Hanya Islam yang Mampu Mewujudkan Kesejahteraan Buruh
OpiniPenguasa dalam sistem kapitalisme cenderung kepada pemilik modal. Sebagian besar kekayaan alam dibiarkan dikelola swasta baik lokal maupun asing. Pemasukan negara jadilah bersandar kepada pemasukan pajak, lagi-lagi beban bagi rakyat
Adapun besaran upah dalam Islam bergantung pada kesepakatan buruh dengan pihak yang memberi pekerjaan. Ditentukan sesuai dengan besaran manfaat yang dihasilkan
______________________________________
Penulis Ummu Aidzul
Tim Media Kuntum Cahaya dan Tenaga Pendidik
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di jalan sekitar Gedung Sate pada tanggal 30 November 2023 telah terjadi aksi buruh. Mereka berkumpul, menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Adapun hal yang dituntut adalah kenaikan gaji atau UMK (Upah Minimum Kabupaten) setiap tahunnya sebesar 15 persen. UMK yang bisa dinaikkan hanyalah sebanyak 2,50%. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat No: 561.7/Kep.804-Kesra/2003 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2024. Aturan ini berlaku per 1 Januari 2024. (CNBC Indonesia, 30 November 2023)
Demo buruh yang menuntut kenaikan UMK setiap tahunnya terus berulang, seiring dengan melambungnya harga-harga kebutuhan hidup. Kata sejahtera semakin jauh dari jangkauan, karena penghasilan tak seimbang dengan pengeluaran. Kalaupun upah dinaikkan sesuai tuntutan, jika biaya hidup naik berkali lipat maka tentu tidak akan berdampak langsung pada kesejahteraan, selain hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup yang minimum. Bagi buruh, seolah tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menaikkan taraf hidupnya selain menuntut naiknya UMK. Mereka para buruh berharap, penguasa bisa menuntut para pengusaha untuk meloloskan tuntutannya. Penguasa hanyalah mediator antara buruh dan pengusaha. Hasilnya seringkali buruh dibuat kecewa. Penguasa seolah menyerahkan nasib buruh berada di tangan pengusaha.
Inilah yang terjadi dalam sebuah negara penganut kapitalisme sekular, masing-masing individu harus berjuang sendiri untuk mencapai kesejahteraannya. Penentuan upah diukur dengan biaya hidup minimum bagi daerah tertentu. Maka wajar buruh akan sulit mencapai hidup sejahtera. Ditambah posisi penguasa hanyalah regulator, pembuat kebijakan. Simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha seringkali mengorbankan rakyat.
Penguasa dalam sistem kapitalisme cenderung kepada pemilik modal. Sebagian besar kekayaan alam dibiarkan dikelola swasta baik lokal maupun asing. Pemasukan negara jadilah bersandar kepada pemasukan pajak, lagi-lagi beban bagi rakyat.
Kapitalisme berbeda jauh dengan sistem Islam. Besaran upah bergantung pada kesepakatan buruh dengan pihak yang memberi pekerjaan. Ditentukan sesuai dengan besaran manfaat yang dihasilkan.
Tentu saja tidak bisa disamakan antara buruh yang mahir dengan buruh yang biasa-biasa saja. Islam tidak mengenal upah minimum seperti saat ini. Jika di waktu tertentu ada sengketa terkait upah, maka penguasa akan menunjuk para ahli sebagai penengah, yang mampu menaksir besaran upah pada umumnya. Bila sudah ditentukan oleh para ahli maka sifatnya mengikat.
Besaran upah tidak ada kaitannya dengan taraf hidup di tengah masyarakat. Karena buruh tidak akan menuntut segala sesuatunya dipenuhi oleh pengusaha. Kewajiban rakyat berada di tangan penguasa bukan pengusaha. Tuntutan kesejahteraan seharusnya ditujukan pada penguasa termasuk penyediaan lapangan kerja.
Pihak pengusaha tidak akan dibebani dengan biaya kesehatan para buruh ataupun pendidikan, cukup membayar sesuai hasil kerjanya. Biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan dalam sistem Islam menjadi tanggungan negara. Maka rakyat dari hasil bekerjanya sebatas untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan. Tidak ada pajak yang dibebankan kepada rakyat. Pemasukan bagi negara lebih dari cukup, diantaranya pemasukan dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak akan diserahkan kepada swasta.
Seorang pemimpin berperan sebagai raa'in atau pengurus urusan rakyat sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Seorang imam adalah raa'in (pengurus) urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR Bukhari)
Wallahualam bissawab. [By]