Alt Title

Live Bullying, Bukti Kejahatan Makin Genting

Live Bullying, Bukti Kejahatan Makin Genting

 


Kolaborasi pilar-pilar penegak aturan yang telah rapuh didukung sistem sanksi yang lemah membuat tindak kriminal termasuk bullying makin sukar diakhiri

Alih alih mengalami penurunan, justru realitanya makin marak dan bervariasi


___________________


Penulis Etik

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Makin hari, dunia pemuda makin tak baik-baik saja. Alih alih bertranformasi menjadi generasi berkualitas harapan bangsa, para pemuda justru semakin menunjukkan kebobrokannya. 


Baru-baru ini, kasus bullying kembali menjadi sorotan setelah video aksi perundungan yang dilakukan oleh seorang pemuda di Mekarwangi Bandung viral di sosial media. 

Dilansir dari jabar.idntimes.com (27/4/24), dalam video yang berdurasi beberapa menit tersebut. Pelaku yang berjumlah dua orang memaksa korban untuk membuka aplikasi pesan WhatsApp dengan kalimat mengancam. Namun, korban menolak permintaan pelaku dan sempat sedikit melawan.


Tak terima dengan penolakan tersebut, pelaku merasa kesal dan memukul kepala korban dengan botol kaca hingga korban menangis kesakitan. Ironisnya, aksi perundungan tersebut disiarkan secara langsung atau live oleh pelaku melalui aplikasi tiktok. Pelaku bahkan sempat menegaskan bahwa ia merupakan keponakan dari seorang jenderal sehingga ia tak gentar jika nantinya berurusan dengan hukum dan kepolisian. Setelah dilakukan penyidikan, polisi mengkonfirmasi pada awak media bahwa korban merupakan anak di bawah umur yang masih berusia 14 tahun. 


Sungguh miris! Kondisi generasi muda saat ini sudah sangat kritis. Tak hanya identik dengan tindak kriminal, mereka tak lagi malu menunjukkan kejahatan yang dilakukannya secara terang-terangan di depan publik. Bagi mereka, kejahatan dianggap sebuah aksi yang wajar, keren dan pantas menjadi tontonan. 


Realita memprihatinkan ini menunjukkan adanya paradigma yang salah dalam memandang standar bertingkah laku. Perbuatan buruk yang seharusnya menjadi aib justru dengan bangga ditampakkan sebagai suatu perbuatan yang wajar atas nama mendulang atensi dan popularitas publik. Sementara, seseorang yang nyata berperilaku baik, seperti memberikan nasehat, justru banyak dicibir dan dipersepsikan negatif. 


Fenomena tersebut mengindikasikan adanya gangguan mental di kalangan pemuda. Hal ini tak mengherankan mengingat sejak awal, sistem dunia sejatinya telah mengarahkan orientasi mereka pada manfaat semata. Padahal, persepsi oportunistik merupakan persepsi subyektif yang standarnya tak jelas. 


Apalagi saat pemuda yang mentalnya cenderung labil dan belum bijak menyikapi sesuatu, tak diarahkan dan dibiarkan mengidentifikasi sendiri apa yang baik dan buruk. Imbasnya, banyak pemuda terjebak krisis identitas dan tak jarang berakibat pada krisis moral. Mereka akan sangat berambisi mengejar sesuatu, seperti viral dan cuan, tanpa peduli apakah hal tersebut merugikan orang banyak. 


Inilah yang mengaburkan empati dan standar generasi muda dalam memandang suatu perbuatan. Wajar, pada akhirnya gangguan mental menjadi hal yang lekat dialami. Selain itu, dari fenomena perundungan yang terjadi di Bandung, dapat dilihat bahwa realitanya bullying pada remaja masih saja terus terjadi. Bahkan, alih-alih berkurang, kasusnya justru kian parah dan mengalami peningkatan dari hari kehari.    

  

Sejatinya, suburnya perilaku bullying di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah rusaknya pendidikan. Sudah jamak diketahui bahwa sistem pendidikan saat ini dibangun dari mekanisme sekulerisme yang memisahkan esensi pendidikan itu sendiri dengan agama. Alhasil, pemuda jebolan sistem semacam ini menjadi individu yang miskin akidah dan kering dari keimanan. 


Maka wajar, meski pendidikan terus dienyam, tindak kriminal dan kejahatan tak absen dilakukan. Dengan kata lain, intelektualitas yang dimiliki nyatanya telah gagal membentuk pribadi yang luhur dan bermartabat. 


Tak hanya sistem pendidikan yang usang, pilar penegak aturan dalam sistem saat ini semakin melemah. Adapun pilar tersebut meliputi ketakwaan individu yang rendah, kontrol masyarakat yang kurang akibat corak masyarakat yang individualis, serta absennya negara berkiprah penuh secara optimal dalam penegakan aturan di masyarakat. Dampaknya, tindak kejahatan termasuk bullying semakin menjamur. Bahkan pelakunya merambah ke segala usia termasuk remaja dan anak - anak di bawah umur.  


Selain itu, negara terkesan setengah hati mengatur peredaran media massa. Buktinya, banyak informasi dan konten konten buruk tak layak konsumsi beredar luas di masyarakat akibat mandulnya filter informasi. Oleh sebab itu, wajar jika akhirnya konten-konten tersebut menginfeksi pemikiran masyarakat dan mempengaruhi kepribadiannya hingga aksi kejahatan semakin merajalela.


Sementara, telah menjadi rahasia umum bahwa sistem sanksi yang berlaku saat ini nyatanya tak mampu membuat para pelaku kejahatan jera. Bagaimana tidak, seringnya hukuman tak sepadan dengan tindak kriminal yang dilakukan. Jual beli hukuman menjadi satu hal lumrah, selama cuan ada sanksi bisa dipesan sesukanya. Alhasil, adagium “hukum tajam ke bawah tumpul ke atas” menjadi realita miris yang nyaris setiap hari tertampang mata. Inilah hasil penerapan sistem kapitalisme sekuler saat ini.


Kolaborasi dari pilar - pilar penegak aturan yang telah rapuh didukung dengan sistem sanksi yang lemah membuat tindak kriminal termasuk bullying makin sukar diakhiri. Alih alih mengalami penurunan, justru realitanya semakin marak dan bervariasi. Dengan demikian, nyata sudah sistem sekuler gagal memberantas kejahatan dan mewujudkan ketentraman di tengah masyarakat. 


Jika kita merujuk kepada Islam, sejatinya Islam telah menyiapkan konsep terbaik untuk mengatasi seluruh problematika umat termasuk menjamurnya kasus kejahatan dan bullying. Di dalam Islam, pendidikan disusun dengan basis akidah yang kokoh. Suasana keimanan yang pekat akan menghasilkan output berupa intelektual intelektual beriman, berkarakter islam kuat dan berbudi luhur. Mereka akan selalu merasa terhubung dengan Allah (idrak sillah billah) sehingga melahirkan perasaan takut bermaksiat karena merasa terus berada pengawasan Allah. Hal ini, secara otomatis akan membuat individu jauh dari tindak kriminal. 


Sementara, individu, masyarakat dan negara sebagai pilar penegak aturan akan dijaga sedemikian rupa sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh. Dimulai dari individu yang wajib mendapatkan kurikulum akidah dan penanaman iman sejak dari keluarga sehingga keimanan yang kuat bukan merupakan suatu hal yang mustahil diwujudkan. Selanjutnya, masyarakat akan terkondisikan untuk berlomba-lomba melakukan pengawasan terhadap segala aktivitas individu. Hal ini sebagai implementasi dari amar makruf nahi munkar, tentu dengan standar syariat yang telah ditetapkan di dalam Islam.  


Selanjutnya, negara akan mempersembahkan kontribusi terbaiknya untuk mengayomi umat. Negara akan hadir secara penuh untuk mengurusi problematika umat sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah. Ia tak akan setengah-setengah memberantas informasi yang berpotensi meracuni pemikiran masyarakat dan mendorong masyarakat pada kemaksiatan. Negara juga menerapkan sistem peradilan yang adil dan tegas dengan sanksi yang bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama). Sehingga, merebaknya kejahatan dapat ditanggulangi, tidak seperti apa yang ada di sistem sekuler.


Kolaborasi peran ini hanya akan berjalan efektif saat Islam yang dijadikan panduan sistem kehidupan manusia. Maka, sudah sepantasnya umat Islam beralih kepada Islam sebagai satu-satunya harapan. Bukankah kita merindukan hidup dalam kehidupan sejahtera penuh berkah dalam naungan rida Ilahi?. Wallahuallam Bissawab. [Dara]