Alt Title

Mindset dalam Menghadapi Ujian dari Allah

Mindset dalam Menghadapi Ujian dari Allah

Menghadapi ketetapan Allah itu dengan iman

Bahwa semua itu adalah kehendak Allah. Sikap yang demikian akan membuat kita ringan, akan membuat kita siap menghadapi ujian, tidak dalam kepanikan, tidak di dalam kekhawatiran 

_____________________________________


Bersama Ustazah Dedeh Wahidah Ahmad



KUNTUMCAHAYA.com, TSAQAFAH - "Sahabat muslimah yang dirahmati Allah, hidup ini di antara dua, sesuatu yang menggembirakan atau sesuatu yang menyedihkan, ada sesuatu yang sulit ada yang mudah, ada ujian ada juga kelulusan," ujar Ustazah Dedeh mengawali penjelasannya melalui channel youtube MMC (Muslimah Media Center). 


Hidup ini adalah pasangan, Allah Swt. berfirman: 


كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ


Artinya: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS. Al-Anbiya: 35)


"Sahabat muslimah, dari ayat ini Allah memberitahukan kepada kita bahwa yang namanya kehidupan akan berujung kematian. Tidak ada orang yang hidup selamanya, siapa pun dia. Baik pejabat, penjahat, laki-laki, perempuan, yang sakit, maupun yang sehat, maka akan berakhir dengan kematian. Kematian tidak ada kaitannya dengan penyakit, kematian tidak ada kaitannya dengan usia, kematian tidak berkaitan dengan jenis kelamin, kematian bukan karena bahagia atau karena sengsara, kematian itu terjadi karena jiwa yang memiliki nyawa," lanjutnya.


"Allah memberitahukan kepada kita bahwa di dalam kehidupan yang menjadi anugerah bagi kita, Allah mengatakan, "wa nablụkum" (kami akan menguji kalian). Akhirnya apa sahabat, bahwa ujian itu sesuatu yang thabii, ujian itu sunatullah. Setiap orang yang hidup pasti akan diuji," tegasnya.


Lebih lanjut Ustazah menjelaskan bahwa, ujian itu bukan selalu yang jelek, bukan selamanya  keburukan, bukan hanya kesedihan. Allah memberikan ujian bisa dalam bentuk sesuatu yang tidak mengenakkan, itu biasa dianggap sebagai ujian. Sementara  kebahagiaan, naiknya jabatan, tambahnya penghasilan, badan yang lengkap, yang cantik, harta yang melimpah, dianggap bukan ujian. Kemiskinan, kesulitan, kesakitan, itu banyak yang merasakannya sebagai ujian, padahal Allah menyatakan ujian itu bisa Syar bisa Khoir. 


Kemudian selanjutnya Allah menyatakan, "... dan kepada Kami-lah akan dikembalikan." 


Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari ayat ini? Bagaimana sikap seorang mukmin terhadap ujian supaya tidak menjerumuskan kepada  kenestapaan di dunia dan kerugian di akhirat? Jika kita menginginkan setiap ujian bisa bernilai ibadah, bisa mendatangkan keberkahan atau kebaikan, apa yang harus dimiliki seorang mukmin supaya bisa seperti itu? 


Pertama, "Tentu saja kita harus memahami hakikat ujian tersebut. Bahwasanya ujian itu bukan pilihan. Kalau kita boleh memilih, tentunya kita akan memilih jalan yang tidak ada ujiannya, hidup yang tidak ada sulitnya. Tapi karena ujian itu bukan pilihan artinya itu termasuk bagian dari ketetapan Allah," ujarnya.  


Menghadapi ketetapan Allah itu dengan iman. Bahwa semua itu adalah kehendak Allah. Sikap yang demikian akan membuat kita ringan, akan membuat kita siap menghadapi ujian, tidak dalam kepanikan, tidak di dalam kekhawatiran. Karena itu adalah kehendak Allah. Ketika Allah berkehendak, maka segala sesuatu akan terjadi


"Kemudian berikutnya sahabat, yang kedua yang harus dimiliki oleh kita, adalah keyakinan bahwa ujian itu bukan aib," lanjutnya. 


Kadang ada orang yang memiliki mindset yang salah terhadap ujian. Seolah-olah bahwa ujian itu adalah siksaan. Ujian itu adalah aib bagi kita, sehingga kalau orang yang diuji berarti dia bersalah, berarti dia yang banyak dosanya. Padahal tidak demikian. Ujian itu melekat dengan kehidupan. Semua orang yang hidup pasti ada ujiannya. Bukan semua orang yang berdosa itu dapat ujian. Sebab urusan dosa, urusan siksa adalah urusan Allah dan itu adanya di akhirat. 


Kita harus memiliki sikap yang tepat. Ketika mendapatkan ujian bukan berarti kita itu orang yang celaka, orang yang banyak dosanya. Tidak selalu seperti itu. Ujian itu adalah kehendak Allah. Ketika kita menghadapi ujian memiliki sikap yang tepat, bahwa ujian bukan aib, insya Allah kita akan siap menghadapi ujian bukan lari dari ujian.


"Kemudian yang ketiga sahabat, maka yang harus dilakukan oleh seorang mukmin ketika diuji itu apa?" tegasnya. "Hadapi." 


Ketika ujian sudah di hadapan kita maka kita tidak boleh lari. Kita harus menghadapinya. Kita yakin bersama Allah tidak ada yang tidak bisa kita lewati. Karena Allah pemilik kita. Allah pemilik ujian. Allah pemilik persoalan. Allah pula pemilik kunci jawaban dari persoalan itu.


"Ketika kita memiliki mindset yang demikian maka insya Allah ujian itu akan berakhir dengan kelulusan," sambungnya. 


Sebagaimana Rasulullah saw. memberikan petunjuk kepada kita tentang seorang mukmin yang menghadapi ujian dengan tepat. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: 


"Perkara setiap mukmin itu menakjubkan, sesungguhnya setiap urusan mereka adalah kebaikan. Hal ini tidak terjadi kepada seorang pun kecuali bagi orang mukmin. Apabila ia mendapatkan kebahagiaan maka ia bersyukur maka itu baik baginya dan apabila ia mendapatkan keburukan maka ia bersabar dan itu pun baik baginya." (HR. Muslim no. 2999)


"Poin yang ketiga ini sahabat, bagaimana seorang mukmin menghadapi ujian dengan tepat? Ketika yang menimpa sebuah kebahagiaan, sebuah kebaikan, jangan lupa kita bersyukur. Mengembalikan bahwa itu semua dari Allah. Maka itu tidak akan mengubah kita. Kebaikan itu tidak akan membuat kita sombong. Kebaikan itu tidak akan menjadikan kita lupa diri. Kebaikan itu tidak akan membuat kita terlena," jelasnya.


Di dunia sekarang, ketika yang menjadikan standar itu materi, banyak orang yang lupa diri. Lupa kepada penciptanya. Kebaikan bukan mendekatkan dia kepada penciptanya. Ketika dia sudah diberikan kebaikan bukan makin sadar, bukan makin bersyukur, bukan makin rajin beribadah, tapi banyak orang-orang makin jauh dari agamanya. Makin mengagung-agungkan nilai materi.


Itulah kapitalisme dan sekularisme. Tapi seorang mukmin bukan yang seperti itu. Ketika diuji dengan kebaikan maka dia akan mendapat kebaikan. Sebaliknya ketika Allah menghendaki kita dengan ujian-ujian yang tidak mengenakkan, mungkin sakit, mungkin kegagalan, mungkin kesulitan, mungkin sesuatu yang mengecewakan. Itu adalah ujian yang kita hadapi, yang menimpa diri sebuah keberatan, maka seorang mukmin akan menghadapi dengan kesabaran. Kesabaran itu akan menghantarkan dia pada kebaikan. 


"Jadi sahabat, bagi seorang mukmin hidup ini bukan pilihannya ketika mendapatkan sesuatu. Tapi pilihannya sikap apa yang akan diberikan pada sesuatu itu. Jika itu musibah dari Allah, apakah dia akan memilih sabar. Ketika itu suatu kebaikan apakah ia akan memilih syukur," jelasnya.


Mindset kita tentang ujian maka kita juga harus membiasakan untuk mengevaluasi diri. Kadang ujian itu ada peran kita. Mengapa tidak berhasil. Mungkin kita kurang optimal dalam berusaha. Mungkin kita tidak sungguh-sungguh dalam menempuh sababiyahnya. Berarti di balik ujian itu ada kontribusi kita.


Kalau memang karena kelalaian kita, segera kita istigfar. Segeralah kita berkomitmen untuk memperbaiki diri. Sebagai bagian dari umat Islam dengan perbaikan itu insya Allah kita akan semakin semangat untuk berkontribusi dalam perjuangan Islam. Sehingga Islam kafah segera tegak di muka bumi. Insya Allah meraih salihah dengan penerapan Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [Elfia]