Tapera untuk Siapa, Benarkah Solusi Kebutuhan Rumah?
Surat PembacaBanyak pihak curiga terhadap kemampuan negara dalam mengelola dana Tapera yang besar
Ketua Asosiasi Serikat Pekerja menyatakan bahwa kewajiban Tapera hanya terlihat seperti upaya mengumpulkan uang rakyat tanpa tujuan yang jelas
___________________
Penulis Aning Juningsih
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Menurut laporan sindonews.com (29/05/2024), Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah, sesuai dengan PP No. 21/2024 yang merupakan perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Kebijakan ini menuai kontroversi karena dinilai membebani rakyat alih-alih membantu mereka, terutama di tengah banyaknya pengangguran dan rendahnya upah yang diterima pekerja.
Berdasarkan PP tersebut, gaji pekerja di Indonesia, termasuk PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas, akan dipotong 3 persen untuk dana Tapera. Pasal 5 PP No. 21/2024 menyatakan bahwa peserta Tapera adalah pekerja dengan penghasilan minimal upah minimum dan berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah saat mendaftar.
Pasal 7 PP No. 21/2024 menguraikan kategori peserta Tapera meliputi CPNS, ASN, TNI, Polri, pejabat negara, pekerja BUMN/BUMD, BUMDes, dan pekerja swasta. Pemberi kerja wajib menyetorkan dana Tapera paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. Kepesertaan berakhir saat pekerja mendekati pensiun, mencapai usia 58 tahun untuk pekerja mandiri, meninggal dunia, atau tidak memenuhi kriteria selama lima tahun berturut-turut. Peserta yang kepesertaannya berakhir berhak mendapatkan kembali simpanan dan hasil pemupukannya dalam tiga bulan setelah masa kepesertaan berakhir.
Sejak diterbitkannya PP Tapera pada tahun 2020, kebijakan ini terus menjadi polemik. Meski, sebagian besar isi PP tidak banyak berubah, pemotongan gaji 3 persen tetap menjadi beban bagi pekerja. Program Tapera bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat akan tempat tinggal yang layak dan lingkungan yang sehat. Namun, banyak pihak terutama pekerja, menentang kebijakan ini karena iuran Tapera hanya dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.
Penolakan ini beralasan, terutama bagi pekerja dengan gaji UMR yang sudah dipotong untuk berbagai program lain seperti pajak penghasilan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan BPJS Kesehatan. Penambahan iuran Tapera memperparah kondisi ini, sementara biaya hidup terus meningkat. APINDO berpendapat bahwa iuran Tapera tidak diperlukan karena pendanaan bisa diambil dari BPJS Ketenagakerjaan.
Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Aspek, Mirah Sumirah, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya bertanggung jawab menyediakan perumahan tanpa memotong gaji pekerja. Ia juga menyangsikan manfaat BPJS Ketenagakerjaan yang rutin dibayar pekerja. Kebijakan Tapera ini juga dianggap rawan korupsi, mengingat kasus korupsi di BPJS Kesehatan, Asabri, Jiwasraya, dan Taspen.
Banyak pihak curiga terhadap kemampuan negara dalam mengelola dana Tapera yang besar. Ketua Asosiasi Serikat Pekerja menyatakan bahwa kewajiban Tapera hanya terlihat seperti upaya mengumpulkan uang rakyat tanpa tujuan yang jelas. Pengurusan dan perhatian pemerintah terhadap rakyat dinilai sangat minim, seharusnya setiap iuran tabungan tidak boleh dipaksakan.
Dalam Islam, rumah adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara tanpa iuran wajib. Negara seharusnya memudahkan pembelian tanah dan bangunan serta menyediakan perumahan yang terjangkau. Selain itu, negara harus memastikan kebutuhan pokok lainnya seperti sandang dan pangan terpenuhi dengan harga murah dan menyediakan lapangan kerja bagi rakyat.
Tugas pemimpin adalah memberikan kenyamanan bagi rakyat, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan rumah. Jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, kebutuhan papan rakyat akan terpenuhi dengan baik. Semua kebutuhan rakyat akan terwujud dengan sempurna dengan adanya negara yang menerapkan syariat Islam. Wallahualam bissawab. [Dara]