Alt Title

Kesejahteraan dalam Sistem Demokrasi Perlu Dipertanyakan

Kesejahteraan dalam Sistem Demokrasi Perlu Dipertanyakan

Islam sebagai agama dengan aturan yang mengatur semua urusan

Termasuk dalam merancang konsep kesejahteraan

________________________________


Penulis Irmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kondisi terpenuhinya kebutuhan dan mampu hidup layak tentu menjadi dambaan oleh semua orang, termasuk masyarakat Indonesia hingga saat ini. Dilansir dalam Kendari Pos Fajar (15/11/2023), Andap Budhi Rafianto dalam rapat paripurna DPRD Sultra menyatakan APBD diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.


Sebagaimana menjadi amanah dalam UUD 1945. Adapun kesejahteraan yang dimaksud adalah terpenuhinya hak rakyat atas sandang, pangan dan papan, pendidikan dan kebudayaan serta kesehatan, pekerjaan yamg layak dan jaminan sosial, kehidupan sosial, perlindungan hukum dan HAM serta infrastruktur dan lingkungan hidup.


Program tersebut bertujuan untuk upaya penurunan stunting, penuntasan kemiskinan, penanganan inflasi, mitigasi bencana, penerapan standar pelayanan minimal, serta diarahkan juga untuk menyukseskan pemilu serentak tahun 2024.


Target peningkatan kesejahteraan yang senantiasa menjadi jargon para pemimpin termasuk pemimpin negeri bukan hal baru. Sayangnya, kesejahteraan hingga saat ini gagal terwujud. Faktanya, negeri ini masih terbelenggu pada persoalan meningkatnya kemiskinan, pengangguran yang tinggi, harga pangan naik dan perilaku korup yang makin akut. Sementara pemerintah berulang menampik dengan optimis menyatakan Indonesia akan sejahtera. Mengingat demikian, kesejahteraan itu menjadi dipertanyakan.


Sudah menjadi rahasia publik, selama ini pendapatan PDB yang dicapai tinggi. Akan tetapi, realitanya tak mampu mewujudkan berbagai fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat. Tak heran, jika saat sebagian kalangan bangga dengan capaian PDB, sementara mayoritas rakyat justru kurang merasakan perbaikan hidupnya.


Persoalan tidak tercapainya kesejahteraan ini sejatinya karena diterapkan sistem demokrasi dengan asas kapitalisme yang digunakan. Dalam sistem kapitalisme, standar yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan terfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan mengacu pada data-data yang dirumuskan di atas kertas.


Padahal, data yang dirumuskan berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Selain itu, kemiskinan hanya diartikan pada ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan atau jasa secara mutlak.


Sangat berbahaya apabila standar kemiskinan hanya dihitung dengan angka tanpa memperhatikan realitas. Karena akan menjadi fenomena gunung es yang tampak di lapangan lebih banyak.


Adapun kesejahteraan yang diukur pada PDB hanya akan menumbuhkan ketimpangan, pengurasan SDA dan naiknya keresahan sosial. Ironisnya, agar dianggap sukses dalam mengentaskan kemiskinan memberi peluang secara sengaja data diubah-ubah sesuai kepentingan penguasa tak bermoral.


Apalagi sifat dasar sistem kapitalisme memberikan kebebasan kepemilikan bagi para pemilik modal dalam bentuk investasi dengan mudah menguasai kekayaan sumber daya alam dan kekayaan lainnya diberikan kepada asing, aseng dan pengusaha lokal.


Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk dapat menikmati hak mereka atas hasil sumber-sumber kekayaan yang dimiliki negara. Hasil kekayaan yang seharusnya dimiliki dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat justru dinikmati oleh para kapitalis.


Sejatinya kesejahteraan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan dan papan, keamanan, kesehatan, pendidikan serta terpenuhinya aspek kualitas hidup rakyat. Akan tetapi, sangat sulit untuk mewujudkan kesejahteraan yang seperti ini dengan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini.


Dengan berbagai mekanismenya hanya akan mewujudkan pro terhadap pemilik modal dan mengalami siklus yang berulang. Lebih jauh hanya akan pemilik modal yang berdaulat. Alhasil rakyat membutuhkan sistem hakiki yakni sistem Islam.


Islam sebagai agama dengan aturan yang mengatur semua urusan. Termasuk dalam merancang konsep kesejahteraan. Islam mewajibkan negara untuk menjamin agar seluruh individu masyarakat di suatu negara mampu memenuhi kebutuhan dasarnya baik pangan, sandang dan papan melalui jaring pengaman sosial berlapis mulai dari individu, keluarga, masyarakat hingga negara.


Negara akan membantu laki-laki yang sudah balig dalam mencari nafkah dengan menyediakan lapangan kerja dan sarana pendukungnya. Apabila penanggung tidak ada atau tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar, maka negara melalui Baitulmal akan memenuhi kebutuhan dasar tersebut.


Nabi saw. bersabda, "Siapa saja yang meninggalkan harta bagi ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan tanggungan maka kami yang akan menjaminnya." (HR. Bukhari)


Terbukti dalam catatan sejarah, ketika Islam memimpin dunia selama 13 abad, kemaslahatan dan kesejahteraan bagi warga negara baik muslim maupun nonmuslim terealisasi tidak dapat ditampik dunia.


Hal ini diakui oleh cendekiawan barat Will Durant dalam penelitiannya mengatakan: "Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas."


Demikianlah, Islam dalam mewujudkan kesejahteraan. Akan tetapi, semua itu hanya bisa direalisasi oleh institusi negara dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dan saatnya mengabaikan demokrasi kapitalisme yang hanya membawa kerusakan. Wallahu alam bissawab. [SJ]