Alt Title

Kriminalitas Makin Kronis, Butuh Solusi Komprehensif

Kriminalitas Makin Kronis, Butuh Solusi Komprehensif

 


Secara garis besar kriminalitas yang ada adalah hasil dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme.

 Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Berasaskan pada liberalisme atau kebebasan

___________________________________


Penulis Raodah Fitriah, S.P

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Kriminalitas di negeri ini semakin hari semakin marak. Bulan lalu ada kasus pembacokan yang terjadi di Desa Ntori, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, NTB pada 07 April 2024 (bimakini.com, 08/04/2024). Terbaru, ada juga pembunuhan sadis di Bekasi, Ciamis, dan Bali dengan cara dan motif yang berbeda-beda (CNN Indonesia, 05/05/2024).


Kenaikan Angka Kriminalitas


Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat, ada 288.472 kejahatan yang terjadi di Indonesia sepanjang 2023. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebanyak 276.507 kasus (indonesia.id, 28/12/2023). Dengan adanya kenaikan angka kriminalitas setiap tahun menunjukkan tidak adanya penanganan khusus dari negara dalam hal menanggulangi terjadinya kriminalitas. 


Salah satu yang menjadi perhatian adalah kejahatan PPA yang terbagi menjadi lima kategori, yaitu kekerasan pada anak, kekerasan pada perempuan, anak berhadapan dengan hukum, kekerasan terhadap rumah tangga, dan tindak pidana kekerasan seksual. Di luar kejahatan PPA, terkait kasus pembunuhan tercatat didasari sejumlah motif, mulai dari persoalan ekonomi, dendam pribadi, cemburu hingga aksi penganiayaan berencana.


Sekularisme Kapitalisme Meniscayakan Maraknya Kriminalitas 


Faktor pemicu yang melandasi adanya kriminalitas ialah:

Pertama, kepuasan jasmani dan materi yang menjadi prioritas dalam masyarakat sekular. Tidak heran jika masyarakat hari ini menyibukkan diri dengan pencapaian materi karena standar bahagia dilihat dari seberapa banyak harta yang didapatkan. Sehingga akan banyak problematika hidup yang dialami ketika standar bahagia adalah materi, ditambah dengan tidak peduli terhadap halal dan haram (sekular). Ini akan memicu terjadinya suap menyuap, korupsi, pembacokan, hingga berujung pembunuhan untuk meraih apa yang menjadi standar bahagia itu tadi. 


Inilah paham sekularisme. Paham ini memisahkan agama dari kehidupan, hingga kepuasan jasmani dan materi menjadi prioritas yang harus didapatkan bagaimanapun caranya. Jika tidak terpenuhi maka akan mengubah cara pandang manusia, seperti gangguan psikologis yang akan membuat manusia menjadi sangat labil dan penuh emosional. Setiap individu memiliki gharizah baqa’ (naluri mempertahankan diri), salah satunya emosi yang jika tidak dituntut dengan syariat Islam maka akan bablas melampiaskan kepada orang-orang sekitar dengan cara yang tidak seharusnya.


Kedua, sistem pendidikan yang berorientasi menghasilkan tenaga kerja.

Pendidikan hari ini tidak lagi memiliki visi mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan untuk melanggengkan kebodohan, mencetak generasi yang berorientasi pada materi semata, menjadi pribadi yang tamak, dan memaksa kehendak untuk memenuhi keinginannya. Siswa diarahkan untuk bersaing agar mendapatkan sesuatu yang bersifat materi, namun melupakan aspek pembinaan agama dan mental. Moral makin tergradasi. Prestasinya justru dalam kemaksiatan, seperti menyontek, miras yang sudah biasa di kalangan pemuda, narkoba, pergaulan bebas hingga tawuran. 


Begitu halnya dengan guru yang telah kehilangan fungsinya sebagai pendidik. Tugasnya hanya menyampaikan materi pembelajaran, tidak ada transfer adab yang mampu membentuk karakter, malah guru menjadi pelaku pencabulan terhadap siswanya. Dengan pergantian kurikukulum yang silih berganti tidak terlihat memberikan dampak perubahan nyata dalam sistem pendidikan negeri ini, justru malah memberikan deretan problematika yang tidak berujung.  


Ketiga, sistem sanksi yang tidak memberikan efek jera. Dari beberapa kasus yang terjadi dan terus berulang, dapat dilihat meskipun ada banyak aturan dan sanksi tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Walaupun ada penjara dan hukuman lainnya, kejahatan tetap merajalela bahkan justru malah memberikan contoh dan inspirasi kepada orang lain untuk berbuat kejahatan serupa. 


Ketiga faktor ini seakan hanya menjadi sebatas formalitas belaka tanpa adanya tindak lanjut yang serius. Padahal ketiganya merupakan hal yang penting dalam pemberantasan kriminalitas di negeri ini. 


Secara garis besar kriminalitas yang ada adalah hasil dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Berasaskan pada liberalisme atau kebebasan. Kebebasan yang dimaksud ada 3 yakni kebebasan berakidah, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi atau bertingkah laku. Sehingga tak heran jika akhirnya solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar persoalan. 


Prinsip sistem ini ialah selama tidak merugikan orang lain maka akan dibiarkan. Pun jika sudah ada kasus seperti kriminalitas, solusi yang diberikan tidak mampu menyelesaikan masalah. Terkesan hanya sebagai formalitas belaka. Karena memang sesungguhnya ketika kita berbicara solusi yang berasal dari akal manusia pasti tidak akan solutif. Akal manusia sifatnya lemah dan terbatas, maka sudah menjadi fitrahnya jika ia tidak mampu menyelesaikan problem sesamanya (manusia). Alhasil kejahatan akan terus terjadi silih berganti dan masyarakat akan semakin rusak. 


Sistem Islam: Solusi Komperehensif Atas Kriminalitas


Islam didefinisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah Swt. untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Islam juga mampu memecahkan problematika hidup manusia secara keseluruhan. Peraturan Islam dibangun atas ruh, yakni akidah. Jadi, aspek kerohanian dijadikan sebagai asas peradabannya, asas negara, dan asas syariat. 


Solusi yang komprehensif atas kriminalitas hanya akan ditemukan dari sistem Islam, yakni sebagai berikut:


Menyadari posisi manusia sebagai makhluk. Allah menciptakan manusia semata-mata untuk beribadah kepadaNya. Seperti dalam QS. Az-Zariyat ayat 56 yang artinya, "Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." Bentuk pengabdian atau ibadah kepada Allah Swt. bukan hanya ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, melainkan manusia diciptakan di muka bumi untuk menjadi khalifah dalam rangka menegakkan hukum-hukum dan menerapkan aturan Allah. Di sini orang tua memiliki peran dalam penanaman akidah Islam pada anak-anaknya, memperkenalkan tentang naluri dan kebutuhan jasmani agar menjadi pribadi yang benar-benar takut kepada Allah dan menciptakan kesejahteraan dan ketenteraman di tengah masyarakat.   


Dibekali dengan keistimewaan yang hanya diberikan pada manusia yaitu akal yang mempunyai peran sangat signifikan bagi kehidupan manusia. Dengan adanya akal, manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang terpuji dan tercela, mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan akal dapat mengantarkan manusia pada posisi yang mulia dengan derajat kehidupannya yang akan dihormati dan dihargai. Namun akal juga bisa mengantarkan manusia pada tempat yang serendah-rendahnya apabila dipakai tidak sesuai dengan tuntunan aturan Allah. 


Selanjutnya membentuk masyarakat yang Islami. Peran masyarakat adalah bagaimana membentuk lingkungan sosial yang taat dan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Kemungkaran yang dibiarkan akan terus bertambah hingga menjadi kemungkaran yang lebih besar. Hal inilah yang menimbulkan kesan dalam benak masyarakat bahwa kemungkaran adalah hal yang wajar, lebih parah lagi jika kemungkaran dilegalkan. Umat Islam diperintahkan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dalam kehidupan tatanan sosial. Masyarakat mendorong untuk melakukan kebajikan dan memerintahkan untuk meninggalkan laranganNya. Amar makruf nahi mungkar harus benar-benar diterapkan pada kehidupan sehari-hari agar membentuk masyarakat yang selamat dan terwujudnya masyarakat yang senantiasa mengingat Allah.


Terakhir adalah peran negara dalam membentuk kepribadian Islam. Islam memiliki sistem pendidikan yang paripurna. Kurikulum sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam. Output peserta didik harus memiliki kepribadian Islam yang muncul dari keimanan. Ketika seseorang beriman dia akan berupaya agar cara berpikirnya (aqliyyah) dan cara bersikapnya (nafsiyah) sesuai dengan Islam. Pendidikan dalam Islam adalah transfer nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Quran dan As-sunnah, pandangan hidup yang Islami dan berbagai pengetahuan Islam akan mempertebal pemahaman dan membentuk kesadaran. Sehingga hanya Islam yang menjadi pengendali pola pikir dan pola sikapnya. 


Tahapan pembentukannya adalah dengan menanamkan akidah Islam dan mengajak bertekad bulat senantiasa menegakkan bangunan cara berpikir dan mengatur kecenderungannya  di atas pondasi akidah Islam. Dengan kata lain, Islam menjadi tolak ukur kehidupannya. Ditambah dengan mengembangkan kepribadian dengan membakar semangat untuk bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikiran dengan tsaqofah Islam dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan. 


Jika terjadi pelanggaran atau kriminalitas, negara atau daulah Islam memiliki sanksi yang tegas yang membuat para pelaku kejahatan jera. Dalam Islam, pelaku penganiayaan dan pembunuhan akan diberi sanksi jinayat yakni qhisash (lihat: QS. Al-Baqarah ayat 178-179). Allah menjelaskan sanksi qhisash akan menjaga nyawa manusia di muka bumi. Penerapan sanksi Islam oleh daulah memiliki dua efek, yakni jawabir (penembus dosa) dan zawajir (pencegah). Ketika seorang pembunuh dihukum setimpal dengan perbuatannya yakni dibunuh, maka hukuman ini akan menjadi penebus dosa pelaku dan membuat orang lain tidak terinspirasi melakukan kejahatan yang sama. Dengan demikian maka keamanan di tengah masyarakat akan terwujud. Namun penjagaan ini hanya akan terwujud manakala sistem Islam diterapkan secara kafah. Wallahualam bissawab. [GSM]