Bagi-bagi Kursi Kekuasaan, Habit Demokrasi
Opini
Realitas pahit dalam sistem politik demokrasi inilah yang menjadi habit politik transaksional yang tidak berkesudahan
Wajar jika kepentingan rakyat berada di deretan terakhir prioritas para politisi
_________________________
Penulis Siti Mukaromah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Fenomena bagi-bagi kursi di dalam politik sistem demokrasi sudah menjadi habit. Tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang kemarin mencalonkan paslon kekuasaan dengan menjaga jarak, melawan, gemar mengkritik, sekarang memuji setinggi langit dan merapat bergandengan akrab, tentu tidak ada yang aneh dengan semua itu.
Dikutip dari mediaindonesia.com. (19/5/2024) revisi UU Kementerian buat unsur profesional makin minim. Badan Legislasi (Baleg) DPR bangga dapat merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara pada periode saat ini. Adanya perubahan baleid itu didasari adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketok pada tahun 2012.
Pakar hukum tata negara Hardiansyah Castro menyebut, kabinet gemuk dalam konteks saat ini artinya bakal banyak orang-orang partai yang akan diakomodasi dalam kementerian. Anggaran besar dalam kabinet gemuk akan beriringan dengan potensi korupsi. Ia menegaskan, kementerian yang 34 sekarang saja anggarannya dikorup di mana-mana, apalagi kalau kabinetnya makin gemuk. Castro menambahkan, mestinya pembahasan dihentikan saja, tidak hanya RUU kementerian negara, termasuk juga RUU MK, RUU penyiaran, hingga RUU kepolisian juga yang terakhir akan dibahas juga. Seharusnya DPR dan pemerintah menggunakan kacamata publik bukan sekadar memenuhi hasrat kekuasaan. Castro mengingatkan lagi agar DPR mengutamakan UU yang sejak dulu digantung, sebut saja RUU PPRT perampasan aset atau RUU masyarakat adat, itu jauh lebih prioritas.
Politik dalam sistem demokrasi berasas manfaat dan kepentingan, di mana ada peluang berkuasa disitu target keuntungan, idealisme tidak lagi dipertimbangkan. Siapapun yang berjasa dalam memenangkan paslon penguasa, dapat mendudukinya meski kurang kompeten dan belum layak.
Prinsip dalam sistem kapitalisme "tidak ada makan siang gratis" demi memenangkan ajang pemilihan, para politisi harus bertaruh dengan berbagai amunisi. Sudah menjadi rahasia umum sebagai kontestan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan di belakangnya ada penyokong yang terus memberikan sumbangsih.
Sistem kapitalisme meniscayakan bahwa yang memiliki modal berpeluang mengendalikan sistem tata sosial yang berjalan di tengah masyarakat. Termasuk dalam segala bentuk ekonomi, politik, sosial, lingkungan hidup dan lain-lain adalah spirit. Untuk menggaet hati para pemilih dalam ajang pesta pemilihan para politisi dibutuhkan intrik skema kampanye serangan fajar. Bahkan para calon pemimpin bisa membeli kekuasaan dengan "ongkos", maka para pemilik modal inilah bermain menjadi penyokong dana kontestan atau mencalonkan langsung.
Prinsip "uang menghasilkan kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan uang" bukanlah suatu yang mengherankan dalam sistem politik kapitalisme demokrasi.
Konsekuensi transaksional sudah menjadi lumrah dalam sistem ini. Ketika ada perbedaan kepentingan kerap terjadi konflik, partai, elit, dan para politisi bisa berpindah-pindah bak kutu loncat. Para politisi bukan hanya sekadar menjadi mitra di dalam berbagai proyek, mereka juga mengontrol dan membuat rancangan Undang-Undang (UU) yang menguntungkan para pemilik modal.
Realitas pahit dalam sistem politik demokrasi inilah yang menjadi habit politik transaksional yang tidak berkesudahan. Wajar jika kepentingan rakyat berada di deretan terakhir prioritas para politisi. Masyarakat tidak bisa berharap pada sistem ini dan sangat sulit melahirkan spirit kemanusiaan, terutama dalam sistem politik.
Masyarakat justru harus paham dan menyadari bahwa politik dalam kapitalisme demokrasi selalu ada sikap pragmatis, dan oportunistis. Di sinilah pentingnya kesadaran politik masyarakat agar tidak terjebak dengan politik pragmatis yang tersaji dalam demokrasi dan melakukan kesadaran politik sesuai syariat IsIam.
Politik dalam IsIam mendapatkan tempat dan kedudukan yang hukumnya wajib. Mengurus dan memelihara urusan kaum muslim merupakan kewajiban syariat. Tercermin ungkapan Imam Al-Ghazali tentang pentingnya politik dalam IsIam berikut, "Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar, agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin" (Ihya 'Ulumuddin, 1/17).
Umat IsIam wajib menaruh peduli terhadap persoalan umat. Kaum muslim sejak awal turunnya agama ini sudah berpolitik, menghukumi persoalan dengan syariat IsIam. Ikut kegiatan bernegara, berjihad, mengirim utusan ke penguasa nonmuslim, bahkan mendirikan negara.
Rasulullah saw. contoh politisi negarawan terbaik, Khulafaur Rasyidin, serta para pemimpin Islam terdahulu. Dalam IsIam orientasi politik bukanlah meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Tujuan politik dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat, kekuasaan adalah jalan untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Syariat IsIam sebagai solusi fundamental bagi permasalahan umat manusia.
Mustahil berharap dari sistem sekuler demokrasi melahirkan pemimpin amanah. Dalam menjalankan amanahnya, pemimpin sekuler tidak menjadikan ketakwaan sebagai bekal utama. Orang-orang baik dalam sistem buruk terus dipaksakan menjadi buruk. Seperti pernah yang dikatakan Mahfud MD beberapa tahun silam, "Malaikat pun masuk dalam sistem ini bisa menjadi iblis."
Tanpa didukung sistem yang baik tidak akan terlahir pemimpin baik. Sistem terbaik yaitu bersumber dari Allah Swt. saatnya masyarakat mengarahkan perjuangannya pada IsIam. Bersungguh-sungguh berupaya mendakwahkan dan membina umat agar memahami bahwa hanya Islam tumpuan harapan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang amanah dan berkah. Yakni dengan menjalankan syariat secara kafah (menyeluruh). Wallahualam bissawab. [GSM]