Tabrakan Kereta Berulang, Sampai Kapan Korban Jiwa Terus Melayang
Analisis
Namun sungguh disayangkan, alih - alih mengevaluasi dan memperbaiki kinerjanya dalam mitigasi. Pemerintah justru sibuk membangun proyek yang berorientasi pada profit dan menomor sekiankan aspek keselamatan.
Hal ini, semakin menunjukkan tak seriusnya pemerintah memperhatikan keselamatan transportasi. Padahal, pemerintah merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan warga negaranya.
_______________________________________
Penulis Etik Rosita Sari
Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Perkembangan era globalisasi yang serba cepat seperti saat ini menuntut peran penting transportasi dalam memfasilitasi dinamisnya kehidupan masyarakat. Berbagai moda transportasi, mulai dari sederhana hingga ber-budget tak terhingga diciptakan untuk memenuhi permintaan pasar dunia yang semakin melonjak. Sayangnya, perkembangan ini agaknya tak seimbang dengan atensi pada keamanan. Alhasil, kecelakaan demi kecelakaan terus terjadi dan tak terhindarkan.
Baru-baru ini Indonesia kembali menjadi sorotan, khususnya dalam masalah keselamatan transportasi. Hal ini dipicu akibat insiden tabrakan antara Kereta Commuterline Bandung Raya dengan Kereta Api (KA) Turangga pada Jumat (5/1/2024) pukul 06.03 WIB yang terjadi di jalur tunggal (single track) km 181+700 petak jalan antara Stasiun Haurpugur dengan Stasiun Cicalengka. Selain menyebabkan ringseknya gerbong depan kedua kereta dan terbaliknya gerbong belakang ke area persawahan, peristiwa naas ini nyatanya juga menyebabkan 4 orang tewas serta 22 orang terluka.
Tragedi kecelakaan yang kesekian kalinya ini tak pelak menyedot atensi masyarakat. Bukan hanya menjadi trending topic nasional. Berita terkait tragedi itu bahkan jebol hingga taraf internasional dan menjadi perbincangan beberapa media asing. BBC menyebutkan ada beberapa media asing yang membahas kejadian kecelakaan tersebut. Agence France-Presse (AFP), sebuah agensi media yang berbasis di Prancis, dalam artikelnya yang berjudul "4 dead, 22 injured in Indonesia train collision" mewartakan jumlah korban jiwa yang tewas dan terluka dari kecelakaan maut itu.
"Empat orang tewas dan sedikitnya 22 luka-luka saat dua kereta yang membawa ratusan penumpang bertabrakan di Indonesia pada hari Jumat," menurut laporan AFP. Adapun terkait penyebab kecelakaan, AFP menyatakan belum mendapatkan kepastian. Tak hanya mewartakan jumlah korban jiwa, media ini pun juga menyoroti sebab lumrahnya kecelakaan transportasi terjadi di Indonesia.
“Negara kepulauan yang luas di mana bus, kereta api dan bahkan pesawat sering kali sudah tua dan tidak dirawat dengan baik,” demikian ungkap AFP.
Hal senada juga diungkapkan oleh BNN Breaking yang berkantor di Hongkong. Melalui artikelnya yang berjudul “Train Collision in Bandung: A Tragic Wake-Up Call for Indonesia’s Aging Railway Infrastructure”. Media ini mengulas penyebab kecelakaan yang diakibatkan karena telah uzurnya infrastruktur. Tak hanya membuka tabir sebab musabab kecelakaan, BNN Breaking juga menyoroti kebutuhan mendesak akan infrastruktur kereta api yang aman, modern dan efisien.
Analisis dari media - media asing tersebut nyatanya memang benar adanya. Buktinya, beberapa stasiun masih menggunakan infrastruktur kuno sebagai penunjang layanannya. Djoko Setijowarno, wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat menerangkan bahwa sinyal di Stasiun Cicalengka masih menggunakan sinyal blok mekanik. Sementara, sinyali Stasiun Haurpugur sudah berupa sinyal elektrik. Jika petugas PPKA tidak ahli dalam mengoperasikan kedua model persinyalan yang berbeda. Hal ini akan mempengaruhi pengoperasian kereta api bahkan bisa menimbulkan masalah.
Senada dengan Djoko, pakar transportasi di Institut Teknologi Bandung, Sony Sulaksono menyebut tabrakani yang terjadi di Cicalengka, rentan terjadi jika muncul masalah sinyal maupun kesalahan manusia. Sementara, pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, mengungkapkan perlunya penekanan fokus pada pengaturan lalu lintas kereta dengan bantuan teknologi, seperti penggunaan lampu-lampu di rel, tukasnya.
Hal tersebut juga diamini oleh Deddy Herlambang, Direktur Eskekutif Institut Studi Transportasi. Menurutnya, pemerintah dan PT KAI perlu memasang sistem pemberhentian otomatis (automatic train stop/ATS) di setiap lokomotif kereta seperti yang sudah dilakukan pada Kereta cepat Jakarta-Bandung, kereta LRT Jabodebek, dan MRT Jakarta. Memang, pemasangan ATS ini memakan biaya yang tak sedikit. Namun, ia menekankan bahwa investasi mahal seharusnya tak jadi masalah demi keselamatan masyarakat.
Deddy juga menyinggung terkait tabrakan dua kereta pengangkut batu bara di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung pada 7 November lalu yang bahkan hingga satu tahun kecelakaan terjadi, tidak ada laporan investigasi dari KNKT. Hal ini, tandasnya, terjadi karena tak ada korban jiwa sehingga KNKT pun absen melakukan investigasi. Padahal, jika investigasi dilakukan, otomatis akan ada upaya mitigasi karena ada kemungkinan terjadi kecelakaan yang sama.
Sementara, menurut bbc[dot]com (5/1/24), pemerintah melalui Kementerian Perhubungan, sebenarnya tengah menjalankan pembangunan jalur ganda kereta pada jalur kecelakaan tersebut. Proyek jalur itu dinilai akan berimplikasi pada peningkatan pelayanan pengguna kereta berupa pemangkasan waktu tempuh sehingga akan meningkatkan jumlah penumpang hingga 25%. Sayangnya, lagi - lagi aspek keselamatan absen disebut sebagai tujuan utama pembangunan jalur ganda tersebut.
Ironis, di tengah membanjirnya proyek strategis bernilai fantastis yang justru dianggap tak urgent. Aspek keselamatan transportasi, khususnya kereta api, yang berkaitan dengan nyawa manusia malah diabaikan. Buktinya, meski infrastruktur telah uzur, pemerintah cenderung lambat melakukan pengadaan infrastruktur yang lebih mutakhir. Dengan upaya mitigasi, seharusnya tak dilakukan setengah hati -jika jatuh korban jiwa saja- mengingat upaya ini sangat penting untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Namun sungguh disayangkan, alih - alih mengevaluasi dan memperbaiki kinerjanya dalam mitigasi. Pemerintah justru sibuk membangun proyek yang berorientasi pada profit dan menomor sekiankan aspek keselamatan. Hal ini, semakin menunjukkan tak seriusnya pemerintah memperhatikan keselamatan transportasi. Padahal, pemerintah merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan warga negaranya.
Sayangnya, fungsi tersebut justru mandul di dalam sistem demokrasi kapitalisme ini. Alih - alih berpihak pada kemaslahatan rakyat, penguasa dalam sistem rusak ini justru berpihak pada materi dan untung rugi. Alhasil, bukan mewujudkan pelayanan terbaik bagi masyarakat, pemerintah justru jorjoran mengurusi para pemilik modal yang mendanainya dalam kontestasi. Maka, tak heran jika pembangunan infrastruktur saat ini tidak berorientasi pada rakyat melainkan hanya pada segelintir oligarki.
Sementara, rakyat yang seharusnya dijamin kehidupannya oleh negara. Justru mendapatkan ampas keburukan yang dilakukan oleh penguasa. Mereka harus menanggung akibat dari penerapan kebijakan zalim tersebut. Seperti dalam kasus ini, minimnya perhatian terhadap infrastruktur yang telah berumur ditambah dengan enggannya pemerintah tanggap dalam melakukan mitigasi membuat kecelakaan transportasi terjadi. Alhasil, rakyat menjadi korban karena error-nya sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan penguasa.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam sistem Islam. Penguasa dalam sistem Islam mempunyai mafhum riayah yang berperspektif bahwa mereka harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya, termasuk bertanggung jawab menjaga keselamatan rakyatnya. Rasulullah bersabda :
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Dengan adanya hal ini, penguasa akan melakukan upaya maksimal untuk menjaga setiap nyawa dalam wilayah kekuasaannya. Selain itu, Islam juga sangat menghormati nyawa manusia, khususnya umat muslim. Dalam sebuah hadist, disebutkan bahwa hilangnya nyawa seorang muslim lebih besar perkaranya dibandingkan dengan hilangnya dunia. Oleh karena itu, penguasa di dalam sistem Islam akan menjamin keselamatan rakyatnya termasuk melakukan penyediaan sistem dan sarana transportasi yang aman.
Hal ini bisa dilihat dari bukti sejarah peradaban Islam, misalnya dalam hal pembangunan infrastruktur jalan beraspal di Baghdad yang dilakukan pada masa kekuasaan Khalifah Al-Mansur. Pembangunan yang dilakukan pada tahun 726 M tersebut menandai betapa mutakhirnya perkembangan infrastruktur kala itu jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M dan mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Hal tersebut, sudah menjadi cukup bukti betapa mengagumkannya perhatian Islam terhadap keselamatan transportasi. Jika demikian, apa lagi yang kita tunggu? Sudah saatnya kita menyongsong kembalinya sistem Islam untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan rakyat yang hakiki. Wallahualam bissawab. [Dara]