Alt Title

Berawal dari Kerinduan, Mudik Kini Jadi Tradisi

Berawal dari Kerinduan, Mudik Kini Jadi Tradisi

 


Arus balik erat hubungannya dengan aktivitas mudik sebelum hari raya

 Hal ini telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di setiap tahunnya

____________________


Penulis Tinah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Pemerhati Umat dan Pegiat Literasi AMK 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tak jauh berbeda dengan perjalanan saat mudik menjelang lebaran. Perjalanan arus balik para pemudik menyisakan cerita yang menarik untuk dibahas. Mereka rela kepanasan, kehausan, kelaparan, bahkan ada yang kebelet pipis saat terjebak kemacetan.


Ini seperti yang dialami oleh Ny. Titin, pemudik asal Tasikmalaya yang melakukan perjalanan pulang ke Kota Bandung. Yang menyampaikan keluh kesahnya saat terjebak macet sementara anaknya kebelet pipis. "Anak saya kebelet pipis saat terjebak kemacetan berjam-jam di Garut menuju Bandung, maju kena mundur kena, sampai anak saya gelisah karena pingin buang air kecil," ujarnya. (IDEJABAR, Sabtu 13 April 2024)


Arus balik erat hubungannya dengan aktivitas mudik sebelum hari raya yang telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di setiap tahunnya. Mudik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI) berasal dari kata 'udik' yang mengandung arti dusun, desa, atau kampung. Mudik bisa diartikan kembalinya perantau ke kampung halaman untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga. Sementara dalam arti yang lebih luas, mudik berarti menghidupkan kembali semangat gotong royong, kekeluargaan, persaudaraan, para perantau saat mereka kembali ke komunitas di mana mereka tinggal.


Menurut Prof Heddy Shri Ahimsa Putra, Antropologi Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta, istilah mudik sendiri dikenal mulai tahun 1970 an. Setelah masa orde baru melakukan pembangunan yang dipusatkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Inilah yang menyebabkan orang tertarik untuk melakukan perpindahan dari desa ke kota (urbanisasi) untuk menetap dan mencari pekerjaan. 


Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadinya urbanisasi, salah satunya adalah faktor pembangunan yang tidak merata. Akibatnya timbul ketimpangan kondisi masyarakat antara kehidupan desa dan perkotaan. 


Sampai saat ini kota-kota besar masih memiliki daya tarik tersendiri. Masih dianggap sebagai tempat yang mudah untuk menggapai impian, cita-cita, tempat untuk merubah nasib menuju kehidupan yang lebih baik. Meski, terkadang perbaikan kehidupan tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Faktanya, banyak para pendatang yang luntang lantung hidup di jalanan, ketika mereka datang tanpa dibekali dengan keahlian yang menunjang.


Urbanisasi juga tak bisa lepas dari lapangan pekerjaan khususnya sektor pertanian yang semakin hari makin berkurang. Eksploitasi lahan secara besar-besaran oleh para kapitalis yang didukung sepenuhnya penguasa demi memenuhi ambisi mereka mencari keuntungan dan mempertahankan kekuasaan. Mengakibatkan para petani kehilangan lahan pertanian. Lihat saja, sawah-sawah kini berubah menjadi kawasan perumahan elite, pabrik-pabrik, semua itu keberadaannya bukan untuk rakyat. Kalau pun menyentuh rakyat, mereka hanya jadi buruh dengan upah yang sangat rendah. Semua itu membuktikan bahwa dalam sistem demokrasi kapitalis, penguasa tak pernah tulus dalam melayani rakyatnya. Sampai kapan pun yang namanya kesejahteraan ekonomi bagi rakyat dalam sistem ini tak akan pernah terwujud, meski pemimpin berganti lima tahun sekali.


Lain halnya dengan Islam yang memandang bahwa kesejahteraan masyarakat dalam sektor ekonomi baik yang menyangkut papan, sandang dan pangan. Semuanya merupakan kebutuhan pokok yang harus terpenuhi, karena jika tidak terpenuhi dapat menimbulkan ketidakstabilan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Pemenuhan kebutuhan ini dibeban secara mutlak kepada negara. Negara akan memastikan setiap individu masyarakat bisa mengakses kebutuhan pokok tersebut dengan mudah, baik yang miskin atau kaya, baik yang di kota maupun yang di desa.  


Negara dengan sistem Islam menganggap bahwa siapa saja yang menjadi penguasa. Siapa pun pemimpinnya, ia harus bisa menjadi pemimpin yang mampu melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat. Dengan tulus tentunya, sebagai wujud ketaqwaannya kepada Allah Swt. Sebab, syariat Islam telah menetapkan jika keberadaan penguasa atau pemimpin itu laksana penggembala, sekaligus pelindung bagi umatnya. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dia." (HR al- Bukhari dan Muslim).


Begitu pun dengan kebutuhan jasa atau layanan publik yang menjangkau masyarakat secara luas seperti, kesehatan, pendidikan, dan keamanan, semuanya harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan ketiganya termasuk masalah yang sangat penting bagi kemaslahatan umat. Negara harus mewujudkan pemenuhan layanan publik tersebut agar bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim, miskin atau kaya, menyebar di kota dan di desa. Seluruh pembiayaannya diambil dari kas negara (Baitulmal).


Islam memandang pentingnya mengoptimalkan semua potensi sumber-sumber ekonomi seperti sektor perdagangan, pertanian, kepemilikan umum, dikelola dengan sebaik-baiknya karena berpotensi pada pendapatan yang sangat besar. Semua pendapatan itu akan dikumpulkan di baitulmal untuk dikelola dan didistribusikan demi keberlangsungan dan kemaslahatan masyarakat. 


Dengan begitu, hanya dengan penerapan syariat Islam kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Karena, dalam Islam pemerataan pembangunan baik di kota maupun desa bisa direalisakan untuk seluruh masyarakat. Dengan penerapan Islam, urbanisasi bisa dihindari. Tak ada lagi cerita kepanasan, kehausan, kelaparan di tengah kemacetan.


Ayo, kita tinggalkan sistem yang tidak berpihak kepada rakyat. Kita ganti dengan sistem Islam. karena, hanya sistem Islam yang terbukti selama tiga belas abad peduli dan mampu melindungi seluruh rakyat.  Wallahualam bishawab [Dara]