assegaf, dalam konferensi pers di Kemenkopolhukam pada Jumat (15/9). Ia menyatakan bahwa adanya rencana grasi massal terhadap penyalahguna narkoba didorong karena kapasitas lapas yang hampir 100% overcrowded. Namun demikian, tambahnya, rencana pemberian grasi tidak serta merta dipukul rata bagi semua pelaku. Ia mengungkapkan harus ada beberapa catatan dan syarat yang wajib dipenuhi. 


“Tentu ada klasifikasi yang harus dilihat, kalau pelaku ada tindak pidana lain, itu dua hal yang berbeda. Kami tegaskan beberapa hal yang menjadi catatan, bukan residivis, bukan pelaku tindak pidana lain dan sebagainya,” ujar Rifqi.


Rencana pemberian grasi massal ini sungguh membuat kita geleng-geleng kepala. Walaupun memang ada hal tertentu yang disyaratkan untuk mendapat fasilitas grasi, tetap saja mengapa begitu mudahnya kejahatan ditolerir hanya karena alasan lapas terlalu penuh?     


Di Balik Lapas yang overcrowded, Fakta overcrowded-nya lapas ini sebenarnya cukup jelas menunjukkan bahwa kejahatan penyalahgunaan narkoba memang masih sangat masif. Buktinya pelakunya kian hari kian bertambah. Sampai-sampai lapas pun akhirnya kehabisan kapasitas dan tercetuslah rencana pemberian grasi massal bagi para narapidana narkoba tersebut. 


Maka, kurang tepat rasanya menyebut bahwa inti masalahnya ada pada overcrowded lapas itu sendiri. Justru, overcrowded ini hanyalah imbas dari adanya masalah utama yang sesungguhnya yaitu maraknya peredaran narkoba yang tak kunjung bisa diberantas.        


Ada beberapa faktor multidimensial yang diprediksi menjadi penyebab sulitnya penyalahgunaan narkoba dibabat. Faktor pertama berasal dari dimensi individu yaitu lemahnya iman dan rusaknya kepribadian. Ini tidaklah mengherankan karena saat ini kehidupan manusia dikendalikan oleh sistem sekuler.


Bercokolnya sistem yang meniscayakan keterpisahan agama dengan kehidupan ini membuat keimanan individu kian terkikis. Bahkan, pada akhirnya ia akan menjadi orang yang jauh dari agama sehingga mudah melakukan perbuatan terlarang termasuk menyalahgunakan narkoba. 


Faktor kedua datang dari dimensi masyarakat. Masyarakat juga mempunyai peran yang tak kalah penting dalam upaya pemberantasan narkoba melalui mekanisme kontrol sosial. Sayangnya, corak masyarakat saat ini yang cenderung cuek dan apatis menjadikan mekanisme tersebut akhirnya tak dapat berjalan efektif. Akhirnya, dengan mandulnya kontrol sosial, para penyalahguna narkoba makin merasa leluasa melancarkan aksi jahatnya.


Selain individu dan masyarakat, faktor terakhir dan terbesar dalam memberikan sumbangsih berasal dari negara. Tak dapat dimungkiri, kemiskinan menjadi salah satu faktor utama yang membuat seseorang rela terlibat dalam bisnis terlarang termasuk narkoba. Jika sudah demikian, peran negara sebagai penanggung jawab dan penjamin kehidupan warga negaranya patut dipertanyakan. Bagaimana bisa negara absen memperhatikan kebutuhan rakyat hingga mereka harus melakukan perbuatan terlarang untuk menyambung hidup? Di mana letak tanggung jawab negara?


Tak cukup sampai di situ, nyatanya kita tak bisa menutup mata dari lemahnya (jika tidak bisa dibilang mandul) sistem aturan dan hukum di Indonesia. Sudahlah sanksinya tak memberi efek jera sampai pelaku kejahatan bisa merajalela dan memenuhi lapas, masih dapat pula ditawar, asal cuan tersedia. 


Selain bermasalah dalam aturannya, alat penegak hukumnya pun tak kalah memprihatinkan. Sudah menjadi rahasia umum, banyak oknum aparat tertentu justru malah menjadi backing-an dari suatu sindikat narkoba. Sekilas memang tak masuk akal, seseorang yang seharusnya menegakkan hukum dan aturan negara justru berbalik melindungi para pelanggar. Namun nyatanya begitulah fakta saat ini berbicara. Sangat menyedihkan bukan?


Selain itu, upaya memberikan grasi masal kepada narapidana narkoba juga menunjukkan bagaimana pemerintah begitu sembrono dalam memformulasikan solusi dari suatu permasalahan. Bahkan hal itu justru bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk memberantas narkoba. Bagaimana tidak, logikanya jika narapidana ini dibebaskan begitu saja, apa yang menjadi jaminan mereka tak akan mengulangi perbuatan yang sama setelah mereka keluar dari lapas? Dengan adanya fasilitas grasi, mereka bahkan mungkin akan berpikir mengulangi kesalahan mereka karena menganggap nantinya grasi akan kembali diberikan. 


Oleh karena itu, jika solusi dari over capacity-nya lapas adalah dengan pemberian grasi massal maka bisa dipastikan hal itu tak akan banyak membuahkan hasil. Ini karena solusi tersebut tak menyentuh akar permasalahan. Alih-alih meringankan masa hukuman, justru yang seharusnya perlu disorot oleh pemerintah adalah bagaimana memutus mata rantai peredaran narkoba sampai ke akar-akarnya. Mengingat selama narkoba masih leluasa beredar, maka narapidana akan semakin banyak dan lapas pun bisa dipastikan akan terus mengalami overcapacity


Sayangnya dalam sistem sekuler kapitalis saat ini, hampir mustahil mewujudkan hal tersebut. Hal ini karena zat terlarang tersebut merupakan komoditas bisnis yang mempunyai nilai jual tinggi. Itulah mengapa, akan senantiasa ada pihak-pihak yang berupaya menyuburkan peredaran barang haram ini. Memang begitulah watak dari sekulerisme. Selama suatu hal bisa memberi manfaat, maka segala usaha akan ditempuh untuk meraihnya, tak peduli apakah hal tersebut halal atau haram, berbahaya atau tidak. 


Memutus Mata Rantai Peredaran Narkoba


Berkaca dari analisis penyebab peredaran narkoba yang multidimensional, maka solusinya pun sudah selayaknya bersifat holistik dan mencakup berbagai dimensi. Tak perlu jauh-jauh mencari, solusi komprehensif semacam ini nyatanya ada di dalam agama kita sendiri, Islam. Islam telah jelas mengatur keharaman narkoba, baik berupa ganja, opium dan zat adiktif lainnya. Imam Abu Daud meriwayatkan dari Ummu Salamah mengatakan, “Rasulullah saw. melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan (menjadikan lemah).” (HR. Abu Daud). Karena narkoba terkategori sebagai barang yang haram, maka Islam pun melarang proses apapun yang melibatkan narkoba termasuk memproduksi, mendistribusikan maupun mengkonsumsi. 


Oleh karena itu, saat syariat Islam benar-benar diterapkan, maka individu yang telah terinstal pemikiran Islam yang kokoh dan mengakar kuat melalui terselenggaranya sistem pendidikan Islam akan secara otomatis menjauhkan diri dari segala sesuatu yang haram, termasuk narkoba. Sementara itu, kontrol sosial masyarakat pun juga tak akan absen karena Islam memandang amar maruf nahi munkar sebagai kewajiban bagi setiap muslim. 


Dua dimensi tersebut ditunjang dengan adanya negara yang akan melakukan upaya maksimal untuk memberantas narkoba dimulai dari penyediaan sanksi takzir yang tegas, bersifat memaksa serta membuat jera. Sanksi takzir ini beragam dan kadarnya ditentukan pada tingkat kesalahannya, bisa berupa kurungan, cambuk, hingga hukuman mati. 


Negara juga akan memastikan bahwa penegak hukum yang dipilih merupakan individu yang jujur dan amanah dengan adanya mekanisme seleksi yang ketat sehingga penyalahgunaan wewenang yang akan menjadi pintu masuk peredaran narkoba pun tak akan terjadi.


Selanjutnya, karena di dalam Islam, negara merupakan penanggung jawab (ra’in) bagi rakyat, maka negara akan melakukan upaya maksimal untuk menyejahterakan rakyatnya termasuk memenuhi segala yang dibutuhkan. Dengan adanya kepedulian negara, maka kemiskinan pun akan jauh dari kehidupan umat sehingga umat tak akan melakukan bisnis haram termasuk narkoba karena alasan tekanan ekonomi.


Mekanisme komprehensif tersebut hanya akan efektif saat Islam tak hanya menjadi teori dan konsep belaka, melainkan benar-benar direalisasikan di dalam kehidupan dengan tegaknya institusi Khilafah Islamiyah. Maka, jika kita menginginkan negeri yang aman dan bebas dari kriminalitas, termasuk peredaran narkoba, sudah saatnya kita menanggalkan sistem sekuler rusak ini dan mengalihkan pandangan pada sistem Ilahi yang akan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.       

Wallahualam bissawab. [GSM]