Alt Title

Maraknya Perceraian, Salah Siapa?

Maraknya Perceraian, Salah Siapa?

 


Rusaknya ketahanan keluarga begitu nyata di depan mata. Ini terlihat dari tidak berjalannya fungsi keluarga secara baik dan efektif

Ditambah lagi banyaknya persoalan yang membelit keluarga hari ini. Harus diakui memang semua ini merupakan tanda-tanda dan fakta kerusakan keluarga

_________________________


Penulis Erni Setianingsih 

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dalam rumah tangga pasti ada ujian yang dihadapi pasangan suami istri. Namun, hendaknya pasangan suami istri bersabar dalam ujian tersebut. Jika seorang suami mendapati suatu kekurangan pada istrinya, janganlah untuk membencinya secara keseluruhan. Karena, pasti ada kebaikan yang ada dalam dirinya untuk menutupi kekurangannya tadi. 


Rasulullah saw., bersabda:

 "Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminnah. Jika si laki-laki tidak menyukai suatu akhlak pada si perempuan, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai." (HR. Muslim). 


Rasulullah saw. pun juga bersabda:

"Perempuan mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).


Angka perceraian yang masuk atau di terima oleh Pengadilan Agama (PA) Bima sepanjang Bulan Januari sampai dengan Desember 2022, menembus 2.041 perkara. Kasusnya didominasi istri menggugat suami. "Putusan perceraian selama 2022 ada 2.041 perkara," kata Kepala Bidang Informasi dan Pengaduan PA Bima, Subhan, SH., Senin, 2 Januari 2022. (www[dot]suaran[dot]ntb[dot]com, 03/01/2023).


Kasus perceraian yang terjadi sesungguhnya merupakan masalah sosial yang tidak lepas dari realitas yang terjadi di masyarakat. Sebab, masalah perceraian tidak akan lepas dari nilai maupun prinsip hidup yang ada di masyarakat. Prinsip ini lahir dari sistem hidup yang menjadi pengaruh cara pandang masyarakat, termasuk soal rumah tangga. 


Faktor yang menyebabkan perceraian pun beragam, seperti masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ekonomi, judi, perselingkuhan, kawin paksa, dan lain-lain. Kehidupan dalam rumah tangga menjadi terpuruk akibat dari sistem saat ini yaitu sistem sekuler kapitalisme. 


Sungguh miris, maraknya kasus perceraian di negeri ini telah membuktikan bahwa struktur ketahanan keluarga di negeri ini sudah kian rapuh, harapan untuk mewujudkan keluarga yang ideal yakni keluarga yang diliputi suasana yang sakinah, mawaddah, warahmah, di mana suami istri bisa saling menyejukkan pandangan mata, anak-anak yang saleh-salehah dan berbakti kepada kedua orang tuanya, seperti ibaratnya "rumahku adalah surgaku" Namun, hari ini semakin susah ditemukan pada keluarga-keluarga saat ini.


Tetapi malah sebaliknya, "rumahku adalah nerakaku" Setiap masing-masing anggota keluarga merasakan suasana yang tidak nyaman ketika berada di tengah-tengah keluarga mereka. Astagfirullah - naudzubillah.


Penerapan UU yang bernapaskan sekularisme dan materialisme membuat tekanan hidup makin berat. Sebut saja masalah ekonomi, inflasi yang tinggi saat ini terjadi karena pemerintah menerapkan aturan ekonomi kapitalisme. Besarnya inflasi membuat harga kebutuhan pokok naik. Kenaikan ini tidak sejalan dengan naiknya gaji, malah banyak kasus PHK. Kondisi demikian tentu mempengaruhi kemampuan sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhannya.


Apalagi kehidupan saat ini serba mahal akibat dipengaruhi oleh propaganda besar-besaran dari produk-produk industri kapitalistik yang menjadikan keinginan manusia dengan barang-barang semakin menjadikan kebutuhan akan uang semakin besar. 


Dalam sistem kapitalisme saat ini pun juga membawa beban bagi para suami untuk mencari nafkah, karena sebagian besar suami kurang beruntung untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar. Atau ada juga para suami yang hidup di sistem kapitalis saat ini memilih untuk menganggur, alasannya karena malas atau susah mendapatkan pekerjaan. 


Tentu hal ini menjadi alasan jika keluarga-keluarga di dunia ini semakin kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini pun tentunya para istri akan stres sendiri, sehingga banyak yang memilih untuk berpisah dengan suaminya dengan alasan ekonomi.


Rusaknya ketahanan keluarga begitu nyata di depan mata. Ini terlihat dari tidak berjalannya fungsi keluarga secara baik dan efektif. Ditambah lagi banyaknya persoalan yang membelit keluarga hari ini. Tingginya angka perceraian, kenakalan remaja, L98T, kejahatan seksual pada anak, dan berbondong-bondong nya perempuan memasuki dunia kerja baik di dalam maupun di luar negeri (TKW). Harus diakui memang semua ini merupakan tanda-tanda dan fakta kerusakan keluarga. 


Sungguh, amat miris dan memperihatinkan. Namun, bagaimana pun keadaannya, keprihatinan ini tentu tidak boleh dibiarkan. Karena, institusi keluarga adalah penyelamat generasi dan bangsa kedepannya. Sesungguhnya menyelamatkan keluarga dari kehancuran hakikatnya adalah menyelamatkan bangsa dan peradaban.


Dalam sistem Islam, keluarga adalah tumpuan yang utama dan pertama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban. Dan ibu merupakan pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Lalu, bagaimana kondisi anak apabila pendidik pertama dan utama ini tidak lagi mendampingi anak-anaknya? Dan bagaimana pula ketahanan keluarga bisa terjaga? 


Saat ini, bekerjanya perempuan akibat tidak terwujudnya kesejahteraan keluarga akibat dari sistem ekonomi kapitalis. Tata kehidupan diatur sistem sekuler-kapitalisme juga membuat para perempuan terpesona dengan jebakan pemberdayaan perempuan. 


Beda halnya dengan sistem Islam yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagai kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada istri. 


Sehingga para istri tidak bersusah payah bekerja keluar rumah dengan menghadapi berbagai resiko sebagaimana yang dialami para perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalis saat ini. Bahkan negara akan menfasilitasi para suami untuk mendapatkan kemudahan mencari nafkah dan menindak mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Serta mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi, jika suami tidak ada. Dan apabila pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, maka negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para istri/ibu.


Jadi, ketahanan keluarga ditandai terpenuhinya kebutuhan dasar individu dan berfungsinya ketahanan keluarga. Maka generasi berkualitas yang didambakan pun didapatkan. Inilah yang terjadi ketika sistem Islam diterapkan di muka bumi ini. Dan sudah saatnya umat sadar, bahwa hanya Islamlah solusi dari segala aspek kehidupan umat. 

Wallahualam bissawab. [GSM]