Islam Menjaga Makanan Halal dan Thoyib bagi Umat
OpiniNamun, tarif yang tidak murah dalam pengurusan sertifikat halal di atas memang lumrah dalam sistem kapitalisme. Pengurusan sertifikat halal akan dipandang sebagai sumber keuntungan negara.
Sehingga hal administratif yang seharusnya menjadi fasilitas bagi rakyat justru sarat dengan nilai komersialisasi
____________________________________________
Penulis Ummu Hanan
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kementerian Agama mewajibkan pedagang makanan dan minuman, termasuk pedagang kaki lima (PKL), untuk memiliki sertifikat halal. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Aturan ini dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Pemilik usaha yang harus memiliki sertifikat halal dari BPJPH antara lain: pedagang produk makanan dan minuman, pedagang bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, serta pedagang produk hasil sembelihan dan pemilik jasa penyembelihan. Ketiga kelompok pedagang ini diharuskan memiliki sertifikat halal pada tanggal 17 Oktober 2024. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham, menyatakan bahwa pedagang yang tidak memenuhi persyaratan tersebut setelah batas waktu tersebut berpotensi mendapat sanksi. (Kompas.com, 2/2)
Kebijakan sertifikasi halal ini ternyata sudah mengundang kritik sejak tahun 2022 silam, pasalnya negara hanya menyediakan 1 juta sertifikat halal gratis bagi PKL atau umkm. Jumlah tersebut tentunya tidak cukup untuk memfasilitasi PKL atau umkm yang tercatat tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 22,7 juta. Lalu bagaimana nasib sisanya?
Kebijakan yang mewajibkan PKL memiliki sertifikat halal tentunya akan merepotkan mereka. Pasalnya, biaya pengurusan sertifikat halal ini tidaklah murah.
Tarif layanan sertifikasi yang ditetapkan oleh BPJPH adalah sebagai berikut. Sebagai contoh, biaya permohonan sertifikat halal untuk barang dan jasa dari UMK adalah Rp 300 ribu, ditambah dengan biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH yang maksimal sebesar Rp 350 ribu. Dengan demikian, total biaya yang diperlukan adalah Rp 650 ribu.
Sementara untuk usaha menengah yang memproduksi makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya mencapai Rp 8 juta, yang terdiri dari biaya permohonan sertifikat sebesar Rp 5 juta dan biaya pemeriksaan LPH yang maksimal sebesar Rp 3 juta. Selain itu, jika sertifikat halal sudah kedaluwarsa, pembaruan atau perpanjangan masa berlaku sertifikat akan menambah biaya lagi.
Kondisi di atas tentunya menyiratkan ada nilai komersil yang diterapkan oleh pemerintah dalam pembuatan sertifikat halal. Sungguh sangat disayangkan.
Namun, tarif yang tidak murah dalam pengurusan sertifikat halal di atas memang lumrah dalam sistem kapitalisme. Pengurusan sertifikat halal akan dipandang sebagai sumber keuntungan negara. Sehingga hal administratif yang seharusnya menjadi fasilitas bagi rakyat justru sarat dengan nilai komersialisasi.
Ini tentu saja berbeda dengan sistem Rahmatan Lil Alamin, Islam. Sistem pemerintahan Islam akan senantiasa memandang hal administratif seperti sertifikat halal ini sebagai fasilitas yang diberikan secara gratis bagi umat.
Rakyat akan mendapat informasi yang jelas terkait syarat makanan yang layak dikonsumsi oleh umat, yakni halal dan thoyib. Selain itu, para pengusaha yang berjualan bahan pangan mentah atau jadi pasti akan diajak untuk mematuhi regulasi terkait halal dan thoyib tadi.
Selain informasi dan regulasi, sistem pemerintahan Islam akan senantiasa bertanggung jawab untuk menyediakan makanan dengan kualitas terbaik dan harga yang terjangkau. Islam juga akan senantiasa menjaga ketersediaan pangan di lapangan. Serta memerhatikan makanan yang beredar di tengah masyarakat, apakah layak dikonsumsi dan mengikuti regulasi halal dan thoyib atau tidak.
Oleh karena itu, baik pedagang atau konsumen dalam sistem pemerintahan Islam akan senantiasa terlindungi. Pedagang makanan akan mudah mendapatkan bahan pangan yang baik dan terjangkau, juga sadar menjaga proses dan kualitas makanan yang dijual sesuai aturan syariat. Begitu pula konsumen akan merasa tenang dalam membeli kebutuhan pangan mentah atau jadi karena ketersediaan makanan begitu dijaga oleh sistem pemerintahan yang menjalankan Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [GSM]