Alt Title

Kemacetan Mudik Masih Menghantui?

Kemacetan Mudik Masih Menghantui?

 


Permasalahan yang terus terjadi saat mudik menjadi bukti bahwa mitigasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya

Alhasil, permasalahan yang sama terus berulang setiap tahunnya dalam sistem kapitalisme

__________________


Penulis Munawwarah Rahman, S. Pd

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Mudik sudah menjadi tradisi menjelang hari raya Idulfitri. Namun, di tengah hiruk-pikuk tradisi ini. Lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada kondisi seperti tahun-tahun sebelumnya, yang horor jauh dari kata aman dan nyaman. 


Salah satu polemik yang sering menghantui para pemudik adalah terjebak kemacetan parah. Seperti waktu tempuh perjalanan ke Merak, naik signifikan selama periode mudik lebaran 2024. Berdasarkan pantauan CNBC Indonesia pada 06/04/2024, waktu tempuh hingga bisa naik ke atas kapal tembus tujuh jam.


Pusat kemacetan adalah sebelum embarkasi ke kapal, di mana calon penumpang harus mengantre dalam tiga kantong berbeda sebelum naik ke kapal. Bahkan, antrean tersebut dapat menempuh waktu hingga 4 jam.


Sebelum sampai pelabuhan Merak, kemacetan parah juga terjadi di Tol Tangerang-Merak KM 95. Dari pantauan CNBC Indonesia sekitar pukul 3:41 WIB, kendaraan yang melintas terhenti beberapa menit. Kabarnya, kemacetan dipicu oleh penumpukan antrean pemudik ke gerbang tol merak dan Km 95 yang biasanya menjadi titik awal kemacetan. Sabtu (6/4/2024). (CNBC Indonesia/Sefti Oktaranisa).


Selain dihantui kemacetan parah, masyarakat juga dibayangi rawannya kecelakaan. Tahun 2024, masa mudik Idul Fitri telah mencapai 213 kecelakaan. Dengan perincian 23 orang meninggal dunia, 39 orang luka berat, dan ratusan lain luka ringan. 


Melihat fakta yang terus berulang, pemerintah telah berupaya mengatur skema kebijakan agar memperlancar perjalanan mudik dengan beragam cara seperti: memberi diskon tiket, menerapkan sistem ganjil genap, dan lain-lain.


Namun, walau skema kebijakan telah dilakukan. Faktanya, kemacetan masih terus menghantui di setiap waktu-waktu mudik. Parahnya bukan saja masalah macet, melainkan kecelakaan maut yang terjadi di KM 58 Tol Jakarta-Cikampek. Akibatnya, 12 orang dinyatakan meninggal dunia. Peristiwa nahas itu terjadi di jalur contraflow Cikampek menuju Jakarta dan melibatkan tiga kendaraan. (Viva, 8/4/2024).


Permasalahan yang terus terjadi saat mudik menjadi bukti bahwa mitigasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Alhasil, permasalahan yang sama terus berulang setiap tahunnya dalam sistem kapitalisme. 


Kapitalisme merupakan sistem kehidupan yang berlandaskan pada materi. Wajar, jika prinsip pelayanan negara saat ini tidak terlepas dari bisnis. Karena, hal tersebut bisa menghasilkan keuntungan. Pada akhirnya, prinsip inipun membuat negara lalai dalam melayani dan ujung-ujungnya menzalimi rakyat. 


Sementara, dengan kejadian yang terus berulang masyarakat seolah terbiasa dan memaklumi kelalaian  tersebut. Bahkan, pemakluman itu dijadikan sebagai legalitas negara membuat pemerintah dalam sistem kapitalisme merasa cukup dan tak lagi memikirkan langkah yang tepat untuk menyelesaikan persoalan rakyatnya. Solusi yang diberikan hanya solusi parsial dan pragmatis. 


Nyatanya, beberapa solusi yang telah dilakukan tak menyelesaikan persoalan. Masyarakat tetap saja terjebak pada persoalan yang sama. Parahnya, perjalanan mudik yang horor telah mengorbankan hari-hari terakhir Ramadan dan kekhusyuan tak bisa dirasakan oleh para pemudik.


Pelayanan Mudik dalam Sistem Islam


Pelayanan negara saat mudik dalam sistem kapitalisme tentu berbeda dalam sistem Islam. Sebab negara Islam adalah pelayan umat (Raain). Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)


Melalui hadis ini, negara dalam sistem Islam akan bertanggungjawab penuh untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan pada seluruh rakyat saat mereka sedang mudik. Negara akan melakukan mitigasi secara optimal sebagai bentuk periayahan atas rakyat, khususnya dalam hal transportasi mudik. Beberapa di antaranya adalah:


Pertama, Sistem Islam akan melakukan pembangunan dan perbaikan jalan secara totalitas, baik jalan arteri maupun jalan tol. Perbaikan ini dilakukan di jalur utama hingga jalan-jalan menuju desa dan perkampungan. Tak lupa melakukan pengaspalan jalan menggunakan bahan yang terbaik sesuai dengan kontur alam wilayah. Selain itu, lampu jalan akan diperhatikan oleh negara sehingga setiap jalan ada penerangannya. 


Kedua, Penyediaan moda transportasi saat mudik seperti kereta api, kapal laut dan pesawat. Masyarakat tak perlu khawatir dengan pembiayaannya. Sebab, semua akan tersedia dengan harga yang murah bahkan gratis, aman, dan nyaman. 


Dengan pelayanan seperti ini, masyarakat akan mendapatkan haknya dalam mengakses moda transportasi jenis apapun secara murah, aman, nyaman, dan berkualitas. Dengan begitu masyarakat akan terhindar dari antrean panjang, berebut tiket, bahkan kemacetan panjang.


Ketiga, penyediaan transportasi atas dasar layanan sosial, bukan bisnis. Sehingga prinsip-prinsip untung rugi tidak akan ditemukan dalam sistem Islam. Menariknya, negara akan menyediakan rest area dengan prinsip pelayanan di sejumlah titik jalan. 


Hal ini sesuai dengan kebijakan yang pernah dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Di mana, beliau membangun (rumah singgah yang menyediakan bahan makanan) untuk Ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan).


Keempat, Sistem Islam akan mengembangkan industri transportasi dengan teknologi terbaru. Sehingga transportasi yang digunakan terjamin kelayakan dan kualitasnya.


Demikian, peran negara menggunakan sistem Islam dalam meriayah dan melindungi rakyatnya. Sehingga kemacetan tak menghantui para pemudik di setiap perjalanannya. Tentu, hal ini bisa dirasakan ketika sistem Islam kembali berjaya dalam kehidupan ini. Wallahualam Bissawab. [Dara]