Alt Title

Harga Pangan Terus Melejit Rakyat Makin Menjerit

Harga Pangan Terus Melejit Rakyat Makin Menjerit


Dalam sistem Islam ada berbagai cara untuk mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada impor, misalnya dengan mengoptimalkan kualitas produksi pangan, dengan cara melakukan ekstensifikasi (menghidupkan tanah mati) dan intensifikasi (meningkatkan kualitas bibit, pupuk, penyemprotan dengan teknologi yang terkini)

Semuanya mendapatkan perhatian dari negara secara penuh

______________________________


Penulis Ummu Muthya

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member Mustanir


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Harga beras terus merangkak naik, baik dari jenis yang paling murah hingga premium. Menyikapi hal ini, pemerintah segera melakukan tindakan dengan menyalurkan bantuan pada Februari, Maret, dan April lalu.


Baru-baru ini Bandung Dadang Supriatna, kembali memberikan pendistribusian yang kedua, berupa cadangan pangan pemerintah (CPP) sebanyak 2.140 ton per bulan, yang ditujukan khusus untuk masyarakat tidak mampu di 31 kecamatan. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap selama tiga bulan.


Sementara itu, beras jenis medium dipilih untuk menyolusikan harga yang terus melejit. Dengan adanya subsidi ini, diharapkan dapat membantu mengurangi beban rakyat, dengan memberi mereka 10 kg per bulannya. Bapak Bupati pun berharap pembagian yang dilakukan tepat sasaran dan ditujukan pada yang berhak menerimanya. (REPUBLIKA[dot]co[dot]id, 17/09/2023)


Kenaikan harga beras bukan saat ini saja, melainkan hampir terjadi setiap tahunnya dengan kenaikan yang cukup signifikan. Program bantuan yang sifatnya sementara, tentu saja tidak menyolusikan kesengsaraan rakyat, karena beras merupakan makanan pokok yang mesti ada setiap harinya.


Lontaran yang disampaikan oleh sebagian pejabat mengiris hati rakyat yang lagi kesulitan. Ada yang menganjurkan diganti saja dengan umbi-umbian atau jangan terlalu banyak makan nasi biar tidak kena penyakit gula, dan lontaran lainnya.


Padahal bagi rakyat miskin sudah terbiasa pagi makan bisa jadi sore tidak atau hari ini bisa makan besok belum tentu. Apakah tidak terpikirkan oleh mereka bahwa rakyat miskin sudah terbiasa hidup dalam kekurangan? Apakah tidak terpikirkan bahwa harga umbi-umbian juga tidak murah? Bukannya berpikir keras mencari solusi, malah abai dan menyakiti.


Ketika harga beras naik, pemerintah kembali mengeluarkan jurus jitu yaitu dengan mengimpor beras dari negara lain. Padahal negeri ini dikenal memiliki lahan pertanian cukup luas dan subur, namun penguasa lebih memilih mendatangkan dari luar ketimbang mengolah kekayaan alam milik sendiri.


Alih-alih dimanfaatkan, justru saat ini tidak sedikit sawah yang dialihfungsikan menjadi kawasan industri, pembangunan infrastruktur, perumahan elite dan lain sebagainya. Alhasil lahan pertanian terus berkurang dan hasil tani pun makin menurun. Ketahanan pangan hanya sebatas angan, jauh dari kenyataan.


Inilah fakta negara dalam sistem kapitalisme. Seorang penguasa yang seharusnya berusaha menyejahterakan rakyatnya, nyatanya tidak terlaksana. Para petani yang memiliki peran besar dalam keberlangsungan pangan, tidak kunjung mendapat fasilitas dan kemudahan dalam bercocok tanam. 


Padahal jika saja kebutuhan bertani mereka seperti pupuk dan fasilitas lainnya memadai, hasil pertanian akan maksimal dan pemerintah tidak perlu mengandalkan hasil impor dari negara lain. Selain itu, perjanjian internasional menjadikan kebijakan impor semakin tidak terkendali, banyak merugikan rakyat sendiri. 


Akibat mengadopsi kebebasan kepemilikan dan perdagangan bebas, hukum rimba pun berlaku. Di mana siapa saja yang memilki modal besar, dialah yang berkuasa. Petani harus menghadapi korporasi yang menguasai pertanian dari sektor hulu hingga hilir. Akhirnya petani dan rakyat sebagai konsumen sama-sama dirugikan. Konsumen membayar mahal, yang meraih untung besar hanyalah para kapital atau pemilik modal.


Sungguh kondisi di atas sangat jauh berbeda dengan sistem Islam, penguasa lebih memperhatikan rakyat. Islam memiliki konsep aturan sahih yang datang dari Allah Swt. dengan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pemimpin yang diserahi tanggung jawab mengurusi urusan rakyat mesti memperhatikan sabda Rasulullah saw.: 


"Imam (pemimpin) adalah pengurus, ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya." (HR. Bukhari).


Dalam sistem Islam ada berbagai cara untuk mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada impor, misalnya dengan mengoptimalkan kualitas produksi pangan, dengan cara melakukan ekstensifikasi (menghidupkan tanah mati) dan intensifikasi (meningkatkan kualitas bibit, pupuk, penyemprotan dengan teknologi yang terkini). Semuanya mendapatkan perhatian dari negara secara penuh.


Sistem Islam juga memiliki mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan dan praktik riba, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply dan demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Sistem ini juga memiliki tata kelola pangan, mulai dari pengaturan SDA, kepemilikan umum, dan larangan perusakan alam yang berdampak pada lingkungan. 


Negara memliki strategi, bagaimana hasil panen bisa mencukupi kebutuhan rakyat ketika dilanda kekeringan. 


Hanya Islam satu-satunya solusi untuk menyelesaikan persoalan pangan dan yang lainnya, karena hanya sistem inilah yang dapat menjamin kesejahteraan umatnya. Untuk itu marilah bersatu padu untuk menegakkan kembali sistem Islam dalam bingkai negara yang berasaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah. 


Wallahualam bissawab. [SJ]