Alt Title

Caleg Gagal Berujung Depresi, Keniscayaan dalam Demokrasi

Caleg Gagal Berujung Depresi, Keniscayaan dalam Demokrasi

 


Di sisi lain juga memberikan gambaran betapa pemilu di negeri ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi

Untuk menjadi calon legislatif diperlukan dana untuk kampanye hingga miliaran rupiah

_________________________


Penulis Nina Marlina, A.Md

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Selepas gelaran pemilu, terdapat berbagai fenomena caleg yang gagal terpilih dan tim sukses yang kecewa. Mulai dari yang menderita stress, depresi, menarik kembali ‘pemberian’ pada masyarakat hingga nekad bunuh diri.


Dua orang tim sukses di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat mengalami depresi usai caleg yang digadang-gadangnya meraih suara tinggi justru keok dan anjlok. Mereka mengambil kembali amplop yang sebelumnya telah dibagikan kepada warga. Keduanya pun mendatangi Padepokan Al-Busthomi Cirebon untuk menjalani terapi. Sementara itu, oknum timses salah satu caleg di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat melempar rumah tim sukses caleg lawan karena diduga melakukan kecurangan. (Tvonenews.com, 18/02/2024)


Sementara itu dari laman Mediaindonesia.com, 19/02/2024 diberitakan tim sukses calon anggota legislatif (caleg) WG alias Wagino alias Gundul, 56, warga Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon rambutan di kebun karet miliknya, sekitar pukul 11.00 WIB, pada Kamis (15/2) lalu. Kejadian tersebut dibenarkan oleh Kapolres Pelalawan Ajun Komisaris Besar (AKB) Suwinto. Menurutnya WG diduga depresi karena caleg yang diusungnya kalah atau tidak mendapatkan suara sesuai harapan.


Kapitalisme Demokrasi Biang Kerok 


Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yang hanya siap menang dan tidak siap kalah. Ini menandakan keimanan yang lemah apalagi hingga bersikap putus asa dan melakukan bunuh diri. Gagal nyaleg seolah dunia menjadi hancur. 


Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diinginkan oleh para calon karena akan mendapatkan keuntungan materi. Hal ini membuat mereka rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar. Sistem kapitalisme sekuler telah melahirkan individu-individu materialistis dan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Kehidupan hedonis juga telah menjadikan manusia cinta akan dunia, harta dan kekuasaan.


Di sisi lain juga memberikan gambaran betapa pemilu di negeri ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi. Tak dimungkiri, penyelenggaraan pemilu biayanya selalu naik dari sebelumnya. Untuk menjadi calon legislatif diperlukan dana untuk kampanye hingga miliaran rupiah. Misalnya pembuatan kaus, alat peraga (baliho), biaya operasional saksi dan tim sukses. Apalagi jika ditambah dengan pembagian sembako atau uang kepada para pemilih. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan uang dengan cara menjual tanah, kendaraan dan barang berharga lainnya hingga berutang. Tentu uang sebesar itu tak hanya didapat dari uang pribadi, namun berasal dari para pemodal berkantong tebal. Alhasil saat menjabat, mereka akan memikirkan bagaimana agar bisa kembali modal dan membuat undang-undang sesuai pesanan.


Sistem Islam Melahirkan Pejabat Amanah


Islam memandang jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Bagi seorang muslim yang memiliki keimanan yang tinggi justru takut ketika menjabat karena khawatir tidak bisa berlaku amanah. Jabatan artinya adalah tanggung jawab. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Bahkan Rasulullah saw. tidak memberikan jabatan kepada orang yang memintanya. Abu Musa ra. pernah menuturkan ketika ia masuk menemui Nabi bersama dengan dua orang teman. Lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah aku sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullah". Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Namun Nabi saw. bersabda, “Sungguh aku tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang berambisi terhadap jabatan itu”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Nasai)


Islam juga menetapkan cara-cara yang ditempuh harus sesuai dengan hukum syarak. Dalam Islam, pemilu adalah uslub untuk mencari pemimpin/majelis umat, dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji. Para calon pun memiliki kepribadian Islam, dan hanya mengharap keridaan Allah semata.


Adapun majelis umat adalah majelis yang beranggotakan orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat serta melakukan kontrol dan mengoreksi (muhasabah) para pejabat pemerintahan. Muhasabah kepada penguasa adalah perintah Allah untuk mengubah perilaku mereka jika melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban terhadap rakyat, menyalahi hukum Islam atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan. 


Maka sudah saatnya kita tinggalkan sistem demokrasi menuju sistem Islam yang akan melahirkan pejabat amanah, yang mengharapkan rida Allah. Bukan demi meraih keuntungan pribadi dan golongan.

Wallahualam bissawab. [GSM]