Alt Title

ODGJ Terdaftar Sebagai Pemilih, Logiskah?

ODGJ Terdaftar Sebagai Pemilih, Logiskah?

Sesungguhnya, "pemaksaan" ODGJ menjadi pemilih justru dapat berpotensi terjadinya kecurangan. Dimana hak pilih mereka dapat digunakan oleh pihak pendamping

Terdapat standar ganda dalam menghukumi penyandang disabilitas mental. Saat ada kasus ulama dikriminalisasi pelaku yang dianggap ODGJ dapat bebas dari sanksi. Sementara  ketika pemilu, mereka yang terganggu jiwanya ini diambil suaranya

___________________________________


Penulis Ummi Nissa

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Setiap jelang pemilu beragam persoalan kerap muncul mewarnai proses politik. Permasalahan yang muncul tidak sebatas pada peserta dan penyelenggara pemilu, tetapi juga pada komponen penting lainnya yakni pemilih. Menurut aturan yang ada saat ini, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih memiliki hak yang sama untuk menunaikan hak politiknya. Permasalahan muncul saat ribuan warga negara yang termasuk golongan penyandang disabilitas mental atau dikenal ODGJ (orang dalam gangguan jiwa) terdaftar sebagai pemilih. 


Berdasarkan data dari KPU DKI Jakarta, DPT untuk Pemilu 2024 berjumlah 8,2 juta orang di antaranya ada 22.871 disabilitas mental atau ODGJ. Meski demikian, KPU DKI Jakarta memastikan akan ada pendampingan kepada mareka yang menyandang disabilitas mental saat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pencoblosan. (detik.com, 16 Desember 2023)


Dinamika Sistem Demokrasi


ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pola pikir, perasaan, dan emosi hingga perilaku sehari hari.  Implementasinya dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia. Gejala yang dialami oleh ODGJ juga bisa membuat mereka sulit berinteraksi dengan orang lain. Dalam kondisi jiwa yang tidak stabil tersebut, logiskah mereka menjadi pemilih? 


Inilah dinamika politik dalam sistem demokrasi. Proses pemilu di Indonesia sejak 1955 terus mengalami perubahan. Mulai dari pemilihan kepala negara, kepala daerah, dan anggota legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat,  batasan jabatan pemimpin terpilih selama dua periode, jumlah peserta pemilu banyak, sampai kepada syarat bagi pemilih juga berubah-ubah khususnya bagi penyandang disabilitas mental. 

 

Salah satu syarat yang harus dipenuhi awalnya mensyaratkan bagi pemilih 'tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan'. Namun selanjutnya kondisi ini menimbulkan polemik menjelang Pemilu 2014. Sehingga waktu itu  KPU memberi hak kepada ODGJ untuk memilih. Namun penggunaan hak pilih oleh pemilih ODGJ dikembalikan pada masing-masing individu untuk digunakan atau tidak.


Menjelang Pemilu 2019, terkait pemilih yang dalam gangguannya kejiwaan kembali menjadi perbincangan politik. Saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan syarat "tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan" bertentangan dengan konstitusi, selama frasa tersebut tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen menurut profesional bidang kesehatan. Keputusan MK tersebut menjadi pedoman bagi jajaran KPU RI untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih.


Kini persoalan yang sama  kembali muncul ketika ribuan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) terdaftar dalam Pemilu 2024 dengan alasan sebagai hak politik setiap warga negara. Sesungguhnya, "pemaksaan" ODGJ menjadi pemilih justru dapat berpotensi terjadinya kecurangan. Dimana hak pilih mereka dapat digunakan oleh pihak pendamping.


Selain itu, ada hal yang patut dikritisi saat  ODGJ dibolehkan untuk memilih atas nama hak politik setiap warga. Dalam hal ini, terdapat standar ganda dalam menghukumi penyandang disabilitas mental. Terbukti saat ada kasus ulama dikriminalisasi pelaku yang dianggap ODGJ dapat bebas dari sanksi. Sementara  ketika pemilu, mereka yang terganggu jiwanya ini diambil suaranya. 


Demokrasi Buah Sekularisme


Inilah realitas sistem politik demokrasi yang diterapkan negeri ini. Demokrasi telah menetapkan kedaulatan milik rakyat. Oleh karena itu, suara rakyat menjadi legalitas atas keterpilihan pejabat. Hal ini menjadikan suara rakyat begitu dibutuhkan meski berasal dari orang yang dalam gangguan mental. Satu suara saja begitu berarti, apalagi dengan jumlah yang mencapai ribuan. Halal dan haram,  sesuai dan tidak sesuai dengan nalar tidak jadi ukuran. 


Begitu pula dalam aspek penetapan hukum dan kebijakan, dalam demokrasi ditetapkan oleh dewan perwakilan rakyat. Maka wajar muncul peraturan yang berubah-ubah ataupun stardar ganda dalam menghukumi orang dalam gangguan jiwa. Saat penyandang disabilitas dianggap dibutuhkan untuk menambah jumlah suara,  maka mereka dianggap suaranya. Sebaliknya saat melanggar hukum pidana, dibebaskan dari sanksi.


Ini semua karena demokrasi pada dasarnya lahir dari sistem sekularisme yang memisahkan antara aturan agama dari kehidupan. Sehingga aturan disandarkan pada cara pandang manusia yang kerap dipengaruhi kepentingan dan hawa nafsu. Maka tidak aneh jika kebijakan yang dihasilkan berubah-ubah. Setiap jelang pemilu misalnya kerap lahir revisi undang-undang sebagai legitimasi penyelengaraan proses politik berdasarkan konstitusi.


Sistem Politik Islam Sesuai Nalar dan Logis


Semua ini berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan kedaulatan berada di tangan syarak. Penetapan hukum didasarkan pada benar dan salah menurut pandangan Islam yang digali dari sumber hukum yang bersifat pasti kebenarannya yakni Al-Qur'an dan sunah.


Dalam Islam, orang yang berakal sehat menjadi salah satu syarat seorang mukalaf  yaitu orang yang terbebani hukum. Karena Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Swt.. Sebagaimana sabda Nabi saw.: "Telah diangkat pena dari tiga perkara yaitu dari anak-anak sampai mereka dewasa (baligh), dari orang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sehat kembali." (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Hadis di atas menunjukkan akan diampuni dosa manusia dari tiga golongan salah satunya orang dalam gangguan jiwa. Meskipun demikian, keberadan ODGJ tidak akan didiskriminasi. Dalam sistem Islam mereka tetap akan diperlakukan sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, tetapi tidak mendapatkan beban amanah karena hilangnya kesadaran. Sehingga tidak dikenakan sanksi hukum serta amanah yang lainnya sampai dinyatakan sembuh dari sakit jiwanya alias akalnya sehat.


Islam menjadikan kedaulatan berada di tangan syarak (Allah dan Rasul), bukan ditangan manusia. Sehingga hukum dan kebijakan disandarkan pada hukum syariat. Halal dan haram menjadi tolok ukur dalam setiap perbuatan. 


Oleh karenanya mekanisme pemilihan pemimpin, pejabat dan wakil umat akan disesuaikan dengan syariat. Meski secara teknis bisa saja dilakukan melalui pemilu, tapi tidak menghalalkan segala cara. Dengan demikian, mekanisme pemilihan akan dilakukan secara logis dengan cara yang sederhana, mudah, efektif, dan efisien. Keberadaan ODGJ tidak akan dimanfaatkan untuk kepentingan jabatan, sebab semua proses politik ditujukan demi menegakkan aturan Allah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Wallahualam bissawab. [By]