Islam Mengantar Perempuan pada Kesejahteraan
Analisis
Khalifah berusaha memastikan bahwa kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi
Para perempuan tidak diharuskan menjadi satu-satunya penyokong keluarga dan tetap dapat menjalankan peran fitrahnya dalam kehidupan rumah tangga
___________________
Penulis Ummu Hanan
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Setiap tahun, pada tanggal 8 Maret, kita memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women's Day atau IWD). Ini adalah hari di mana kita bersatu dalam aktivisme global untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan, sebuah perayaan yang telah berlangsung sejak tahun 1911. (cnnindonesia.com, 8/3/24)
Dilansir dari liputan6.com (1/3/24), UN Women Indonesia kembali menekankan pentingnya menginvestasikan lebih banyak perhatian pada kelompok perempuan dan mengurangi kesenjangan gender. Dwi Faiz, Kepala Program UN Women Indonesia, menegaskan bahwa memastikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak perempuan di semua bidang kehidupan merupakan kunci untuk mencapai perekonomian yang adil dan makmur, mewujudkan lingkungan yang sehat bagi generasi masa depan, serta mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dengan fokus pada tema tersebut, UN Women Indonesia mengklaim bahwa investasi konkret dalam pemberdayaan perempuan dapat dilakukan melalui dua pendekatan utama, yaitu investasi publik dalam memenuhi kebutuhan perempuan dan dukungan investasi dari sektor swasta.
Pertama, investasi publik dapat diarahkan pada kebijakan dan program yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus perempuan, seperti akses pendidikan yang setara, layanan kesehatan reproduksi, dan perlindungan terhadap kekerasan gender. Pengalokasian dana publik untuk mendukung inisiatif ini akan membantu menciptakan lingkungan yang mendukung kemajuan dan kesetaraan perempuan di berbagai sektor.
Kedua, sektor swasta yang dapat berperan penting dalam investasi terhadap perempuan. Perusahaan dapat mengambil langkah-langkah untuk memastikan adanya kesetaraan gender di tempat kerja, seperti kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja dan kehidupan, serta program pengembangan keterampilan bagi perempuan. Selain itu, investasi swasta dalam bisnis yang dimiliki atau dipimpin oleh perempuan juga dapat menjadi cara yang efektif untuk memperkuat peran ekonomi perempuan.
Dengan kombinasi investasi publik dan dukungan sektor swasta, dapat diciptakan lingkungan yang mendukung perempuan secara holistik, merangsang pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan mencapai tujuan kesetaraan gender secara berkelanjutan.
Mampukah IWD Mengantarkan Perempuan Indonesia Sejahtera?
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sebanyak 9,68 persen perempuan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pernyataan tersebut diberikan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA, Titi Eko Rahayu.
Titi menyatakan bahwa persoalan kemiskinan sering kali terkait dengan perempuan. Ini disebabkan karena perempuan dalam masyarakat yang miskin cenderung menunjukkan indikator kesejahteraan yang lebih rendah. Selain itu, KemenPPPA juga mencatat adanya disparitas upah antara perempuan dan laki-laki, di mana upah perempuan umumnya lebih rendah daripada upah laki-laki. (rri.co.id, 11/8/23). Dari data ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa perempuan belum bisa dinyatakan sejahtera.
Kapitalisme Jauhkan Perempuan dari Fitrahnya
Sistem ekonomi kapitalis menyebabkan adanya kemiskinan struktural di dalam masyarakat. Kapitalisme juga mendorong perempuan untuk bergabung dalam dunia kerja tanpa adanya keterampilan manajemen rumah tangga yang memadai, serta kurangnya pemahaman akan pentingnya keutuhan dan ketahanan keluarga.
Akibatnya, peran sentral perempuan sebagai ibu, pengurus keluarga dan pemelihara rumah tangga (ummu wa rabbatul bait) terlupakan. Ini sesuai dengan keinginan Barat, yang menginginkan keruntuhan struktur keluarga dalam masyarakat muslim.
Padahal, kita menyadari bahwa peran ibu rumah tangga memiliki dampak yang sangat penting dalam mempertahankan peradaban. Ia bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak dengan nilai-nilai Islam serta menjaga keharmonisan keluarga dengan sebaik mungkin. Dalam Islam, peran ibu dihormati dan tidak dibebani dengan masalah ekonomi untuk mencari tambahan.
Mewujudkan Kestabilan Ekonomi dalam Islam
Untuk menciptakan struktur ekonomi yang stabil, pendekatan ekonomi Islam mengusulkan perbedaan dalam kepemilikan harta menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Pertama, kepemilikan individu merujuk pada izin yang diberikan oleh syariat Islam untuk memiliki dan menggunakan barang atau zat tertentu, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur oleh hukum Islam.
Kedua, kepemilikan umum, di sisi lain, merupakan izin yang diberikan oleh syariat Islam kepada suatu komunitas masyarakat untuk bersama-sama menggunakan barang atau benda. Barang-barang yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah yang secara spesifik ditetapkan oleh syariat untuk dimanfaatkan bersama oleh masyarakat, karena saling ketergantungan, dan dilarang bagi seorang individu untuk menguasainya secara eksklusif.
Kategori barang ini mencakup tiga jenis, yaitu pertama, fasilitas umum yang jika tidak tersedia dalam suatu komunitas, akan menyebabkan konflik dalam mendapatkannya. Kedua, sumber daya tambang yang tidak terbatas. Ketiga, sumber daya alam yang secara alamiah tidak memungkinkan dimiliki oleh individu secara eksklusif.
Fasilitas umum merujuk pada apa pun yang dianggap sebagai kepentingan umum manusia. Konsep fasilitas umum ini dijelaskan dalam ajaran Islam, berdasarkan sifatnya, bukan jumlahnya, sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam hadis.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. menyampaikan, "Kaum Muslim memiliki hak yang sama dalam tiga hal: air, lahan, dan api." (HR. Abu Dawud)
Anas meriwayatkan hadis tersebut dari Ibnu Abbas dengan menambahkan, "Dan harganya tidak boleh diperdagangkan."
Ketiga adalah kepemilikan negara. Kepemilikan negara adalah harta yang menjadi hak bersama seluruh umat Muslim, dengan pengelolaannya menjadi tanggung jawab khalifah. Khalifah memiliki otoritas untuk mengelola harta tersebut dan dapat mengambil keputusan terkait penggunaannya berdasarkan pandangan dan ijtihadnya.
Konsep pengelolaan oleh khalifah menunjukkan bahwa khalifah memiliki kekuasaan atas pengelolaan harta tersebut. Ini mengimplikasikan bahwa kepemilikan juga berkaitan dengan kekuasaan atas harta benda. Dengan demikian, setiap kepemilikan yang pengelolaannya bergantung pada pandangan dan kebijakan khalifah dianggap sebagai kepemilikan negara.
Allah Swt. telah menetapkan beberapa harta sebagai milik negara. Khalifah memiliki hak untuk mengelola harta tersebut sesuai dengan pandangan dan keputusannya, seperti fai, kharaj, jizyah, dan sebagainya. Syariat tidak secara spesifik menentukan tujuan dari harta yang dikelola oleh negara.
Jika syariat telah menentukan tujuan dari harta yang dikelola dan tidak memberikan kewenangan kepada pandangan dan kebijakan khalifah, maka harta tersebut bukanlah kepemilikan negara, tetapi milik individu yang telah ditentukan oleh syariat.
Karena itu, zakat, sebagai contoh, tidak termasuk dalam kepemilikan negara, tetapi dimiliki oleh delapan asnaf yang telah ditetapkan oleh syariat. Baitulmal berfungsi sebagai tempat penampungan zakat agar dapat dikelola sesuai dengan objeknya.
Islam Mengantar Perempuan pada Kesejahteraan
Dengan pengaturan kepemilikan yang diatur dalam Islam, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat diraih. Khalifah berusaha memastikan bahwa kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi, sehingga para perempuan tidak diharuskan menjadi satu-satunya penyokong keluarga dan tetap dapat menjalankan peran fitrahnya dalam kehidupan rumah tangga.
Tanggung jawab nafkah dalam Islam tetap menjadi kewajiban suami. Seorang suami yang baik dan beriman akan berusaha keras untuk memastikan kebutuhan keluarganya terpenuhi. Meski, Islam memperbolehkan istri untuk bekerja di luar rumah, mereka tetap diwajibkan mematuhi syariat, seperti menjaga aurat dengan sempurna dan berinteraksi dengan masyarakat dengan tata krama yang baik.
Jika seorang istri mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya, itu dianggap sebagai harta pribadinya dan tidak ada kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga. Jika istri memilih memberikan uang kepada keluarga atau menggunakan penghasilannya untuk keperluan keluarga, itu dianggap sebagai sedekah baginya.
Seorang perempuan juga dimuliakan dengan adanya wali yang bertanggung jawab untuk menafkahi mereka dan keluarganya hingga mereka menikah. Selain itu, negara memenuhi kebutuhan individu rakyatnya secara tidak langsung dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Jika tidak ada anggota keluarga yang mampu menafkahi, negara akan memberikan bantuan langsung seperti pemberian subsidi, dan sejenisnya. Inilah konsep penafkahan dalam sistem Islam.
Sistem ekonomi Islam memudahkan umat Islam dan non-Muslim untuk menjalankan aktivitas sesuai dengan aturan Allah Swt. yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga kehidupan manusia menjadi lebih teratur dan diberkahi. Hal ini hanya dapat terwujud dalam sistem kehidupan Islam yang kafah. Wallahualam bissawab. [Dara]