Depresi Para Caleg, Akibat Cengkraman Demokrasi Kapitalis
Opini
Dalam sistem kapitalis, untuk mendapatkan jabatan, banyak orang harus bersaing ketat dalam kontestasi
Para caleg rela merogoh kocek dalam-dalam, itu mereka lakukan untuk mendapatkan suara rakyat demi tiket menuju gedung dewan
_________________________
Penulis Aning Juningsih
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - 14 febuari telah berlalu, tetapi masalah pemilihan suara belum selesai. Malah menambah masalah baru, dengan munculnya dua orang timses salah satu caleg yang depresi setelah gagal mengantarkan caleg jagoannya mendapatkan suara. Sebab, caleg yang didukungnya digadang-gadang akan mendapatkan suara tinggi untuk duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten. (tvonenews.com, 19/02/24)
Karena merasa gagal mengantarkan jagoannya duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten, keduanya sengaja datang ke padepokan Al-Busthomi atau yang dikenal padepokan Anti Galau.
Kini rasa putus asa menyelimutinya karena tekanan kepercayaan yang dibayar dengan kegagalan. Mereka mengaku telah berusaha maksimal untuk memenangkan calon dewan yang didukungnya. Adapun bentuk usaha yang dilakukan mereka, yaitu dengan gencar sosialisasi ke masyarakat sampai membagikan sembako serta uang tunai.
Bahkan, salah satu di antaranya sampai nekat mengambil kembali amplop berisi uang yang telah ia bagikan saat menjelang pencoblosan di Dapil 7 kabupaten Cirebon. Pasalnya, tebaran uang yang identik dengan serangan fajar itu justru berbanding terbalik dengan torehan suara yang didapat caleg yang dijagokannya.
Melihat fakta yang terjadi pada orang-orang yang gagal nyaleg kemudian banyak yang depresi dikarenakan pandangan mereka yang keliru terhadap jabatan. Karena pandangan mereka terhadap jabatan sangat kapitalis yaitu menjadi tiket emas untuk meraup keuntungan materi.
Dalam sistem kapitalis, untuk mendapatkan jabatan, banyak orang harus bersaing ketat dalam kontestasi. Para caleg rela merogoh kocek dalam-dalam, itu mereka lakukan untuk mendapatkan suara rakyat demi tiket menuju gedung dewan. Dan demi mendapatkan suara rakyat, sebagian mereka ada yang rela menjual tanah, rumah, mobil, perhiasan dan yang lainnya, bahkan ada yang berhutang sebab sudah kehabisan modal.
Dan modal itu mereka gunakan untuk membiayai timses, mencetak alat peraga kampanye, dan modal yang paling banyak mereka keluarkan adalah untuk membeli suara rakyat dengan cara membagikan "amplop" menjelang pencoblosan dan juga memberi bantuan fisik seperti membagikan sembako dan pembangunan jalan dan yang lainnya.
Demi mendapatkan jabatan semua hal sudah mereka lakukan, dan ternyata gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dunia serasa hancur, itulah penyebab mereka mengalami depresi.
Setelah kita amati, untuk menjadi caleg, orang harus rela kehilangan hartanya demi mencalonkan diri. Ini menunjukkan bahwa pemilu pada sistem demokrasi merupakan proses pemilihan dengan biaya tinggi. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, segala sesuatu dalam pemilu butuh biaya besar, tidak ada yang gratis, terutama dalam dukungan suara rakyat.
Sebab rakyat paham bahwa di dalam sistem demokrasi kapitalisme, para pejabat akan mendadak kaya karena jabatannya. Oleh karena itu, mereka mempertimbangkan sebagai hal yang wajar jika masyarakat berhak menerima imbalan finansial atas dukungan suara yang mereka berikan. Walau amplop yang diberikan kepada masyarakat sebenarnya jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan peningkatan yang signifikan pada kekayaan pejabat.
Itulah salah pengertian terhadap posisi jabatan yang telah menjadi pola pikir dominan di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh dominasi prinsip sekularisme yang kuat di kalangan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya fenomena tersebut dalam masyarakat. Sedangkan prinsip Islam tentang jabatan adalah amanah justru ditinggalkan.
Sebab dalam syariat Islam, jabatan adalah amanah, orang yang memegang jabatan sejatinya sedang memikul amanah berat yang harus dipertanggung jawabkan sesuai dengan syariat Allah Taala. Kalau berlaku adil, dengan menerapkan syariat Allah Swt., ia akan beruntung. Namun jikalau ia zalim, kelak ia akan menyesal di akhirat.
Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, dimana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR Muslim)
Jadi dalam sistem Islam ketakwaan menjadi syarat mutlak untuk para pejabat. Dalam sistem Islam, hanyalah orang bertakwa yang boleh menjadi pemimpin sekaligus pelaksana urusan umat. Sedangkan bagi orang-orang zalim dan fasik apalagi kafir tidak boleh menjadi pejabat.
Dalam sistem Islam, profil penguasanya adalah orang-orang yang takut kepada Allah Swt. Maka jabatannya bukan untuk mencari keuntungan pribadi melainkan untuk mensejahterakan umat. Itulah profil yang tampak pada diri Rasulullah saw. Meskipun menjadi penguasa yang agung, kehidupan beliau tetap sederhana. Berbeda dengan pejabat sekarang yang mencari keuntungan demi kesejahteraan diri sendiri dan jauh dari sikap zuhud.
Sikap penguasa yang tidak tamak terhadap jabatan itu juga diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin. Sudah tidak asing lagi di tengah kita tentang sikap Umar bin Khattab yang bajunya tambalan dan tidur di bawah pohon kurma, sehingga membuat heran utusan dari negeri lain yang hendak menemuinya. Begitu pula sikap Umar bin Abdul Aziz yang memberikan hartanya, dan juga kalung istrinya ke baitul mal. Sedangkan beliau hidup sederhana.
Sikap penguasa yang demikian merupakan hasil dari penerapan sistem Islam. Karena sikap penguasa seperti Rasulullah saw., Umar bin khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz tidak akan kita jumpai dalam sistem demokrasi kapitalisme. Justru jauh berbeda model pejabat yang ada pada saat ini, sekarang adalah orang-orang yang notabene cenderung gila jabatan.
Sistem Islam menghasilkan pemimpin yang adil, karena Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang khas. Dari sisi lain saja sudah jelas kekhasannya bahwa syarat penguasa dalam Islam yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Syarat adil ini maknanya adalah tidak fasik, artinya sang penguasa tersebut haruslah orang yang bertakwa. Oleh karena itu orang-orang yang gila jabatan tidak akan memenuhi kriteria adil tersebut.
Dengan itu terkait pemilihan pemimpin, syarak telah menentukan bahwa rakyat memiliki kekuasaan untuk memilih pemimpin negara maupun perwakilan rakyat yang duduk di Majelis Umat. Akan tetapi, mekanisme pemilu di dalam sistem Islam bersifat sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, dan penuh kejujuran, berbeda sekali dengan pemilu di sistem demokrasi kapitalisme yang memakan banyak biaya.
Pemilu dalam sistem Islam tidak ada janji-janji politik yang penuh pencitraan dan kepalsuan sebagaimana saat ini. Oleh karenanya, dalam pemilu sistem Islam tidak ada politik uang. Pemilihan pemimpin berlangsung secara adil sesuai syariat.
Para calon pemimpin yang memiliki karakteristik Islam mendukung proses pemilihan pemimpin yang adil. Mereka menjadikan jabatan sebagai amanah karena takwanya kepada Allah, dan partisipasi mereka dalam pemilihan hanya didasarkan pada keinginan untuk meraih ridha Allah. Mereka memahami bahwa tanggung jawab berat yang akan mereka emban setelah terpilih jauh lebih penting daripada keuntungan materi. Namun, jenis pemimpin seperti itu hanya dapat ditemukan dalam sistem Islam yang menerapkan nilai-nilai Islam secara menyeluruh. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, kita dapat melihat terwujudnya pemimpin-pemimpin yang kita harapkan.
Wallahualam bissawab. [GSM]