Alt Title

Badai PHK di Negeri Zamrud Khatulistiwa, di Mana Peran Negara?

Badai PHK di Negeri Zamrud Khatulistiwa, di Mana Peran Negara?

 


Selain itu, akibat PHK iklim usaha menjadi tidak kondusif. Ditambah tidak adanya jaminan yang memadai dari negara

Pemerintah bertindak secara lamban. Meskipun ada regulasi, pemerintah justru menunjukkan sikap pro dengan pengusaha


______________________________


Penulis  Irmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menjelang awal tahun 2024 kembali disambut badai PHK massal. PHK massal tersebut terjadi hampir di seluruh kawasan-kawasan industri. Diprediksi akan semakin banyak perusahaan yang akan melakukan PHK massal kepada karyawan dan pegawainya.


Dilansir dalam CNBC Indonesia (20/01/2024), PT. Hung A Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja pada ribuan karyawannya mulai Februari 2024. Hal ini terjadi karena PT. Hung A akan menutup operasionalnya dan pindah ke Vietnam sebagai lokasi baru untuk membangun pabriknya. Ini pertama kali menjadi berita buruk pada sektor manufaktur RI di tahun 2024. Sebelumnya tahun 2023, pekerja yang menjadi korban PHK berkisar 7200-an dari 36 perusahaan akibat ditutupnya secara total, relokasi ataupun efisiensi biaya. 


Badai PHK sejatinya bukan awal terjadi. Akan tetapi, telah terjadi secara berulang dan belum ada penemuan solusi tuntas. PHK masal terjadi tentu bukan tanpa sebab. PHK terjadi karena ketidaksanggupan menghadapi serbuan impor baik legal maupun ilegal dalam negeri.


Akibatnya stok pabrik dalam negeri menumpuk dan berujung pada pengurangan bahkan PHK. Tidak hanya itu, PHK juga terjadi karena perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan utama pasar ekspor Indonesia, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Sehingga memicu meningkatnya tingkat resesi. 


Untuk mengantisipasi resesi tersebut, beberapa perusahaan mengambil opsi PHK. Sementara sebagian yang lain justru mengganti pekerja dengan kecerdasan buatan (AI). Di balik PHK masal sejatinya menunjukkan semakin terpuruknya nasib pekerja.


Apalagi di tengah kondisi meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan segala keperluan keluarga yang serba naik seiring dengan mencari pekerjaan yang makin sulit. Tentu, hal ini makin membebani ribuan keluarga yang menggantungkan hidupnya dari gaji yang diperolehnya. Mereka harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup yang makin berat. 


Selain itu, akibat PHK iklim usaha menjadi tidak kondusif. Ditambah tidak adanya jaminan yang memadai dari negara. Pemerintah bertindak secara lamban. Meskipun ada regulasi, pemerintah justru menunjukkan sikap pro dengan pengusaha.


Begitu pun halnya, apabila ada bantuan sosial dalam berbagai bentuk, realitanya jumlahnya hanya sedikit rakyat yang mendapatkan. Ironisnya, terkadang bantuan yang semestinya diberikan rakyat dijadikan legitimasi kekuasaan dan menjadi alat politik. Karena itu, jelas negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pelindung rakyat dalam menjamin lapangan pekerjaan yang memadai. Sehingga kondisi rakyat yang sengsara terus terjadi.


Begitulah dampak diterapkan sistem kapitalisme di dunia termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dan keuntungan materi menjadi tujuan utama. Dalam sistem ini, setiap bisnis bertujuan untuk mendapatkan pendapatan dan laba tinggi. Oleh karena itu, wajar jika para pemilik bisnis terjerat pola pikir materialistis.


Negara semestinya mampu menjamin tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyatnya. Bukan untuk menguntungkan nasib pihak perusahaan. Akan tetapi, sistem ekonomi kapitalisme pada faktanya mengakibatkan terjadinya ketimpangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan.


Selain itu, pengelolaan SDA oleh asing juga mengurangi peluang terciptanya lapangan pekerjaan bagi rakyat. Rakyat hanya bertindak sebagai regulator yang menjadi penghubung dengan pemilik modal. Para pemodal diberi wewenang untuk mengatur lajunya perekonomian.


Sehingga sistem kerja dan keadilan tidak diperhatikan. Apalagi, maraknya investasi asing membuat rakyat hanya sebagai buruh. Jika memberi keuntungan pada perusahaan akan dipakai. Jika tidak diberhentikan dengan sepihak tanpa pertimbangan apa pun.


Berbeda dengan Islam. Negara dalam sistem Islam akan mewujudkan pemimpin amanah dan taat. Dalam kepemimpinannya memiliki kesadaran bahwa akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. 


Negara memiliki aturan yang bisa menyerap seluruh tenaga kerja. Negara juga senantiasa memelihara urusan umat, termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dengan perhatian penuh tersebut, negara tidak akan membiarkan adanya pengangguran.


SDA sebagai harta milik umum, dikelola agar mampu menyerap tenaga kerja. Bantuan modal tanpa riba juga menjadi perhatian negara untuk warganya yang membuka usaha.


Begitulah pengaturan ekonomi dalam sistem Islam yang dijalankan dalam institusi negara. Seluruh lapisan masyarakat akan benar-benar merasakan kesejahteraan dalam penerapan sistem Islam di setiap aspek kehidupan. Karena Islam sebagai agama dan sistem kehidupan terbaik dari Pencipta untuk manusia.


Dengan demikian, akan tercipta Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Bagi seluruh rakyat tidak terbatas untuk kaum muslim. Dengan mencampakkan sistem selainnya yang banyak memicu berbagai ketimpangan dalam masyarakat. Wallahualam bissawab. [SJ]