Alt Title

Keteladanan Para Ulama: Mengoreksi Penguasa Secara Terang-Terangan

Keteladanan Para Ulama: Mengoreksi Penguasa Secara Terang-Terangan

 




Beliau lalu menasehati dan mengoreksi terang-terangan di atas mimbar di masjid ketika sang Khalifah berada didalamnya dengan peringatan keras 

"Engkau telah mengangkat seseorang untuk kaum muslimin yang paling zalim di antara orang-orang yang zalim, lantas apa jawaban engkau esok hari (di akhirat) di sisi Rabb Alam Semesta ini?"

_______________________________________

Penulis Risa Fitriyanti.S
Kontributor Media Kuntum Cahaya 

KUNTUMCAHAYA.com, INSPIRASI - Generasi al-salaf tidak mengabaikan kewajiban menyuruh kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang mungkar, termasuk terhadap para penguasanya. Mereka tak gentar karena Allah menghadapi celaan para pencela. Meneladani mereka merupakan keberuntungan. Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) dalam tafsirnya, dan para Ulama lainnya dalam kitab mereka ketika menjelaskan keutamaan menyerupai orang-orang shaleh, meniti jalan mereka berpesan, "Meskipun kalian belum menjadi seperti mereka maka serupailah, karena sesungguhnya menyerupai orang-orang yang mulia merupakan keberuntungan"


Amanah dan pesan agung Rasulullah Saw ini pun ditunaikan secara sempurna oleh para sahabat dan para ulama. Salah satu sosok ulama yang namanya sering disebut-sebut kaum muslim, ialah seorang ulama besar ahlus Sunnah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang mengoreksi kebijakan penguasa (Khalifah) secara terang-terangan di atas mimbar mesjid. Yakni mengoreksi kebijakan Khalifah al-Muqtafi yang keliru karena mengamanahkan jabatan hakim peradilan kepada orang yang lalim, lalu berbuat kezaliman-kezaliman terhadap masyarakat.

Beliau lalu menasehati dan mengoreksi terang-terangan di atas mimbar di masjid ketika sang Khalifah berada didalamnya dengan peringatan keras "Engkau telah mengangkat seseorang untuk kaum muslimin yang paling zalim di antara orang-orang yang zalim, lantas apa jawaban engkau esok hari (di akhirat) di sisi Rabb Alam Semesta ini?"

Lalu sang Khalifah memecat hakim tersebut. Dari kisah ini kita mengetahui bahwa dakwah menjadi sebab datangnya kebaikan, dalam hal ini yakni keputusan Khalifah memberhentikan hakim yang zalim, yang hakikatnya merupakan pertolongan Allah Swt. melalui sebab dakwah, mengoreksi penguasa yang berbuat kesalahan. 

Para ulama abad ke-19 pun memberikan keteladanan bagaimana menghadapi pemikiran Barat yang dekonstruksi. Ketika menghadapi komunisme misalnya, salah seorang guru dari guru para pengemban dakwah, al-'Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H), yakni Syaikhul Azhar al-'Allamah Muhammad al-Khudari Husain (Syekh al-Azhar) menegaskan, "Adapun orang-orang yang berpegang teguh pada Al-Quran dan As-sunnah, maka wajib bagi mereka memperingatkan (umat manusia) dari meridai ajaran atheisme (dan yang semisalnya) dimanapun berada meski kaum atheis tersebut adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka."

Hal yang sama dilakukan oleh Dr. Mustafa al-Siba'i yang merumuskan formula tashfiyyat al-afkar al-Islamiyyah (pemurnian pemikiran Islam) dalam rangka menghadapi Peradaban Barat yang rusak dan merusak dalam kitab Min Rawai'i Hadharatina, begitu pula dengan Syed Prof. Naquib al-Attas yang mengkritisi konsep sekularisme, dan al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani yang menjelaskan kebatilan ideologi komunisme dan kapitalisme dalam kitab Nizam al-Islam, al-'Allamah 'Abdul Qadim Zallum yang menjelaskan kebatilan sistem politik Demokrasi dalam kitab al-Dimuqrathiyyah Nizham kufr, Dr Abdul Aziz al-Badri yang menjelaskan hukum Islam atas sosialisme dalam kitab Hukm al-Islam fi al-Istirakiyyah.

Contoh-contoh tersebut semakin mempertegas bahwa sejarah kehidupan para ulama tak terlepas dari perjuangan politik, dan aktivitas menghadapi kebatilan dan pertarungan pemikiran. Wallahualam bissawab. [GSM]

Sumber : Bunga Rampai (Menggugah Nafsiyah Dakwah Berjamaah)