Lembaga Pengawas Medsos Bungkam Suara Kritis?
Analisis"Teruslah berjuang bagi para konten kreator, pengelola akun dan media Islam. Insya Allah menjadi amal jariyah bagi kita semua. Tidak perlu takut karena yang disampaikan dalam perjuangan adalah kebaikan."
_______________________________
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong menjelaskan wacana pembentukan Lembaga Pengawas Media Sosial. Wacana ini disampaikan Menkominfo, Budi Arie Setiadi, usai serah terima jabatan pada Senin, 17 Juli 2023.
Sebelumnya Budi Arie mengatakan bahwa lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih berfokus mengawasi siaran televisi atau radio. Sedangkan lembaga pengawas media sosial belum terbentuk.
Hanif Kristianto, seorang analis senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) menjelaskan sebab akibat apabila wacana ini disahkan dalam acara Kabar Petang di Khilafah News, Ahad (23/07/2023). Ia mengungkapkan bahwa konten di media sosial ada yang positif dan negatif. Konten juga meliputi berbagai bidang, ada politik, pendidikan, budaya, dan lain-lain.
"Bagaimana mengawasi tangan manusia di ruang digital, yang jelas berbeda dengan di ruang nyata? Jika di dunia nyata, ada konten di pamflet, maka bisa langsung dirobek. Jika di media sosial, berarti di banned atau suspend. Tapi kan mudah jika dibuat lagi," ungkapnya.
Jika diteliti, Hanif mengungkapkan bahwa keputusan ini erat kaitannya dengan politik. Apalagi menjelang tahun politik. Jangan sampai konten kejahatan, pornografi pornoaksi, dan konten negatif lainnya malah terlewat. Sementara yang disasar adalah kritik sosial, edukasi pada publik, kritik pada konten dakwah. Jelas ini sangat disayangkan.
Ia pun memandang betapa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mempunyai peran ganda. Di satu sisi ingin melindungi transaksi elektronik, seperti keuangan dan sebagainya. Tetapi di sisi yang lain terjadi revolusi media sosial sehingga UU ini tidak mampu mengatasi hal itu. Hasilnya, UU ITE memiliki banyak penafsiran seperti mengatur tentang pencemaran nama baik, hate speech, dan lain-lain.
"Melihat situasi saat ini, wacana lembaga pengawas media sosial dapat menjadi alat politik," jelasnya.
Pertama, mengondisikan opini yang terjadi di media sosial. Jadi jika dipahami, media sosial adalah media publik yang orang-orang bebas "numpang" karena ada platform-platform tertentu. Jadi sebenarnya yang mempunyai kuasa adalah pemilik media atau platform. Penguasa hanya bisa mengambil untung dari pajak atau keuntungan lain dari platform media.
"Maka saat ini jika ada turut campur penguasa dan ini menjelang tahun politik, bisa jadi karena ingin memenangkan salah satu calon. Membuat opini untuk bisa meredam keinginan publik akan perubahan. Agar publik merasa cukup diteruskan oleh rezim sebelumnya. Harus diwaspadai jika ini dijadikan alat politik, karena akan memengaruhi opini ke depan. Sedangkan masyarakat menginginkan perubahan," bebernya.
Kedua, adanya motif politik. Terdapat motif politik apalagi di lingkaran kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika dilihat, konten itu beragam. Tidak bisa dilihat satu per satu. Kalaupun ada algoritma atau robot dari platform tersebut, yang muncul hanya kata kunci tertentu. Sementara konten kreator yang membuat konten tersebut, tidak bisa disetir oleh orang tertentu.
"Ini yang harus diamati. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan sebagai alat politik. Meskipun ini baru wacana. Karena biasanya, jika masyarakat hanya diam, wacana ini akan terus bergulir kemudian disahkan," cakapnya.
Adapun Islam mengatur media politik agar kaum muslimin bisa menggunakan media sebagai sarana dakwah. Media adalah sarana komunikasi dakwah pada publik. Agar komunikasi sampai, maka harus ada konten. Konten ini sangat dipengaruhi oleh pembuatnya. Bisa berupa kebaikan atau keburukan.
"Media dalam Islam berfungsi untuk mensyiarkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin yaitu sebagai media dakwah. Seperti sahabat yang mengutus utusan ke wilayah tertentu sampai Islam menguasai 2/3 dunia," terangnya.
Beliau menjelaskan fungsi media di dalam Islam. Pertama, media informasi pada publik untuk menyebarkan kebijakan-kebijakan positif dari negara. Kedua, media dipenuhi dengan edukasi-edukasi yang membangun. Menghindarkan dari konten yang dapat membuat gaduh di masyarakat. Seluruh konten terikat dengan hukum syarak. Serta dijadikan sebagai media dakwah perjuangan.
Lebih lanjut ia menyatakan, "Konten yang dibuat harus sesuai dengan audiens yang menjadi objek dakwah. Contohnya, kepada para intelektual, maka kontennya bisa berupa diskusi yang berkualitas dari analisis sampai solusi. Kalau audiensnya anak muda, maka kontennya juga santai, story telling, cerita pengalaman, dan sebagianya. Sayangnya, konten-konten saat ini sangat jauh dari ide-ide Islam. Yang menjadi patokan adalah ide-ide kebebasan."
"Sekarang kita bebas untuk membuat konten dakwah. Maka harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Ibarat pepatah, gajah mati meninggalkan nama, manusia mati meninggalkan jejak digital. Jejak digital yang kita buat adalah kebaikan untuk mengimbangi opini yang rusak. Teruslah berjuang bagi para konten kreator, pengelola akun dan media Islam. Insya Allah menjadi amal jariyah bagi kita semua. Tidak perlu takut karena yang disampaikan dalam perjuangan adalah kebaikan," pungkasnya.
Wallahualam bissawab. [Siska]