Alt Title

Pinjol dan Paylater Solusi Instan Penuh Risiko

Pinjol dan Paylater Solusi Instan Penuh Risiko

 



Pinjol ataupun paylater nyatanya bukan tanpa risiko.

Telat bayar, utang makin bertambah.

______________________________


Penulis Umi Lia

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member Akademi Menulis Kreatif


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pada lebaran 2025 lalu, ada penurunan jumlah pemudik. Demikian yang dikatakan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi. Turunnya sekitar 4,69% dari 162,2 juta orang menjadi 154,6 juta jiwa. Hal ini tentu berdampak pada aspek akomodasi seperti hotel dan restoran. Diduga penyebabnya adalah karena daya beli masyarakat yang turun. Sementara menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yusran turunnya jumlah pemudik ini terlihat dari penumpang alat transportasi dan pemerintah juga menyatakan memang berkurang 30%. (Pikiran-Rakyat.com, 13-4-2025)


Daya beli masyarakat yang turun terjadi di berbagai daerah termasuk di DKI Jakarta. Penyebabnya macam-macam, di antaranya banyak PHK. Banyak orang yang tidak bekerja, sementara harga kebutuhan terus merangkak naik dan lain sebagainya.


Bukan hanya di Indonesia, secara global ekonomi sedang melemah. Maka wajar saja, tidak sedikit yang terjerat pinjol (pinjaman online). Menurut Yusran, hal itu membuktikan situasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja sehingga sebagian masyarakat memutuskan untuk tidak mudik.


Transaksi Ribawi


Jangankan untuk mudik, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari saja masih harus memutar otak. Adanya pinjol maupun BNPL (buy now pay later) atau paylater dianggap sebagai solusi cepat atau praktis menutupi kebutuhan yang sifatnya mendesak. Paylater digunakan masyarakat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, melainkan juga untuk gaya hidup. Sebagian masyarakat merasa bahagia dan merasa lebih bergengsi ketika uangnya banyak dan memiliki barang-barang branded. Terutama di saat menjelang hari raya atau kumpul keluarga.


Meski begitu, faktanya terlihat dari catatan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) bulan Februari 2025 utang rakyat negeri ini lewat paylater naik menjadi Rp21,98 trilyun. Meski angka ini sedikit turun dari posisi Januari 2025 yang berada di Rp22,57 trilyun, secara tahunan justru terlihat kenaikan yang cukup signifikan yakni sebesar 36,6%. 


Pinjol ataupun paylater nyatanya bukan tanpa risiko. Telat bayar, utang makin bertambah. Makin besar utang makin sulit untuk melunasi. Gagal bayar bisa menimbulkan beban psikologis. Muncullah kasus bunuh diri karena stres, hingga rumah tangga jauh dari kata harmonis. 


Kapitalisme Mendorong Konsumerisme


Keadaan ini terjadi karena pengaruh sistem kapitalisme yang menomorsatukan kepentingan pemilik modal dibanding kebutuhan masyarakat luas. Negara lebih berperan sebagai regulator yang sekadar mengatur jalannya roda  ekonomi, bukan sebagai pelayan sekaligus penanggung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan asasi warga. Termasuk dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. Rakyat dibiarkan berusaha keras dalam kondisi yang tidak kondusif. Karenanya, terjadilah ketimpangan yang lebar antara yang kaya dan yang miskin. Sementara kesejahteraan justru menjadi hak istimewa bagi mereka yang berada di lingkungan kekuasaan dan memiliki modal.


Selain itu, kapitalisme yang menilai kebahagiaan hanya dari sisi materi terus mendorong sikap konsumerisme hingga menjadi budaya. Tidak peduli utang berbunga tinggi, yang penting bisa memenuhi hasrat belanja demi kepuasan. Lebih parah lagi pengguna pinjol dan paylater 70 persennya adalah kalangan anak muda. 


Tingginya nilai pinjaman masyarakat, jelas bukan sebuah prestasi yang harus dibanggakan. Apalagi pinjaman ribawi yang diharamkan. Tapi itulah kapitalisme yang mengabaikan peran agama dalam kehidupan. Negara memfasilitasi dan menyuburkan berbagai transaksi yang melanggar aturan Tuhannya. Orientasinya hanyalah keuntungan. 


Islam Mengharamkan Riba


Berbeda dengan Islam, agama ini sudah mengharamkan muamalah ekonomi yang mengandung riba, apa pun bentuk dan modelnya, serta berapa pun jumlahnya. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 275:

"... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali mengambil (riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."


Dalam perspektif Islam, persoalan seperti jerat utang paylater, ketimpangan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat yang terabaikan tidak hanya dianggap sebagai masalah teknis keuangan. Namun sebagai konsekuensi dari diterapkannya ideologi yang rusak secara struktural seperti yang terjadi saat ini. Jadi solusinya adalah mengubah sistem, bukan memperbaiki sistem yang rusak. Yaitu menggantinya dengan sistem Islam, menerapkan hukum Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupan.


Hidup Sejahtera dalam Sistem Islam


Negara yang menerapkan syariat Islam, penguasanya akan bertanggung jawab menyejahterakan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Pemimpin akan melaksanakan kewajibannya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan tanpa membebani masyarakat dengan biaya yang tidak terjangkau. Penguasa juga bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja yang layak agar seluruh warganya dapat hidup dengan mandiri tanpa bergantung kepada utang.


Sistem ekonomi Islam sepenuhnya bebas dari riba, karena pada  seluruh bentuk transaksi utang piutang diwajibkan bebas dari bunga dan denda. Sebagai gantinya negara akan mengelola sistem keuangan berbasis akad-akad syariah.


Selain itu negara juga akan menjaga distribusi kekayaan agar tidak terpusat di tangan segelintir elit, dengan mengelola harta milik umum seperti sumber daya alam (SDA) untuk kemaslahatan seluruh umat. Hasilnya kembali lagi kepada rakyat dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis, pelayanan transportasi murah, juga berbagai kemudahan akses terhadap pelayanan lainnya.


Dengan demikian, masyarakat tidak akan terdorong untuk mencari solusi instan melalui paylater atau bentuk ribawi lainnya. Karena kebutuhan pokok dan dasarnya telah terjamin. Secara otomatis masyarakat akan menghindari riba. Karena penguasa melarangnya dan memberi sanksi bagi siapa pun yang melanggarnya.


Oleh karena itu, negara tidak membolehkan adanya lembaga atau aplikasi yang menggunakan transaksi ribawi atau yang tidak sesuai syariat. Semua ini akan dijalankan oleh khalifah yakni pemimpin kaum muslim yang amanah, yang memang telah diberi mandat oleh rakyat untuk mengurus umat dengan hukum Allah. Wallahualam bissawab.[GSM-MKC]