Alt Title

Karhutla Butuh Solusi Mengakar, Bukan Penguasa Ingkar

Karhutla Butuh Solusi Mengakar, Bukan Penguasa Ingkar

Untuk mengembalikan ruang hidup publik dan terhindar dari karhutla, maka negara harus menerapkan aturan sahih. Aturan yang datang dari pemilik kehidupan, alam, dan manusia yaitu Allah Swt. melalui penerapan Islam dalam sebuah sistem

Hanya sistem ini yang mampu menjaga kepemilikan umum seperti hutan dengan pengaturan yang jelas, aman, dan membawa kemaslahatan

_______________________________________


Oleh Nuni Toid

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investor (Menko Marves) Ad Interim, Erick Thohir dalam sambutannya di Expo City Dubai memamerkan aksi nyata dalam mengatasi masalah iklim, salah satunya kebakaran hutan. Menurutnya Karhutla mulai berkurang secara signifikan hingga 82 persen dari 1.6 juta hektar pada tahun 2019 menjadi 296 ribu hektar tahun 2020. Padahal kenyataannya Karhutla naik lagi menjadi 358 ribu hektar yang terbakar. (Cnnindonesia[dot]com, 01/12/2023)


Masih dari laman yang sama, Erick mengakui bahwa pada 2021 telah terjadi kenaikan kebakaran hutan. Namun, mulai terjadi penurunan angka deforestasi. Mulanya ada 3,51 hektar hutan gundul tahun 1996-2000. Kemudian angka tersebut mengecil menjadi 1,09 juta hektar pada tahun 2014-2015. Lalu turun kembali menjadi 75 persen penggundulan hutan menjadi 104 ribu hektar tahun 2019-2022. 


Tetapi ia pun tidak memungkiri, bahwa untuk menghadapi ancaman Karhutla, termasuk pergantian iklim, pembalakan liar (illegal logging), kebakaran dan hutan gundul diperlukan dukungan dengan negara luar, tidak bisa dilakukannya sendiri. 


Hal senada juga disampaikan oleh Siti Nurbaya, Menteri LHK, bahwa pemerintah telah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi Karhutla. Antara lain pemadaman dan Teknik Modifikasi Cuaca (TMC) di sejumlah provinsi yang menjadi titik rawan Karhutla. Begitu pula yang disampaikan kepala Badan Penanggulangan Nasional Bencana (BPNB), Suharyanto, bahwa pihaknya telah melakukan dukungan pelaksanaan operasi darat maupun udara. Serta operasi Teknik Modifikasi Cuaca sebanyak 244 kali dengan jumlah garam yang disebarkan mencapai 341.580 kg. (ppid[dot]menlhk[dot]go[dot]id[dot]siaran pers, 4/10/2023)


Apa yang dilakukan pemerintah setidaknya cukup bagus, tetapi tetap saja tidak mampu mencegah terjadinya Karhutla. Selain perlu penanganan sistemik, pemerintah semestinya mampu menjaga kelestarian hutan dengan memberi edukasi dan sosialisasi kepada seluruh warga masyarakat, tak terkecuali para pengusaha yang banyak diberi fasilitas untuk merampas ruang hidup rakyat seperti hutan, persawahan, perkebunan, dll. menjadi pabrik, jalan tol, mal, pemukiman elit atau bandara. Padahal hutan adalah jantungnya dunia dan salah satu sumber kekayaan alam milik umum. Oleh karenanya negara berkewajiban penuh untuk mengelolanya dengan baik dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Baik secara langsung maupun tidak langsung. 


Namun, dengan kebijakan yang dilandasi pemikiran sekuler kapitalisme, solusi yang ditawarkan pemerintah masih bersifat parsial yakni tidak mengarah pangkal masalah yang bermuara dari sistem. Jika pun ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya tambal sulam saja. Bahkan demi pencitraan di negara lain, penguasa seolah melupakan efek buruk yang menimpa rakyatnya saat karhutla itu terjadi.


Itulah bila masyarakat masih diatur dalam sistem kapitalisme yang memusatkan hanya pada materi belaka. Sistem ini tidak mengenal pembagian hak kepemilikan. Justru para kapitalis lah yang diberikan kebebasan untuk menguasai harta kepemilikan umum. Seperti hasil hutan yang terus dieksploitasi secara berlebihan. Sehingga membuat laju deforestasi terus meningkat.  


Meski fakta ini demikian telah nyata menyebabkan penderitaan bagi rakyat, termasuk perempuan dan generasi, negara tetap tidak bisa berkutik, karena kapitalisme telah mencengkeram kuat di negeri ini.  Negara hanyalah sebagai  perpanjangan tangan (regulator) saja dalam membuat kebijakan. Karena semua undang-undang yang dibuatnya hanyalah untuk melicinkan kepentingan para kapitalis. 


Untuk mengembalikan ruang hidup publik dan terhindar dari karhutla, maka negara harus menerapkan aturan sahih. Aturan yang datang dari pemilik kehidupan, alam, dan manusia yaitu Allah Swt. melalui penerapan Islam dalam sebuah sistem. Hanya sistem ini yang mampu menjaga kepemilikan umum seperti hutan dengan pengaturan yang jelas, aman, dan membawa kemaslahatan. Negara diberi wewenang oleh syariat untuk, mengelolanya dengan baik dan hasilnya akan dikembalikan lagi untuk kesejahteraan umat. 


Rasulullah saw. bersabda: "Orang muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram." (HR abu Dawud dan Ibnu Majah)


Islam akan melarang dengan tegas setiap kepemilikan umum yang diserahkan kepada individu, swasta maupun asing. Sehingga tidak akan ada masalah Karhutla. Bila pun ada, akan sangat mudah diatasi sampai ke akar-akarnya. Bukan sekedar pencitraan dan bermain-main angka sebagaimana yang dilakukan penguasa dalam sistem kapitalisme. Karena kenyataannya masalah karhutla terjadi disebabkan lajunya deforestasi akibat alih fungsi lahan, ilegal logging, eksploitasi hutan yang berlebihan


Islam tidak akan melarang masyarakatnya untuk memanfaatkan hutan sebagai wilayah pemukiman, perkebunan dan lain sebagainya. Tetapi tentu saja ada batasan-batasannya agar tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan sehingga merusak kelestarian alam. 


Menurut Syaikh Abdul Qadir Zallum dalam bukunya Al Amwal bahwa hutan adalah termasuk jenis kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan langsung oleh rakyat. Masyarakat boleh mengambil apa yang dibutuhkan dari hutan. Misalnya kayu bakar, buah-buahan, rotan dan sejenis. Agar tidak terjadi kerusakan, Biro kehutanan dari departemen kemaslahatan umum akan memperhatikan dan mengawasi pemanfaatan hutan. 


Pun, bila terjadi karhutla, akibat faktor alam, seperti kekeringan, negara, dalam hal ini, Biro Ath Thawari dari Departemen Kemaslahatan Umat akan cepat bertindak agar titik kebakaran tidak meluas dan segala bentuk penanganan lainnya. Bahkan jauh-jauh hari negara sudah menyiapkan sistem mitigasi terbaik untuk bencana dan meminimalisasi risiko terjadinya bencana yang tidak diinginkan. Seperti instrumen monitoring hotspot, instrumen patroli, institusi teknologi modifikasi cuaca, instrumen kelola gabut, dan instrumen informasi cuaca. Dengan demikian masyarakat akan benar-benar terjaga, terlindungi dari ancaman karhutla, termasuk perempuan dan generasi dapat hidup dengan baik, dan bahagia jauh dari rasa ketakutan. Sudah saatnya umat bersatu untuk menerapkan seluruh aturan Islam dalam institusi pelaksananya. Wallahualam bissawab. [By]