Bimwin, Solusi Stunting, Kemiskinan, atau Pernikahan
OpiniProgram yang ditawarkan tak menyentuh akar masalah seakan terkesan hanya formalitas, termasuk di antaranya Bimwin
Alih alih menyelesaikan stunting dan kemiskinan, justru akan menimbulkan problematika baru
_________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bimbingan perkawinan atau dikenal dengan Bimwin diwacanakan akan menjadi persyaratan wajib bagi calon pengantin untuk melangsungkan pernikahan. Landasan aturan itu didasarkan pada Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor 2 Tahun 2024 tentang Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin. Menurut Kementerian Agama (Kemenag), wacana tersebut akan mulai diterapkan Juli 2024 mendatang.
Kasubdit Bina Keluarga Sakinah Agus Suryo Suripto dalam keterangan tertulis yang dikutip Kompas.com, Sabtu (30/3/2024) menyatakan bahwa setelah Bulan Juli, calon pengantin, tanpa pengecualian, tidak akan bisa mencetak buku nikah sebelum mengikuti Bimwim. Selain untuk meningkatkan ketahanan keluarga, hal ini dilakukan sebagai langkah antisipatif untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan kesejahteraan.
Langkah pemerintah ini sejatinya perlu dipertanyakan. Mengingat, fakta stunting disebabkan oleh banyak faktor baik individu maupun sistemik. Stunting sendiri merupakan kondisi terhambatnya tumbuh kembang anak balita akibat malnutrisi berkepanjangan khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan. Kondisi ini dapat dipicu karena berbagai faktor seperti rendahnya status sosial, pendidikan ibu yang kurang, kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, hingga berat badan bayi rendah (BBLR).
Berbagai faktor tersebut pada hakikatnya mengarah pada satu problem mendasar yaitu kemiskinan. Tak dapat dipungkiri, kemiskinan telah menjadi masalah sistemik yang tak bisa diselesaikan secara individual. Alih-alih mengandalkan peningkatan pengetahuan individu melalui edukasi. Kemiskinan memerlukan penyelesaian yang lebih komprehensif yang dapat menyentuh akar permasalahan.
Sayangnya, penguasa saat ini terkesan setengah hati melayani rakyat. Nyatanya, sudah tak terhitung program-program dicanangkan untuk mengurai persoalan masyarakat tetapi tak juga menemui keberhasilan. Karena, program yang ditawarkan tak menyentuh akar masalah seakan terkesan hanya formalitas, termasuk diantaranya bimbingan perkawinan. Alih-alih menyelesaikan stunting dan kemiskinan, Bimwin justru akan menimbulkan problematika baru.
Bagaimana tidak, dengan adanya aturan wajib Bimwin ini, apa yang menjadi jaminan bahwa para catin benar-benar akan mengimplementasikan teori yang didapatkan dalam kehidupan rumah tangganya nanti? Apalagi dalam sistem sekuler kapitalis saat ini, di mana desakan ekonomi kian menjerat sementara kesempatan bekerja sangat terbatas. Mau tak mau, istri yang secara teori bertanggung jawab pada pengaturan domestik akhirnya harus didorong ‘keluar rumah’ untuk membantu perekonomian keluarga.
Ironisnya, meski telah berjibaku membanting tulang, upah yang didapatkan terkadang tetap tak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Alhasil, alih-alih berfokus pada gizi anak, untuk makan esok hari saja terkadang perlu memutar otak. Tak heran, jika kasus stunting di negeri ini bagaikan jamur di musim hujan. Kondisi ini makin menegaskan bahwa Bimwin nyatanya tak efektif menjadi solusi menuntaskan problem stunting.
Selain itu, persoalan lain akan muncul jika pasangan tak dapat mengikuti Bimwin karena suatu kondisi atau tak lulus sertifikasi perkawinan. Jika hal tersebut terjadi, bukan tak mungkin gerbang menuju perzinahan akan terbuka lebar karena terhalangnya catin akibat birokrasi yang rumit. Bukannya mempermudah, hal ini justru mempersulit para catin yang akan melangsungkan pernikahan.
Kondisi kompleks semacam ini sejatinya tak mengherankan. Mengingat, sistem kehidupan sekarang menginduk pada sistem sekuleri kapitalis. Dalam sistem sekuler, alih-alih menjadi penanggung jawab, penguasa hanya bertindak tak ubahnya seperti regulator bagi rakyat yang berlandaskan asas bisnis. Sementara, pengaturan pemenuhan kebutuhan masyarakat diserahkan kepada korporasi. Walaupun negara mengambil bagian, mereka selalu menghitung untung rugi. Tak heran, jika penguasa setengah hati melayani rakyat.
Penyerahan urusan kepada swasta ini membuat negara menggelar karpet merah bagi para korporat untuk mengambil untung sebanyak banyaknya dari penguasaan hajat hidup rakyat. Alhasil, pengelolaan SDA rakyat bebas dimonopoli. Komersialisasi sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan hingga penguasaan rantai distribusi kebutuhan pokok masyarakat bukan hal yang asing lagi ditemui. Pantas, jika rakyat akhirnya mengalami kemiskinan karena kebutuhan banyak yang tak terbeli. Stunting dan kekurangan nutrisi tak pelak dapat terjadi.
Dengan fakta kondisi kemiskinan sistemik saat ini. Menyelesaikan stunting dan kemiskinan harus dimotori oleh negara sebagai pihak yang mempunyai otoritas terhadap sistem. Islam sejatinya telah mempunyai paradigma khas terkait bagaimana konsep menyelesaikan problematika ini, termasuk melalui pelibatan peran negara.
Islam tidak pernah membuat aturan yang mempersulit individu untuk menikah. Dalam pandangan Islam, siapa pun bisa menikah asal sudah memenuhi persyaratan. Tak hanya itu, sejak dini, Islam telah mempersiapkan mental para pemuda melalui sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah. Dengan sistem ini, output generasi yang terbentuk adalah generasi yang mempunyai pola pikir dan pola sikap Islam. Dengan kriteria seperti ini tentu akan mengerti hak dan kewajiban setelah menikah sehingga bisa menjalankan peran masing-masing.
Tak hanya pendidikan, Islam nyatanya punya aturan yang mengatur ekonomi masyarakat. Dalam Islam, tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan kemampuan setiap individu memenuhi kebutuhannya masing-masing. Oleh karena itu, negara wajib memastikan kebutuhan satu per satu ‘kepala’ rakyat terpenuhi, termasuk pernikahan. Negara akan membiayai para pemuda yang tidak mempunyai modal untuk menikah. Tak hanya itu, lapangan pekerjaan akan disediakan seluas-luasnya agar para pemuda dapat memenuhi kebutuhan keluarganya setelah menikah.
Sementara, pendapatan yang digunakan untuk membiayai kebutuhan masyarakat tersebut didapatkan dari baitulmal yang dikumpulkan negara, yaitu dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, pengelolaan SDA, dan sebagainya. Keseluruhan pendapatan itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, sehingga rakyat tak lagi was-was karena tak bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan vitalnya, termasuk mendapatkan nutrisi yang cukup bagi keluarga.
Melalui konsep semacam ini, stunting akhirnya menemui penyelesaiannya secara komprehensif bukan melalui langkah-langkah pragmatis seperti pembentukan kebijakan dan aturan yang justru layaknya tambal sulam. Agar problem masyarakat termasuk stunting bisa terselesaikan, perlu langkah revolusioner untuk berhijrah kepada sistem Islam. Wallahualam bissawab. [Dara]