Alt Title

Mudik Nyaman, Bukan Hanya dengan Tiket Murah

Mudik Nyaman, Bukan Hanya dengan Tiket Murah



Layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam pandangan komersil

akibatnya harga tiket transportasi publik mahal 

________________________


Penulis Ria Nurvika Ginting, SH, MH

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Mudik merupakan tradisi umat muslim yang akan berhari raya dikampung halaman, setelah lama berada diperantauan. Tradisi ini merupakan momen dimana untuk bersilahturahmi dan berkunjung ke sanak saudara yang telah lama tidak berjumpa, terutama orang tua.


Mudik merupakan tradisi tahunan di Indonesia yang mana penduduknya mayoritas muslim. Setiap tahun di momen mudik ini pembahasan soal transportasi yang murah, aman dan nyaman merupakan hal penting. Segala kebijakan dilakukan pemerintah untuk memberikan kenyamanan bagi pemudik. 


Lebaran tahun ini pemerintah akan mengadakan mudik gratis kembali. Ini disampaikan oleh menteri Koordinator BIdang Infrastruktut dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang bekerja sama dengan Kementerian BUMN.


Ia pun menekankan bahwa kuota tahun ini mencapai 100.000 orang. Selain mudik gratis, pemerintah juga akan memberikan diskon 20% bagi pemudi yang pulang kampung dengan kendaraan pribadi serta tiket penerbangan domestik kelas ekonomi akan dikorting 13-14%. (vivanews.com, 1-3-25) 


Kebijakan ini hanya menekankan kepada gratis dan murahnya transportasi yang diberikan oleh pemerintah ketika akan mudik (momen lebaran). Jika kita telaah lebih jauh, masalah transportasi bukan hanya sekedar murahnya saja atau ketika moment tertentu saja. Transportasi umum terutama merupakan kebutuhan masyarakat yang perlu diperhatikan dengan seksama oleh pemerintah. Pembahasan transportasi tentu tidak hanya dari sisi biaya tapi juga sarana dan prasarana yang terkait dengannya. 


Paradigma Kapitalisme-Sekularisme


Permasalahan transportasi ini bukan sekadar masalah teknik, namun masalah sistemik. Paradigma yang salah bersumber dari paham kapitalis-sekuler yang mengesampingkan aturan agama dalam kehidupan. Segala sesuatu dinilai dengan untung-rugi, begitu pun dengan transportasi dianggap sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan keuntungan sehingga dikomersialisasikan sebab orientasinya materi. 


Cara pandang ini mengakibakan kepemilikan fasilitas umum diserahkan dan dikuasai oleh perusahaan atau swasta yang secara otomatis memiliki fungsi bisnis bukan pelayanan. Bahkan, negara bisa tunduk pada para kapital transportasi.  


Menurut kapitalis, pelaksanaan pelayanan publik negara hanya berfungsi sebagai legislator yang bertindak sebagai operator diserahkan kepada mekanisme pasar. Layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam pandangan komersil, akibatnya harga tiket transportasi publik mahal namun tidak disertai dengan layanan yang memadai. Fasilitas  tol bekerjasama dengan swasta hingga rakyat harus membayar jika ingin menikmatinya. Apabila ada ruas jalan yang rusak tidak ada perbaikan secepatnya karena jalur tersebut bukan jalur utama. Jika diperbaiki maka diperbaiki dengan kualitas yang buruk. 


Dengan paradigma ini maka wajar jika harga tiket yang melambung tinggi (mahal) untuk menikmati transportasi ini. seharusnya harga murah bahkan gratis bukan hanya dirasakan ketika mudik tapi juga diluar mudik. Kebutuhan transportasi umum harusnya menjadi hal yang dapat dinikmati oleh masyarakat kapan saja. Namun, kenyataannya tidak demikian. Inilah salah satu kebijakan populis yang diambil oleh kepemimpinan hari ini. 


Islam dan Transportasi


Sistem Islam yang dengan rinci telah mengatur persoalan transportasi. Dalam pandangan Islam pengolahan trasportasi merupakan kewajiban negara yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Negaralah yang bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan trasportasi yang nyaman dan terjangkau untuk rakyat. Sebagaimana hal ini telah terbukti secara histroris yang dicontohkan oleh para khalifah. 


Pada masa khalifah Umar bin Khattab beliau menyampaikan bahwa “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat kelak.” 


Paradigma ini yang digunakan beliau sebagai pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan trasportasi. Dengan sistem Islam yang berlandasakan akidah Islam yang menjadikan syariat sebagai penuntunnya. Dimensi akhirat menjadi hal utama yang penting untuk diperhatikan. Islam telah menetapkan bahwa seorang pemimpin negara (khalifah) merupakan pengurus urusan rakyat (pelayan rakyat) bukan hanya sekadar sebagai regulator seperti dalam sistem kapitalis-sekuler.


Mekanisme sistem transportasi dalam Khilafah adalah dengan membangun infrastruktur yang memadai hingga dapat mempelancar transportasi yang beroperasi. Sementara dana transportasi/infrastruktur akan diambil dari posko kepemilikan negara dan kepemilikan umum yang tersedia di Baitulmal.


Inilah yang menjadi penyokong khilafah dalam menyediakan transportasi yang nyaman dan terjangkau (murah) untuk rakyat. Dengan menegakkan kembali syariat dalam setiap lini kehidupan termasuk dalam sistem ekonomi Islam yang mengatur mengenai kepemilikan. Salah satunya adalah sumber daya alam yang seharusnya dimiliki negara harus dikembalikan ke negara hingga dapat dimanfaatkan untuk pengurusan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing.


Maka, satu-satunya solusi untuk persoalan umat saat ini termasuk masalah mahalnya biaya trasportasi adalah dengan diterapkannya syariat Islam secara kafah (menyeluruh) disetiap lini kehidupan dalam sebuah institusi negara yakni Daulah Islamiah. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]