Alt Title

Kapitalisme Meniscayakan Terjadinya Kemiskinan

Kapitalisme Meniscayakan Terjadinya Kemiskinan

 


Menentukan angka kemiskinan hanya dengan mengacu pada standar kemiskinan global adalah sebuah kesalahan

Apalagi diukur dengan rata-rata penghasilan masyarakat dalam hitungan statistik, lalu mengklaim angka kemiskinan turun sekian persen dari tahun sebelumnya

_________________________


Penulis Yuli Ummu Raihan 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah Tangerang


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Beberapa waktu lalu sempat viral video seorang bocah bernama Gibran (7) menangis meminta makan karena lapar sementara ibunya marah-marah dan mengatakan kepada anaknya untuk meminta makan kepada bapaknya. Video itu diunggah akun Instagram @kecamatanbojonggede pada Senin 6 Mei 2024. Sebelumnya akun Tiktok @ahmadsaugi31 yang sebelumnya sudah di-takedown.


Dilansir dari Kompas.com, bahwa  video yang beredar  tidaklah seperti apa yang diduga oleh netizen. Kompas.com mencoba mendatangi rumah korban dan mengungkapkan sejumlah fakta yang telah ditayangkan dalam artikel berjudul "Fakta di Balik Video Viral Bocah Gibran di Bogor Nangis Kelaparan." Faktanya Gibran selalu diberi makan, hanya saja mungkin pada saat itu nasinya belum matang dan ayahnya sedang tidak berada di rumah. Keluarga Gibran terkategori kurang mampu, sebagai seorang buruh bangunan ayah Gibran tidak memiliki penghasilan tetap. Viralnya video Gibran ini membuat sejumlah pihak/pejabat setempat mendatangi rumah Gibran. Kasus Gibran ini hanya salah satu potret kemiskinan yang terjadi hari ini. Faktanya banyak, tetapi akan segera ditindak jika kasusnya viral.


Berdasarkan perhitungan SMERU, dengan mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) per 2023 telah ada sekitar 78 juta orang yang terkategori rentan miskin. Organisasi Pangan Dunia (FAO) mengatakan masih banyak kelaparan akut di 59 negara atau wilayah dengan perbandingan 1:5 atau 1 dari 5 orang di negara itu mengalami kelaparan akut. Angka kelaparan akut terus meningkat setiap tahun terutama terjadi di Jalur Gaza dan Sudan.


Persentase penduduk miskin menurut data BPS pada 2023 berada di atas level 9% atau sekitar 25,90 juta orang. (Bisnis.com) Di Indonesia sendiri data kemiskinan disebut tidak akurat karena mengacu pada standar garis kemiskinan yang terlalu rendah.


Laporan Bank Dunia yang bertajuk "Indonesia Poverty Assessment" mengusulkan agar Indonesia mengubah garis kemiskinan dengan standar paritas daya beli terbaru untuk negara  berpendapatan menengah, yakni sebesar USD1,9 atau sekitar Rp28.969 per orang per hari.


Menentukan angka kemiskinan hanya dengan mengacu pada standar kemiskinan global adalah sebuah kesalahan. Apalagi diukur dengan rata-rata penghasilan masyarakat dalam hitungan statistik, lalu mengklaim angka kemiskinan turun sekian persen dari tahun sebelumnya. Realitanya angka kemiskinan justru terus bertambah.


Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan  untuk mengentaskan kemiskinan, namun faktanya kemiskinan itu tetap ada. Kemiskinan hari ini bukan lagi masalah individu, melainkan sudah menjadi masalah sistemis. Kapitalisme adalah akar masalahnya. Sistem kapitalis menciptakan kesenjangan sosial yang sangat tinggi, ada orang yang sangat kekurangan bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokoknya. Sementara, ada sebagian orang yang berkelimpahan harta. Harta berputar hanya di sekelompok orang saja. 


Kemiskinan hari ini adalah kemiskinan struktural yaitu adanya golongan masyarakat tertentu yang tidak dapat mengakses sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya ada di sekitarnya. Bahkan sumber daya alam yang melimpah tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. SDA yang melimpah tersebut diserahkan pengelolaannya kepada asing dan swasta sehingga manfaatnya hanya dinikmati segelintir orang saja.


Masyarakat sulit memenuhi kebutuhannya karena terbatasnya lapangan pekerjaan. Standar upah minimum juga membatasi masyarakat hanya bisa memenuhi kebutuhannya sesuai standar minimum. Sementara akibat kebijakan kapitalis, harga-harga kebutuhan pokok semakin meningkat dan sulit terjangkau.


Cara Islam Atasi Masalah Kemiskinan 

Islam sebagai agama yang sempurna telah memiliki mekanisme untuk mengatasi kemiskinan, di antaranya:


Pertama, Islam memiliki konsep sistem ekonomi yang didukung oleh sistem politik yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok individu per individu rakyatnya tanpa adanya perbedaan. Sistem ekonomi Islam juga memudahkan individu untuk memenuhi kebutuhan sekundernya bahkan tersier. Hal ini akan terwujud dengan adanya sumber pemasukan negara yang sesuai dengan syariat Islam. Sumber pemasukan Islam bersumber dari fa'i, kharaj, zakat, seperlima harta rikaz, jizyah.


Ada juga sumber pemasukan dari pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara. Dengan semua sumber pemasukan ini insya Allah akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok semua rakyat. Jika dalam sistem kapitalis sumber pajak dan utang adalah sumber pemasukan utama, dalam Islam dua hal ini diperbolehkan hanya dalam kondisi kas baitulmal kosong sementara ada kebutuhan yang sangat mendesak yang harus dipenuhi. Pajak dan utang juga harus sesuai syariat Islam.


Dalam Islam setiap individu didorong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama laki-laki. Jika ia tidak mampu maka mahramnya yang akan menanggung. Jika tidak memiliki kerabat yang mampu menanggung nafkahnya, maka negara wajib memenuhi kewajiban ini. Bahkan jika negara tidak memiliki anggaran, maka sesama muslim diarahkan untuk saling membantu dengan menarik pajak  dari warga yang mampu.


Islam juga mengatur konsep kepemilikan yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Islam mengatur sebab-sebab kepemilikan, cara pengembangan harta dan hal-hal yang dilarang dalam pengembangan kepemilikan.


Kepemilikan umum wajib dikelola negara sehingga hasilnya berdampak pada rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung.


Negara juga akan memanfaatkan perkembangan teknologi dan sains untuk kemaslahatan rakyat. Misalnya untuk membantu para petani meningkatkan produktivitasnya. Membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyat. Serta untuk pendataan sehingga periayahan akan optimal terlaksana.


Islam juga memiliki sistem sanksi yang mampu mengatasi segala permasalahan ekonomi semisal adanya penyalahgunaan kekuasaan, tindakan kecurangan, penipuan, kriminal dan lainnya.


Dalam Islam seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, sehingga ia akan berusaha maksimal memberikan pelayanan terbaik. Seorang pemimpin akan memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah pengurus rakyat, ia bertanggungjawab atas rakyat yang dia urus." (HR Bukhari)


Pemimpin dalam Islam juga menjadi tauladan terbaik, ia tidak akan mau hidup berkecukupan apalagi bermewah-mewah sementara rakyatnya hidup dalam garis kemiskinan. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang hanya makan roti kering dilumuri minyak hingga kulitnya menjadi hitam karena pada saat itu sedang terjadi musim paceklik. Beliau berkata, "Akulah sejelek-jelek pemimpin jika aku kenyang, sementara rakyatku kelaparan."


Selain itu Umar juga senantiasa melakukan kontrol secara langsung untuk memastikan semua rakyatnya mendapatkan pelayanan. Kisah Umar yang memikul gandum, mengantarkan dan memasaknya langsung untuk keluarga yang anaknya menangis kelaparan tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Betapa beliau sangat bertanggungjawab atas kepemimpinannya.


Beliau juga senantiasa duduk bersama rakyatnya sesuai salat dan mendengarkan keluh kesah, serta aduan dari rakyatnya. Ia terbiasa duduk sehabis salat Subuh hingga matahari mulai naik, memperhatikan kebutuhan rakyatnya, baru setelah itu ia kembali pulang ke rumah. (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat, 3/288; Tarikh Ath-Thabaru, 2/565).


Kondisi yang sangat kontra dengan hari ini, di mana pemerintah baru turun tangan ketika masalahnya sudah ramai/viral dan jadi pembicaraan. Dalam Islam viral atau tidak seorang pemimpin akan bertanggungjawab penuh atas rakyatnya. Memastikan semua rakyatnya mendapatkan pelayanan terbaik. Semua itu hanya bisa terwujud ketika Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan dalam bingkai negara khilafah.

Wallahualam bissawab. [GSM]