Politik Demokrasi, Panggung Sandiwara!
OpiniDari periode ke periode politik demokrasi tidak banyak berubah hanya sebuah panggung sandiwara yang menjual banyak ide minim aksi bahkan ide dan aksi selalu tidak sejalan
Politik demokrasi adalah panggung politik bagi para penguasa dalam menjual narasi atas nama kepentingan rakyat namun faktanya berpegang teguh pada oligarki dan kaum borjuis sedangkan rakyat menjadi penonton bahkan korban
___________________________________
Penulis Zulhilda Nurwulan
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Debat Capres putaran ketiga yang diselenggarakan pada Minggu, 07 Januari 2023 lalu meninggalkan narasi-narasi politik yang menghebohkan netizen sejagat raya. Mulai dari saling sindir antar capres hingga narasi-narasi miring tentang pertahanan negara. Malam itu harusnya menjadi momen bagi masyarakat Indonesia untuk memantapkan keyakinan mereka dalam menentukan pemimpin negara. Namun, benarkah kriteria pemimpin hanya didasari atas personalia semata?
Narasi-narasi politik yang dilontarkan para capres di debat yang lalu menggambarkan pola kerja dan rencana pembangunan mereka di masa yang akan datang ketika terpilih menjadi presiden. Selain itu, debat tersebut tidak luput dari saling menjatuhkan antar calon hingga terkesan memalukkan dan tidak mencerminkan acara debat tapi lebih pada panggung humor. Terlihat kesombongan, kepongahan, keangkuhan, dan kemarukan dari masing-masing calon menjual kemampuan dan prestasi untuk dipilih menjadi pemimpin sangat jauh dari kriteria pemimpin yang baik.
Padahal, tanpa sadar mereka telah menunjukkan sikap diri pemimpin yang rakus dan hanya mencari keuntungan pribadi atas nama rakyat. Sosok calon pemimpin yang selama ini didambakan kini banyak membawa kekecewaan karena narasi yang ditodongkan ke pihak lawan. Sebaliknya, calon pemimpin yang selama ini dianggap tidak kompeten malah beralih dianggap sebagai korban dan menarik perhatian masyarakat. Namun, tetap saja politik demokrasi tidak luput dari panggung sandiwara.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat karena akhlaknya yang baik secara personal. Selain itu, pemimpin negara wajib memiliki kemampuan di bidang manapun sehingga tidak perlu menonjolkan keunggulan diri dan menyerang pribadi lawan sehingga rakyat tidak tertipu dengan topeng dan mampu menentukan kelayakan calon pemimpin.
Politik Demokrasi, Panggung Sandiwara
Dari periode ke periode politik demokrasi tidak banyak berubah hanya sebuah panggung sandiwara yang menjual banyak ide minim aksi bahkan ide dan aksi selalu tidak sejalan. Politik demokrasi adalah panggung politik bagi para penguasa dalam menjual narasi atas nama kepentingan rakyat namun faktanya berpegang teguh pada oligarki dan kaum borjuis sedangkan rakyat menjadi penonton bahkan korban.
Dalam buku karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt berjudul _"How Democracy Die"_ dijelaskan tentang keringkihan sistem demokrasi di berbagai negara. Dalam buku tersebut terpilihnya pemimpin otoriter menjadi salah satu penyebab kematian sistem demokrasi. Dalam buku tersebut digambarkan ciri pemimpin otiriter adalah menoleransi dan menyerukan kekerasan, menolak aturan main demokrasi, bersedia membatasi kebebasan sipil dan media, serta menyangkal legitimasi lawan. Inilah wajah demokrasi yang katanya memihak rakyat padahal malah mengorbankan kepentingan rakyat demi misi ambisius penguasa dan pengusaha.
Menjelang pemilihan, berbagai argumen berkembang di masyarakat terkait sosok pemimpin yang baik dan harusnya dipilih bahkan sampai menyenggol orang-orang yang memutuskan tidak ikut terlibat pada pemilihan. Padahal, terkait memilih dan tidak memilih adalah bentuk hak tiap warga negara yang diatur dalam politik demokrasi. Lagi-lagi, demokrasi tidak mencerminkan demokrasi sesungguhnya. Lantas, bagaimana seharusnya memilih pemimpin yang baik?
Kriteria Pemimpin yang baik
Golput bukan solusi namun tidak golput bukan solusi. Perihal memilih pemimpin tidak mutlak hanya karena personal saja. Karena pribadi bisa berubah namun ideologi bersifat tetap. Seseorang akan berubah karena pemikirannya, bisa juga berubah karena sistem yang mengaturnya. Tindakan seseorang akan terlihat dari keyakinan dan ideologi yang dianutnya. Seperti yang sudah diketahui, siapapun yang percaya dengan sistem demokrasi maka akan ikut pada aturan main sistem ini.
Oleh karena itu, akhlak yang baik, pribadi yang santun, jujur, bertanggung jawab, amanah dan sebagainya tidak akan cukup menjadikan seseorang pemimpin yang baik tanpa adanya akidah yang kuat dan ideologi yang kokoh. Seseorang dengan akidah dan ideologi yang baik disertai sikap-sikap yang baik seperti santun, jujur, bertanggung jawab, amanah dan sebagainya tentu akan menghasilkan pemimpin yang baik. Akan tetapi, karakter pemimpin yang demikian hanya akan ditemukan dalam sistem pemerintahan Islam yang menyandarkan segala keputusan hanya berdasarkan syariat (alqur'an dan sunnah) tentunya hanya takut kepada Allah Swt sebagai pembuat hukum atas segala hukum. Wallahualam bissawab. [Dara]