Alt Title

Demokrasi, Pemilu, dan Kecurangan, Pasangan yang Tidak Bisa Dipisahkan

Demokrasi, Pemilu, dan Kecurangan, Pasangan yang Tidak Bisa Dipisahkan

  


 Sudah menjadi tabiat demokrasi bahwa untuk mencapai kemenangan harus dengan uang dan kecurangan. Karena kekuasaan menjadi tujuan dari sistem, bagaimanapun caranya yang terpenting adalah menang. Mereka tidak peduli baik atau buruk, halal atau haram, jika diperlukan, rakyat pun akan dikorbankan

Demokrasi tidak memandang siapa kawan siapa lawan, orang jahat atau orang baik, yang terpenting adalah kesamaan kepentingan dan mau berkonspirasi untuk meraih kekuasaan

_________________________


Penulis Abdul Latif

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Indonesia Political Watch


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pasca pilpres 14 februari 2024, masyarakat dihebohkan dengan berbagai temuan kecurangan. Tidak sedikit protes dan ungkapan-ungkapan kasar yang ada di berbagai media sosial. Hasil hitung cepat quick count menjadi topik terpanas saat ini. Belum lagi sebelumnya film dokumenter “dirty vote” turut memanaskan suasana menjelang pemilu. Itulah watak asli demokrasi, pemilu dan kecurangan seolah pasangan yang tidak bisa dipisahkan.


Pemilu banyak diyakini sebagai sebuah jalan menuju ke arah demokrasi. Walaupun pemilu itu sendiri juga sering dianggap hanya sebagai sebuah prosedur demokrasi. Banyak pula negara yang menggunakannya hanya sekedar memenuhi syarat formal untuk dapat disebut sebagai sebuah negara demokrasi, sehingga tatanan aturan pemilu (electoral law) maupun proses pemilu (electoral process) tidak mencerminkan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan demokrasi.


Pemilu dan kecurangan senantiasa mengiringi proses demokrasi ini. Mari kita buka lembaran sejarah di era orde lama. Pemilu di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 masa Presiden Soekarno dengan jumlah partai politik yang cukup banyak. Yang saat itu belum pernah ada pemilu dari tahun 1945 atau sejak negeri ini merdeka. Hasil pemilu pun akhirnya dibubarkan Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya dekrit Presiden 5 juli 1959. Sejak itu Soekarno menjalankan pemerintahan dengan cara Demokrasi Terpimpin. Anggota parlemen dipilih sesuai kehendak Sang Presiden. Akibatnya ketidakstabilan negara dan puncak perebutan kekuasaan itu adalah munculnya G30S/PKI tahun 1965, dan munculah nama Soeharto sebagai pemimpin baru.


Presiden Soeharto resmi diberi mandat sebagai Presiden pada tahun 1968. Dan akhirnya pemilu kedua pun dilaksanakan pada tahun 1971, setelah 16 tahun tidak ada pemilu. Golkar menang mutlak dalam proses pemilu itu. Lagi-lagi ambisi kekuasaan dan kecurangan melalui perangkat negara dijalankan. Dari intimidasi, penculikan aktivis, pembunuhan karakter, fitnah, dan puncaknya diputuskan penguasa bahwa peserta pemilu dibatasi 3 partai politik saja. Presiden dan wakil presiden dipilih berdasarkan kesepakatan para wakil rakyat. Dan akhirnya orde baru pun tumbang pada tahun 1998. 


Pasca orde baru, berganti orde reformasi dan pemilu pun digelar pada tahun 1999. Di era reformasi ini muncul banyak sekali partai politik. Lantas apakah tidak ada kecurangan? Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1999 Edwin Henawan Soekowati menilai pemilu 1999 sangat buruk. Lantas pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024 ini apakah bertambah baik?


Dari sejarah awal pemilu pasca kemerdekaan hingga hari ini, menunjukkan bahwa pemilu dan kecurangan adalah pasangan yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu sudah menjadi tabiat demokrasi bahwa untuk mencapai kemenangan harus dengan uang dan kecurangan. Karena kekuasaan menjadi tujuan dari sistem, bagaimanapun caranya yang terpenting adalah menang. Mereka tidak peduli baik atau buruk, halal atau haram, jika diperlukan, rakyat pun akan dikorbankan. Demokrasi tidak memandang siapa kawan siapa lawan, orang jahat atau orang baik, yang terpenting adalah kesamaan kepentingan dan mau berkonspirasi untuk meraih kekuasaan.


Tidak hanya di Indonesia, diberbagai negara yang menerapkan demokrasi sudah dapat dipastikan adanya pemilu dan kecurangan. Bahkan di negara kampium demokrasi, Amerika Serikat pun terjadi banyak kecurangan pemilu. Melalui platform media sosial Truth Social, Donald Trump mengumumkan bahwa sebuah laporan besar, kompleks, dan detail, yang tak dapat disangkal mengenai kecurangan pemilu di Georgia (Media Indonesia 16/8/2023). 


Inilah bukti bahwa demokrasi, pemilu, dan kecurangan adalah pasangan yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai bukti pula bahwa semua sistem buatan manusia adalah lemah dan menjadi masalah. Masihkah kita percaya dan meyakini demokrasi adalah sistem terbaik? Tidakkah kita yakin bahwa Islam adalah sistem terbaik yang telah diturunkan oleh Allah Swt. sebagai Dzat Yang Maha Baik ?


Sejarah-sejarah para pendahulu kita adalah bukti nyata hebatnya Islam dan sistemnya. Rasulullah saw., mendirikan negara Islam pertama dengan aturan Allah Swt. Ketika Rasulullah wafat kekuasaan dilanjutkan Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan seterusnya. Islam menjadi kuat, besar, dan disegani dunia. Islam memimpin peradaban yang tangguh dan membawa kebaikan dunia. Mereka menjalankan syariat Islam secara sepenuhnya. Tapi ketika syariat telah dicampakkan, pasca runtuhnya Khilafah 1924, umat islam menjadi lemah, tercerai berai, dan bahkan dihinakan, dijajah, dan dijarah kekayaan negerinya. Oleh karena itu kalau ingin kembali kepada peradaban emas, umat harus menerapkan Islam secara kafah. Hanya itu satu-satunya jalan menuju kemuliaan dan jalan ketakwaan. Wallahualam bissawab. [GSM]