Salah Atur Kapitalisme: Pemuda dalam Bayang-Bayang Duck Syndrome
OpiniDuck syndrome menjadi potret nyata bagaimana standar kehidupan modern yang serba kompetitif
menjerumuskan pemuda pada tekanan luar biasa
_________________________
Penulis Qotrunnada Firdaus
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswi Jember
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Fenomena duck syndrome pertama kali dikenal luas di Universitas Stanford, Amerika Serikat. Istilah ini lahir dari analogi seekor bebek yang tampak tenang mengapung di permukaan air padahal di bawahnya kakinya mengayuh dengan sangat cepat untuk tetap bertahan.
Mahasiswa digambarkan demikian, yaitu tampil percaya diri, penuh ambisi, berprestasi akademik, aktif berorganisasi, dan dikagumi banyak orang. Akan tetapi, di balik senyum dan pencitraan diri yang sempurna, mereka tengah dihantui stres, tekanan mental, dan perasaan terjebak dalam standar kesuksesan semu.
Mereka dipaksa untuk terlihat baik-baik saja meskipun kenyataannya sedang berjuang keras menghadapi tekanan hidup. Fenomena ini kemudian menyebar luas ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, seiring dengan makin ketatnya kompetisi dan tuntutan di kalangan mahasiswa. (Kompas.com, 22-08-2025)
Duck Syndrome Buah dari Kapitalisme Sekuler
Hari ini, kita dapat melihat banyak mahasiswa yang menorehkan prestasi akademik dan non-akademik. Mereka meraih IPK tinggi, memenangkan lomba, aktif di berbagai organisasi, bahkan dikenal sebagai sosok inspiratif. Namun di sisi lain, tidak sedikit kabar duka datang. Di mana mahasiswa yang memilih mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup lagi menanggung beban.
Sebagian di antaranya adalah mereka yang dikenal berprestasi, rajin bahkan terlihat ceria di depan orang lain. Fenomena ini menunjukkan adanya jurang besar antara citra diri yang ditampilkan di permukaan dengan kenyataan pahit yang dialami di balik layar kehidupan.
Duck syndrome menjadi potret nyata bagaimana standar kehidupan modern yang serba kompetitif menjerumuskan pemuda pada tekanan luar biasa. Mereka seakan hidup dalam dua wajah, di satu sisi ingin membuktikan diri dengan kesuksesan yang diakui masyarakat. Namun, di sisi lain jiwa mereka rapuh, kehilangan arah, dan terjerat dalam lingkaran stres yang tak berujung.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja, terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Faktor internal yaitu akidah Islam yang belum matang. Seorang muslim dengan fondasi akidah rapuh cenderung berpikir pendek dalam menghadapi masalah.
Mereka menjadikan ukuran keberhasilan dengan standar dunia seperti tren, pencapaian materi, jumlah followers, atau popularitas. Ketika standar itu tidak tercapai, muncullah rasa rendah diri, kecewa, bahkan putus asa. Selain itu, sifat individualis yang tumbuh akibat budaya liberal semakin memperburuk keadaan.
Banyak mahasiswa memilih memendam masalah sendiri tanpa berbagi dengan orang lain sehingga tekanan mental makin menumpuk. Sementara, faktor eksternal yaitu sistem kehidupan sekuler materialistik menuntut mahasiswa menjadi sosok serba bisa memenuhi standar hidup saat ini. Harus pintar, aktif, kreatif, punya banyak keterampilan, eksis di media sosial, dan selalu terlihat bahagia.
Di saat yang sama, biaya pendidikan makin mahal, lapangan pekerjaan makin sempit, dan standar kelulusan serta syarat kerja semakin tinggi. Semua ini membentuk lingkaran tekanan yang sulit dihindari. Belum lagi standar kesuksesan yang menuntut untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain. Hidup pun berubah menjadi perlombaan tanpa henti yang melelahkan jiwa dan raga.
Jika dibandingkan dengan kondisi pemuda P4lestina, kondisi demikian sangat berbeda. Warga P4lestina hidup dalam bayang-bayang perang, kehilangan keluarga, terluka, bahkan setiap hari menghadapi ancaman kematian. Namun, yang tertanam dalam benak mereka bukanlah citra diri yang sempurna di hadapan manusia, melainkan bagaimana menjaga keteguhan di jalan Allah.
Anak-anak P4lestina tumbuh dengan keyakinan bahwa mati syahid adalah puncak kehormatan. Mereka tetap tersenyum meski lapar, tetap berani menghadapi musuh meski hanya dengan batu di tangan.
Para pakar dan praktisi menyampaikan pada The Associated Prees (voaindonesia.com, 06-07-2024) warga G4za mengalami stres, trauma, cemas, depresi, dan berbagai penderitaan tentu mereka alami. Akan tetapi, arah hidup yang jelas untuk memenangkan Islam dan rida Allah menjadi semangat dan optimisme untuk terus bangkit.
Pemuda P4lestina tidak terjerat dalam duck syndrome karena mereka tidak sibuk membandingkan diri dengan standar duniawi. Justru keteguhan mereka menjadi teladan bagi pemuda muslim di seluruh dunia.
Ketangguhan Pemuda P4lestina Lahir dari Akidah Islam
Seharusnya, kondisi ini menggugah pemuda pemuda muslim di belahan bumi mana pun. Jika anak-anak P4lestina yang hidup dalam penderitaan mampu menjaga keteguhan, mengapa muslim yang hidup dalam kenyamanan justru terjebak dalam ilusi kesuksesan dunia? Pemuda P4lestina semestinya menjadi refleksi motivasi untuk menata kembali visi hidup kita agar tidak terjerumus dalam duck syndrome di bawah sistem hidup sekuler materialistik.
Maka dari itu, dibutuhkan solusi mengakar agar pemuda tidak terjebak oleh duck syndrome, yaitu solusi keimanan dan solusi sistemik. Pemuda muslim harus meneguhkan keimanan bahwa hidup bukan sekadar mengejar kesuksesan dunia, melainkan menjadi khalifah fil ardh yang mengemban amanah untuk meraih rida Allah.
Visi hidup harus diluruskan kembali, hidup bukan sekadar mencari karir, prestasi, atau popularitas, tetapi bagaimana setiap aktivitas bernilai ibadah. Mindset yang keliru perlu diperbaiki, dengan belajar berpikir benar sebelum bertindak, sabar juga ikhlas menjalani ujian, serta menanamkan tawakal dan raja’ (harap) kepada Allah. Selain itu, sikap saling peduli antarsesama perlu ditumbuhkan, agar pemuda tidak merasa sendirian dalam menghadapi tekanan hidup.
Adapun tata hidup dengan paradigma kapitalisme sekuler terus memproduksi masalah dan kesempitan hidup secara kolektif. Maka, solusi sistemik penyelesaian fenomena duck syndrome butuh perbaikan sistem hidup. Satu-satunya sistem yang sahih dan terbukti secara historis maupun empiris berhasil membangun manusia adalah Islam. Di bawah naungan Khil4fah, syariat Islam yang sempurna dan paripurna akan diterapkan secara kafah (menyeluruh).
Dalam Islam, pendidikan menjadi kebutuhan mendasar yang dijamin pemenuhannya. Sistem pendidikan berasas akidah Islam, membangun manusia bervisi yang anti krisis. Sistem ekonomi Islam, dengan asas kemerataannya akan meminimalisir kesenjangan, serta didukung oleh sistem politik berbasis pelayanan terhadap rakyat.
Dengan begitu, generasi muda tidak lagi dipaksa masuk ke dalam lingkaran tekanan yang tidak manusiawi. Generasi dalam sistem Islam akan tumbuh menjadi manusia dengan kepribadian Islam yang tangguh dan turut berkontribusi untuk menjaga Islam. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]