Pemberantasan Judi dalam Sistem Sekuler Kapitalisme
Opini
Dengan sistem hukum yang lemah
usaha untuk memberantas judi semakin jauh dari kenyataan
_______________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan jumlah pemain judi online (judol) terbanyak di dunia, ini merupakan sebuah prestasi yang sangat memalukan.
Meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, negara ini tercatat sebagai tempat dengan pemain judi online aktif terbanyak, mengalahkan negara-negara seperti Kamboja, Filipina, Myanmar, dan Rusia (menurut survei Drone Emprit).
Terhitung sampai pada pertengahan tahun 2024 ini, pemerintah mencatat sebanyak 2,37 juta orang di Indonesia terlibat dalam judi online, sementara sumber lain menyebutkan angka yang lebih tinggi, yaitu 3,2 juta.
Dari jumlah tersebut, sekitar 2% (80.000 orang) adalah anak-anak di bawah usia 10 tahun, 11% (440.000 orang) berusia 10-20 tahun, 13% (520.000 orang) berusia 21-30 tahun, 40% (1.640.000 orang) berusia 30-50 tahun, dan 34% (1.350.000 orang) berusia di atas 50 tahun.
Sebagian besar, yaitu 80%, berasal dari kalangan menengah ke bawah. Untuk kelompok menengah ke bawah, transaksi judi online berkisar antara Rp10.000 hingga Rp100.000, sementara bagi kalangan menengah ke atas, nominal transaksi bisa mencapai Rp100.000 hingga Rp40 miliar (kompas.com, 20-6-2024)
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan bahwa perjudian online kini telah menyentuh hampir semua lapisan masyarakat, dengan para pemainnya berasal dari berbagai profesi. Mulai dari pejabat daerah, pensiunan, pengusaha, ibu rumah tangga, dokter, notaris, polisi, aparatur sipil negara (ASN), tentara (TNI), petani, buruh, pedagang kecil, pelajar, mahasiswa, hingga guru. Bahkan beberapa anggota dewan di DPR, DPRD, dan wartawan pun tercatat telah terlibat dalam praktik judi online ini.
Faktor Pendorong dan Dampak Judi Online
Maraknya judi online di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan saat ini dipicu oleh berbagai faktor. Ratna Azis Prasetyo selaku Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga menyebutkan beberapa faktor yang mendorong perkembangan judi online di Indonesia, di antaranya adalah tekanan kemiskinan, gaya hidup, faktor sosial, dan kondisi kultural. Menurut Ratna, kemiskinan dan gaya hidup menjadi pemicu bagi individu untuk mencari cara instan untuk memperoleh sesuatu, terutama uang dengan cepat.
Selain itu, kondisi sosial juga memainkan peran penting, di mana individu yang berada dalam lingkungan atau pergaulan yang akrab dengan aktivitas kriminal cenderung lebih rentan terlibat dalam perilaku negatif, termasuk judi online. Faktor kultural juga turut berkontribusi, di mana judi, khususnya judi slot, dianggap sebagai sesuatu yang biasa atau lumrah dalam beberapa kalangan sehingga mendorong seseorang untuk mencoba terlibat dalam aktivitas tersebut.
Dampak dari meluasnya judi online (judol) sangat berbahaya dan merusak. Efek negatifnya tidak hanya dirasakan oleh para pemain, tetapi juga meluas hingga keluarga, kerabat, sahabat, dan bahkan masyarakat serta negara. Berbagai portal berita dengan gamblang melaporkan kasus-kasus yang muncul akibat kecanduan judi online. Para pemain judol sering kali mengalami gangguan mental seperti stres, depresi, hingga penyalahgunaan narkoba, bahkan beberapa di antaranya nekat bunuh diri akibat kekalahan dalam permainan.
Kekalahan ini justru tidak membuat mereka jera, melainkan mendorong mereka untuk mencari cara lain untuk mendapatkan uang, seperti menjual aset pribadi, meminjam uang dari teman atau keluarga, terjerat dalam pinjaman online (pinjol), atau bahkan melakukan tindakan kriminal demi memperoleh uang dengan cepat. Akibatnya, tingkat perceraian pun meningkat, dan dalam beberapa kasus, ada istri yang tega membakar suaminya karena kesal dengan kecanduan judi sang suami. Hubungan persahabatan dan kekerabatan pun menjadi renggang, sementara kasus kriminalitas seperti pencurian, penipuan, dan penggelapan uang nasabah semakin meningkat.
Upaya Pemerintah Memberantas Judi Online
Judi adalah aktivitas yang ilegal di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Pasal 303 KUHP, yang melarang segala bentuk perjudian. Pelaku judi dapat dihukum penjara hingga 4 tahun dan/atau denda maksimal 10 juta rupiah. Untuk perjudian online, Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 2 UU ITE memberikan ancaman hukuman penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga 1 miliar rupiah bagi mereka yang sengaja mendistribusikan atau memfasilitasi akses judi online.
Joko Widodo selaku Presiden RI sebelumnya telah meneken Keppres No. 21/2024 pada 14 Juni 2024 kemarin, membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online yang dipimpin oleh Menko Polhukam Hadi Tjahjanto. Kemudian, di era Presiden Prabowo, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan pembentukan Satgas Penanggulangan Perjudian Online di bawah Kabareskrim POLRI, yang berlaku mulai dari Mabes Polri hingga tingkat Polda untuk menangani praktik judi online. Langkah ini merupakan bagian dari program Astacita ke-7 yang digagas oleh Presiden Prabowo yang fokus pada reformasi politik, hukum, birokrasi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi, perjudian, narkoba, dan penyelundupan.
Namun, meskipun sudah ada upaya penegakan hukum, sanksi dalam hukum positif di Indonesia tampaknya belum cukup untuk memberikan efek jera kepada pelaku judi. Terbukti, meski perjudian online telah ada selama beberapa tahun, praktik ini terus berlanjut dan mengakibatkan kerusakan pada generasi muda dan ekonomi masyarakat dari berbagai kalangan.
Di sisi lain, alih-alih memberantasnya, beberapa pejabat justru mengusulkan untuk melegalkan judi online agar dapat dikenakan pajak dan menghindari aliran uang ke luar negeri. Usulan ini bisa saja disetujui jika mayoritas anggota DPR mendukungnya dalam sistem demokrasi.
Menggali Akar Masalah Judi Online
Pemberantasan judi (judol) hanya akan tetap menjadi angan-angan ketika aparat negara yang seharusnya bertugas memberantasnya malah menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri atau kelompok mereka. Dengan sistem hukum yang lemah, usaha untuk memberantas judi semakin jauh dari kenyataan. Kondisi ini tidak terlepas dari penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalis saat ini yang membenarkan segala cara untuk meraih kekayaan.
Jika pemerintah benar-benar serius dalam menangani judi online, maka seharusnya tidak hanya fokus pada bagian-bagian permukaan seperti memotong daun atau ranting pada pohon, melainkan langsung mencabut akar permasalahannya. Akar utama dari judi online adalah platform digital, yang menjadi pintu masuk bagi perjudian ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Platform digital adalah infrastruktur yang memungkinkan berbagai aplikasi dan layanan digital saling terhubung dan beroperasi. Melalui platform ini, pengguna dapat berinteraksi, berbagi, dan mengakses konten serta layanan digital yang tersedia. Platform digital ini disediakan oleh pemerintah, yang memungkinkan individu dan masyarakat mengakses dunia digital. Kebijakan pemerintah Indonesia yang mendukung perkembangan ini sejalan dengan model revolusi industri ala kapitalisme yang diterapkan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya.
Platform digital yang mendukung revolusi industri memberikan keuntungan besar bagi negara-negara kapitalis. Mereka dapat memperluas pasar untuk produk industri mereka (seperti fashion, makanan, film, dan lain-lain) tanpa terhalang oleh batasan geografis. Begitu pula dengan ideologi sekuler yang mudah diakses oleh negara-negara lain, termasuk negara-negara muslim.
Solusi Tuntas Berantas Judi Online
Syariat Islam telah mengharamkan judi secara mutlak tanpa illat apa pun, juga tanpa pengecualian. Allah Swt. telah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan." (TQS. Al-Maidah [5]: 90)
Larangan perjudian dalam Islam bukan sekadar anjuran moral, tetapi merupakan kewajiban untuk menegakkan sanksi hukum terhadap para pelakunya, termasuk bandar, pemain, pembuat program, penyedia server, dan mereka yang mempromosikannya. Sanksi bagi mereka berupa takzir, yaitu jenis hukuman yang ditentukan oleh khalifah atau hakim, berdasarkan tingkat kejahatan yang dilakukan.
Syekh Abdurrahman Al-Maliki dalam Nizhām al-'Uqübát fi Al-Islam menjelaskan bahwa besarnya sanksi harus disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan, dengan tujuan agar hukuman tersebut memiliki efek pencegahan. Untuk kejahatan besar seperti perjudian, sanksi yang lebih berat, seperti cambuk, penjara, atau bahkan hukuman mati, dapat dijatuhkan.
Hukum Islam yang tegas ini menunjukkan bahwa syariat Islam berfokus pada perlindungan umat, menjaga kekayaan dan keharmonisan sosial, serta mendorong umat untuk mencari nafkah yang halal. Negara yang menjalankan syariat Islam akan menyediakan pendidikan yang mudah diakses, lapangan pekerjaan yang luas, dan layanan kesehatan yang terjangkau sehingga peluang masyarakat untuk terjerumus dalam perjudian menjadi kecil.
Semua ini hanya dapat tercapai dalam kehidupan yang berdasarkan syariat Islam, yang ditegakkan di bawah naungan Khilafah. Tatanan Islam yang sempurna dibangun atas tiga pilar: (1) Ketakwaan individu yang memiliki akidah yang kuat dan mengikuti hukum syariat sebagai tolok ukur perbuatan; (2) Kontrol sosial yang saling mengingatkan dalam amar makruf nahi mungkar untuk mencegah kemaksiatan sejak dini; (3) Penerapan syariat secara keseluruhan oleh negara, dengan sistem sanksi yang tegas sesuai hukum Islam.
Ketiga pilar di atas akan terwujud sempurna ketika negeri ini beserta negeri-negeri muslim di seluruh dunia bersatu dalam satu naungan Daulah Islamiah. Daulah Islam akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang memastikan terbentuknya kepribadian islami sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang amanah, taat kepada aturan Allah, serta masyarakat yang menjunjung tinggi budaya amar makruf nahi mungkar.
Daulah Islamiah yang telah dirindu umat yang akan memenangkan perang peradaban melawan negara negara kapitalisme sekularisme, insyaAllah akan segera terwujud kembali. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]