Alt Title

Privatisasi dan Eksploitasi Kepemilikan Umum: Haram dan Merugikan Umat

Privatisasi dan Eksploitasi Kepemilikan Umum: Haram dan Merugikan Umat

 


Perlu reformasi sistemik, baik dalam hukum, ekonomi

maupun sosial untuk mencegah kejadian serupa

______________________________



KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Terungkap fakta baru terkait pemasangan pagar di perairan Tangerang. Ternyata area laut yang dipagari telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa penerbitan dua sertifikat tersebut ilegal. Pemagaran ini diduga bertujuan untuk meningkatkan nilai tanah tersebut. (Republika.co.id, 20-01-2025)
 

Keberadaan pagar laut sepanjang 30 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang telah menimbulkan kontroversi dan kritik. Pagar bambu tersebut membatasi akses nelayan lokal, menghambat aktivitas mereka, dan diduga menyebabkan kerusakan lingkungan. Fenomena ini menjadi perhatian publik. Tidak hanya karena dampaknya, tetapi dari perspektif hukum positif, hukum Islam, dan implikasinya terhadap pembangunan berkelanjutan.

 

Nelayan setempat melaporkan penurunan hasil tangkapan hingga 50% karena pagar tersebut menghalangi jalur perahu mereka. Perahu-perahu mereka sering rusak akibat menabrak bambu, terutama saat gelombang besar.


Ini menunjukkan ketimpangan ekonomi yang signifikan. Kelompok kecil yang menguasai lahan tersebut mendapatkan keuntungan ekonomi, sementara komunitas nelayan yang bergantung pada laut mengalami kerugian ekonomi yang besar, bahkan mengancam mata pencaharian mereka. Ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat kecil dan rentan.

 

Pemasangan pagar laut tanpa izin melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.


Pelanggaran hukum ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Proses perizinan yang seharusnya melindungi kepentingan publik justru dapat dimanipulasi demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sanksi yang tertera dalam UU meski berat, belum tentu efektif sebagai pencegah jika penegakan hukumnya lemah.

 

Dalam syariat Islam, laut merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai perorangan atau swasta. Prinsip ini menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial. Penggunaan sumber daya alam harus untuk kepentingan umum dan berkelanjutan. Bukan untuk keuntungan pribadi semata. Pemagaran tersebut melanggar prinsip keadilan dan pemerataan dalam Islam.

 

Kasus ini menggambarkan bagaimana praktik ekonomi kapitalis yang mengedepankan keuntungan pribadi. Dapat berbenturan dengan kepentingan masyarakat dan prinsip-prinsip keadilan.


Peran oligarki dan koneksi politik perlu diselidiki lebih lanjut. Kemungkinan adanya korupsi dan kolusi dalam proses perizinan perlu menjadi fokus investigasi. Sistem ekonomi yang tidak adil dan tidak transparan menciptakan celah bagi praktik-praktik koruptif seperti ini.

 

Ketidakadilan yang dialami nelayan mencerminkan masalah sosial yang lebih luas, yaitu kesenjangan ekonomi dan akses terhadap sumber daya. Kehilangan mata pencaharian dapat menyebabkan kemiskinan, konflik sosial, dan ketidakstabilan. Pemerintah perlu membangun sistem perlindungan sosial yang lebih kuat untuk mengurangi dampak negatif dari praktik-praktik ekonomi yang tidak adil.

 

Kasus pemagaran laut di Tangerang bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, tetapi cerminan dari masalah struktural yang lebih besar, yaitu ketidakadilan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum. 


Perlu reformasi sistemik, baik dalam hukum, ekonomi, maupun sosial untuk mencegah kejadian serupa dan memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil serta berkelanjutan. Prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial, baik dari perspektif hukum positif maupun hukum Islam, harus menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan dan penegakan hukum. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Yani Riyani