Alt Title

Bencana di Mana-Mana, Buah Mitigasi yang Salah

Bencana di Mana-Mana, Buah Mitigasi yang Salah

 


Upaya pencegahan bencana harus melibatkan analisis penyebab utamanya, bukan hanya menangani akibatnya

Bencana bukan hanya akibat faktor alam seperti curah hujan tinggi, tetapi juga kebijakan pembangunan yang merusak

_________________________


Penulis Aning Juningsih

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sungguh prihatin melihat peristiwa-peristiwa saat ini. Kita melihat bencana demi bencana terjadi bertubi-tubi akhir-akhir ini di berbagai wilayah negeri. Yaitu salah satunya banjir bandang dan lahar dingin Gunung Merapi yang ada di Sumatra Barat. Bencana banjir itu menerjang tiga wilayah, yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang. Dan dampak dari bencana itu, 47 orang meninggal dunia. (bbc.com, 12/05/24)


Begitu juga, dampak dari banjir tersebut bukan saja orang yang meninggal tetapi banyak juga material yang rusak seperti 193 rumah di Kabupaten Agam dan 84 rumah di Tanah Datar yang mengalami kerusakan. Belum juga berbagai infrastruktur seperti jembatan dan masjid juga rusak. Dan lalu lintas dari Kabupaten Tanah Datar menuju Padang dan Solok pun lumpuh total. 


Katanya, ini adalah "bencana terparah" yang pernah terjadi di Kabupaten Agam selama 150 tahun terakhir. Selain itu, bencana terus menerus terjadi sejak enam bulan terakhir. Bencana gunung merapi meletus bukan terjadi saat ini saja. 


Begitu pula bencana banjir parah terjadi di kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara sejak 3 Mei 2024. Akibat dari curah hujan yang tinggi menyebabkan air Sungai Lalindu meluap dan berakhir di Jalan Trans Sulawesi. Kini, Jalan Trans Sulawesi lumpuh total dan 300 kendaraan terjebak banjir. 


Selain itu tujuh kecamatan terdampak dan 3.121 warga mengungsi. Dan juga, dua desa terisolasi. Sebanyak 729 unit rumah dan 327,7 hektare lahan pertanian dan perkebunan terendam. Berbagai prasarana umum seperti dua tempat ibadah, satu jembatan, dan satu sekolah dasar juga terendam banjir. 


Kini yang terjadi bencana banjir parah di Sumatra Barat dan Konawe Utara terjadi bukan hanya faktor alam, tetapi karena perbuatan manusia yang membuat kerusakan seperti penggundulan hutan yang seenaknya. Karena "salah sistem pengurusan alam", bencana di Sumatra Barat terjadi terus menerus berulang dan itu merupakan bencana ekologis menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). 


Kesemuanya diakibatkan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta pembangunan yang tidak berbasis mitigasi bencana. Seperti pembalakan hutan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS, juga penambangan emas di kawasan penyangga TNKS. 


Begitu juga data dari Auriga Nusantara menunjukan bahwa tutupan sawit dalam wilayah hutan di bentang alam Seblat meningkat dari 2.657 hektare kini menjadi 9.884 hektare pada periode 2000-2020. Coba bayangkan betapa luasnya hutan yang telah digunduli. 


Di Kabupaten Tabah Datar, di Lembah Anai ada pembangunan ilegal, itu salah satu hal yang memperparah bencana itu. Karena kawasan itu telah menjadi tempat wisata yang ramai, padahal Lembah Anai merupakan kawasan hutan lindung dan cagar alam. Oleh karenanya kawasan tersebut rawan bencana, banjir besar yang terjadi pada sabtu 12-5-2024 menyapu bersih kafe dan pemandian. 


Telah direkomendasikan pada awal 2023, oleh Dewan Sumber Daya Air bahwa kawasan tersebut harus ditertibkan dan tidak boleh ada aktivitas yang mengumpulkan banyak orang. Akan tetapi, peringatan tersebut tidak ada tanggapan yang serius dari pemerintah setempat. 


Akibatnya, siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai. Kini bencana yang terjadi di sekitar Gunung Merapi sesuai dengan peribahasa diatas. Dampak terjadinya akumulasi kerusakan ekologis sampai masyarakat akhirnya menuai bencana. Sejak saat itu, krisis lingkungan sudah menumpuk dan tidak pernah diselesaikan dari akarnya sampai bencana parah pun tidak terhindarkan. 


Sejak tahun 2018 penebangan liar di kawasan TNKS sendiri sudah berlangsung terus menerus sampai sekarang meskipun sudah dilaporkan pada pemerintah. Agar bisa menebang dengan leluasa, para sindikat penebang liar ini telah melibatkan orang dalam di barisan pemerintah daerah dan aparat hukum untuk mendapatkan dokumen palsu.


Meskipun pemerintah mengklaim telah menindak pelaku penebangan liar, langkah tersebut belum efektif menghentikan penebangan liar di TNKS. Sebab, yang ditangkap umumnya hanya pekerja lapangan, bukan pelaku utamanya. Selain itu, banjir parah di Konawe Utara juga disebabkan oleh deforestasi. Hutan di Konawe banyak ditebang untuk pertambangan nikel.


Bencana berulang yang menelan banyak korban menunjukkan perlunya mitigasi komprehensif untuk mencegah bencana dan melindungi masyarakat. Upaya pencegahan bencana harus melibatkan analisis penyebab utamanya, bukan hanya menangani akibatnya. Bencana bukan hanya akibat faktor alam seperti curah hujan tinggi, tetapi juga kebijakan pembangunan yang merusak. Misalnya, pembiaran penebangan hutan liar mengakibatkan banjir, dan penggunaan kawasan rawan bencana untuk pariwisata membahayakan banyak nyawa.


Selama ini, kebijakan pembangunan yang eksploitatif merusak lingkungan karena pemerintah lebih fokus pada ekonomi dan keuntungan, mengabaikan kelestarian lingkungan. Pembangunan kapitalistik yang hanya mengejar keuntungan materi menyebabkan kerusakan parah. Negara lebih mementingkan pendapatan pajak dari pengusaha. Selain itu, oknum aparat yang mendukung perusakan lingkungan demi keuntungan pribadi memperburuk keadaan, menjadikan negeri ini langganan bencana. Jika tidak diubah, bencana akan terus terjadi di masa depan.


Islam sebagai agama sempurna menawarkan solusi untuk setiap masalah. Dalam sistem Islam, pembangunan memperhatikan kebutuhan umat dan kelestarian alam, memastikan keduanya terpenuhi. Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari pengurusannya.


Dalam sistem Islam, kebijakan pembangunan tidak eksploitatif atau merusak, mengikuti panduan Ilahi. Kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan manusia, dan Allah mengingatkan agar manusia kembali ke jalan yang benar (QS. Ar-Rum: 41). Negara dalam sistem Islam mewujudkan mitigasi komprehensif yang mendorong langkah antisipatif, mencegah korban dan kerusakan.


Beberapa langkah yang diambil negara antara lain, mengatur pemanfaatan hasil hutan sesuai rasio kelestarian, mengoptimalkan pengawasan hutan oleh polisi, melakukan reboisasi, dan mengawasi kondisi sungai. Pariwisata tidak dijadikan sektor utama pemasukan negara, melainkan fasilitas wisata dibangun sebagai layanan negara kepada rakyat. Pembangunan tempat wisata dilakukan dengan kajian melibatkan pakar lintas bidang, termasuk lingkungan.


Negara juga memberikan sanksi tegas kepada pelanggar aturan pelestarian hutan, baik pekerja lapangan, pengusaha, maupun aparat yang mendukung perusakan. Keseriusan negara dalam sistem Islam memastikan mitigasi komprehensif dari hulu hingga hilir, mencegah bencana dan meminimalkan korban. Sistem Islam yang menyeluruh inilah yang perlu ditegakkan untuk menyelesaikan semua masalah kehidupan secara sempurna, dengan menerapkan Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [GSM]