Alt Title

Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan

Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan

 


Sebenarnya, berbagai permasalahan rakyat termasuk terpuruknya produksi pertanian dan mahalnya harga kebutuhan pokok di negeri ini adalah buah diterapkannya aturan kapitalisme liberal. Sistem ini membuat negara tunduk pada liberalisasi pasar dan perdagangan bebas. Keberadaan mafia pangan merupakan dampak kebebasan kepemilikan lahan tanpa batas. Akibatnya, penguasaannya terpusat pada siapa saja yang bermodal besar

Petani harus menghadapi korporasi yang menguasai pertanian dari sektor hulu hingga hilir. Selain itu, perjanjian internasional membuat kebijakan impor makin tidak terkendali


___________________________


Penulis Arini Faiza

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pengiat Literasi 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kemarau panjang yang memicu kekeringan dan suhu panas telah berdampak luas bagi masyarakat Indonesia. Mulai dari kebakaran lahan dan hutan, hingga kekurangan air bersih yang terjadi di beberapa wilayah. Fenomena El Nino juga dirasakan dampaknya oleh para petani yang mengandalkan air untuk menggarap sawah. Akibatnya, pasokan beras mulai berkurang hingga kenaikan harga tidak terhindarkan.


Untuk mengurangi beban masyarakat akibat melambungnya harga beras, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) cabang Bandung memberikan bantuan selama tiga bulan yakni September hingga November dalam program cadangan pangan pemerintah (CPP). Sebanyak 7.000 ton beras akan disalurkan setiap bulannya kepada masyarakat di Bandung Raya, Cimahi dan Sumedang. Selain program tersebut. Bulog juga ditugaskan untuk melakukan operasi pasar yang bertujuan untuk menekan kenaikan harga yang terjadi  saat ini. (jabar[dot]antaranews[dot]com, 29/ 09/2023).


Di Indonesia, krisis pangan seolah tidak pernah tersolusikan dengan tuntas. Setiap tahun ketika musim kemarau datang, harga kebutuhan pokok terutama beras pasti melambung tinggi. Padahal negeri ini dikenal sebagai negara agraris yang subur, gemah ripah loh jinawi. Pada 2005 silam, Indonesia pernah menduduki peringkat tiga produsen padi terbesar dunia setelah Cina dan India. Bahkan, tahun 2014 posisi itu masih bertahan hingga lambat laun menurun dan mengubah status Indonesia menjadi negara importir.


Menurunnya produksi pertanian di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya lahan pertanian banyak yang dialihfungsikan menjadi kawasan industri, perdagangan, perumahan, jalan tol, dan infrastruktur lainnya. Padahal, untuk menghasilkan produksi beras berkualitas para petani membutuhkan lahan, bibit, pupuk, pengairan, dan sarana produksi pertanian yang memadai. Semua ini membutuhkan sumber daya dan dana yang tidak sedikit.


Biaya produksi pertanian yang mahal tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapat. Sebab, harga gabah ditingkat petani dihargai rendah ketika panen raya tiba. Akhirnya, mereka menjual sawahnya karena tidak kuat menahan kerugian ketika panen raya. Masalah ini jelas membutuhkan campur tangan penguasa dalam memenuhi kebutuhan petani agar kembali bangkit. Untuk itu, negara bisa memberi subsidi pupuk, bibit, atau pembelian alat-alat produksi dengan harga murah dan terjangkau.


Selain itu, hadirnya mafia pangan semakin membuat nasib petani berada di ujung tanduk. Jika dulu modusnya mengoplos beras Bulog. Kini, mengganti kemasan dengan merek lokal premium. Sejauh ini negara belum melakukan upaya terstruktur dan terukur dalam melakukan antisipasi krisis pangan. Pemerintah hanya mengandalkan impor beras untuk memenuhi stok di dalam negeri. Seakan tidak mau bersusah payah mengurusi pertanian, solusi impor selalu jadi jurus jitu jika terjadi krisis pangan.


Langkah yang diambil pemerintah untuk meringankan beban rakyat dengan memberikan bantuan  dalam jangka waktu tertentu tidak akan mampu menyelesaikan krisis pangan yang terjadi di Indonesia. Sebab, hal itu hanya bersifat sementara. Apabila masa berlakunya telah habis, rakyat kembali menanggung beban berat mahalnya harga beras dan kebutuhan pokok lainnya.  


Sebenarnya, berbagai permasalahan rakyat termasuk terpuruknya produksi pertanian dan mahalnya harga kebutuhan pokok di negeri ini adalah buah diterapkannya aturan kapitalisme liberal. Sistem ini membuat negara tunduk pada liberalisasi pasar dan perdagangan bebas. Keberadaan mafia pangan merupakan dampak kebebasan kepemilikan lahan tanpa batas. Akibatnya, penguasaannya terpusat pada siapa saja yang bermodal besar. Petani harus menghadapi korporasi yang menguasai pertanian dari sektor hulu hingga hilir. Selain itu, perjanjian internasional membuat kebijakan impor makin tidak terkendali.


Berbeda apabila sistem Islam yang dijadikan landasan untuk mengatur kehidupan. Negara hadir sebagai pengayom yang berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Seorang penguasa yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai pengayom rakyat. Semata-mata karena keimanan kepada Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda: “...Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas perihal rakyat yang dipimpinnya....” (HR. Muslim)


Negara dalam sistem Islam akan mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada asing. Yaitu dengan mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan perluasan lahan pertanian dan intensifikasi pertanian. Dengan cara menghidupkan tanah mati dan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan saprotan dengan teknologi terkini.


Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Penguasa akan memasok cadangan lebih saat panen raya dan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.


Pemimpin Islam akan memprediksi cuaca dan mitigasi kerawanan pangan dengan kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca dan dampaknya. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Sebab, Fenomena El Nino bukan yang pertama kali terjadi. Diharapkan dapat diantisipasi lebih dini untuk mengurangi dampak kemarau berkepanjangan yang berpengaruh pada produksi dan stok pangan dalam negeri. Negara harus siap siaga dalam menghadapi perubahan iklim yang ekstrem. 


Sistem Islam dikenal memiliki tata kelola pangan yang hebat. Mulai dari pengaturan kepemilikan lahan, SDA, larangan merusak alam yang berdampak pada perubahan iklim, hingga mitigasi bencana kekeringan dan krisis pangan. Khalifah Umar bin Khaththab, pernah menerapkan inovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Ia sengaja menyulap kawasan delta Sungai Eufrat dan Tigris serta daerah rawa dengan mengeringkannya untuk menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan itu diteruskan hingga Dinasti Umayyah.


Memberikan bantuan selama tiga bulan kepada masyarakat untuk mengatasi krisis pangan sesungguhnya hanya solusi tambal sulam yang bersifat sementara. Kemandirian dan kesejahteraan rakyat negeri ini hanya akan terwujud apabila seluruh kehidupan umat diatur dengan sistem sahih warisan Rasulullah saw. yaitu melalui tegaknya syariat Allah di setiap aspek kehidupan dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam.


Wallahualam bisssawab. [Dara]