Alt Title

Budaya Korupsi Merusak Anak Negeri

Budaya Korupsi Merusak Anak Negeri

 


Mereka memandang kebahagiaan dengan memenuhi segala keinginan yang bersifat jasadiyah. Padahal keinginan itu tidak terbatas, akhirnya muncullah sifat rakus

Untuk memenuhi kerakusannya, dia akan melakukan apapun hingga menggunakan harta yang bukan haknya. Sunat sana, lipat sini, apapun dilakukan agar keinginan gaya hidup hedonismenya terpenuhi

_______________________


Penulis Yani Ummu Qutuz

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Pegiat Literasi dan Member AMK


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Saat ini korupsi sudah menjadi budaya dalam arti korupsi dianggap hal yang lumrah dilakukan. Sejatinya, korupsi adalah perilaku culas bagi mereka yang mempunyai kuasa atau wewenang dalam membelokkan anggaran untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.


Dikutip dari Viva[dot]co[dot]id, 6/11/2023, sebuah pagelaran musik bertajuk Greenlane Festival batal digelar di Bandung, karena ulah oknum panitia yang tidak bertanggung jawab. Lewat laman media sosial Instagram, Greenlane Festival, mengunggah video pernyataan dari pelaku yang menyunat dana festival untuk kepentingan pribadi. 


Dalam video unggahan tersebut, Rahmat Bagus, menceritakan kronologi uang hingga bisa masuk ke kantong pribadinya. Pada bulan Maret ada investor berinvestasi pada Bagus sebesar 1,5 miliar, lalu terpakai 300-400 juta. Untuk menutupi uang yang terpakai, dia menutupinya dengan meminjam.


Seperti inilah gambaran orang-orang yang hidup di alam kapitalis sekuler. Sebab, sistem ini mencampakkan peran agama dalam kehidupan. Sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan pada individu. Sehingga tidak ada kontrol internal pada diri seseorang yang mengakibatkan perbuatan dosa begitu mudah dilakukan tanpa ada rasa takut. 


Sementara di sisi lain, mereka memandang kebahagiaan dengan memenuhi segala keinginan yang bersifat jasadiyah. Padahal keinginan itu tidak terbatas, akhirnya muncullah sifat rakus. Untuk memenuhi kerakusannya, dia akan melakukan apapun hingga menggunakan harta yang bukan haknya. Sunat sana, lipat sini, apapun dilakukan agar keinginan gaya hidup hedonismenya terpenuhi.


Hal ini yang menyebabkan budaya korupsi semakin marak dilakukan di semua level masyarakat. Belum lama Kapolda Metro Jaya menetapkan ketua KPK Firli Bahuri, sebagai tersangka pemerasan dan penerimaan hadiah dari mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Sungguh miris, lembaga anti rasuah yang seharusnya menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta bersih dari korupsi, nyatanya menjadi pelaku korupsi. Sedianya KPK ini adalah institusi independen yang dibentuk untuk memberantas koruptor dan menghilangkan budaya korupsi. Pada siapa lagi masyarakat berharap, jika ketua KPK malah terlibat korupsi?


Budaya korupsi muncul dari penerapan sistem politik demokrasi berbiaya tinggi. Dikatakan berbiaya tinggi karena untuk menjadi calon kepala daerah dan calon legislatif harus menyiapkan dana yang tidak sedikit. Berdasarkan riset Kementerian Dalam Negeri, dalam sekali pencalonan kepala daerah dibutuhkan biaya sekitar Rp 25-Rp 30 miliar. Temuan KPK ternyata lebih besar lagi, berdasarkan studi yang dilakukan KPK untuk pencalonan kepala daerah dibutuhkan Rp150 miliar. Sementara pada pemilihan legislatif biayanya sekitar Rp 5 miliar. 


Dana sebanyak itu digunakan untuk membangun konsolidasi tim sukarelawan dan biaya operasional untuk memobilisasi massa dalam jumlah besar. Belum lagi kebutuhan berbagai alat peraga kampanye mulai dari spanduk, brosur, aksesoris penyemarak seperti kaos, rompi dan sebagainya. Berbagai kelengkapan tersebut dibuat untuk menarik pemilih, pastinya membutuhkan biaya besar. 


Belum lagi untuk kebutuhan biaya kampanye kandidat dengan membuat acara atau kegiatan seperti kampanye akbar dengan menyuguhi panggung hiburan serta hadiah-hadiah menarik. Hal ini tentu memakan banyak biaya. Tak ketinggalan biaya iklan di media mainstream butuh dana yang cukup menyedot anggaran. 


Politik berbiaya tinggi ini menjadi pemicu kepala daerah untuk melakukan korupsi agar bisa mengembalikan modal dari pembiayaan saat pencalonan. Sementara, gaji kepala daerah kalau dikumpulkan selama masa jabatan tidak akan cukup untuk menutupi modal yang sudah dikeluarkan. Apalagi jika modalnya bukan dari saku sendiri. Mereka membutuhkan botoh atau sponsor dari tuan para pemilik modal besar, tentu tidak ada makan siang gratis. Kelak ketika mereka terpilih, maka ada konsekuensi yang harus dikembalikan dalam deal-dealan politik ini. 


Korupsi terus merajalela karena hukumannya tidak memberikan efek jera. Buat para koruptor diberikan fasilitas penjara yang begitu mewah, bahkan bebas keluar masuk dan bisa Plesiran. Mereka juga mendapat remisi dan pengurangan masa tahanan yang akan mempersingkat hukuman mereka. Dengan sistem hukum seperti ini, niscaya kejahatan korupsi tidak akan pernah bisa dibasmi, malah semakin subur.


Agar korupsi bisa dicabut hingga ke akarnya maka yang harus diterapkan sistem politik Islam yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw.. Sistem politik Islam tegak atas asas akidah Islam yang akan melahirkan ketakwaan individu yang mampu mengontrol dan menjadi pengawas bagi pejabat dan para politisi. Ketakwaan individu ini menjadi benteng pertama pencegah korupsi. 


Sistem politik Islam sederhana dan murah. Sebab, kepemimpinan Islam bersifat tunggal. Pengangkatan dan pencopotan pejabat negara dilakukan oleh Khalifah. Kondisi ini mencegah para cukong politik yang menjadi sponsor tadi terlibat dalam kebijakan. 


Seorang yang sudah terpilih menjadi pejabat dalam Islam, maka ia telah terlepas dari parpol yang menaunginya. Maka dia tidak akan menjadi mesin uang bagi parpol untuk biaya kampanye di masa depan.


Islam memberikan sanksi yang tegas bagi para koruptor yaitu berupa ta'zir. Ta'zir diserahkan keputusannya pada ijtihad khalifah dan Qadi (hakim). Sebagai contoh, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menetapkan sanksi bagi para koruptor berupa cambuk dan penjara yang sangat lama (Mushonnaf Ibn Abi Syaibah). Dengan sanksi tegas seperti ini, orang aka berpikir berulang kali untuk melakukan korupsi. 


Agar korupsi tidak membudaya maka merevisi UU KPK bukanlah solusi. Kita harus membuang hukum buatan manusia yaitu sistem politik demokrasi dan mengambil hukum Allah berupa sistem politik Islam untuk diterapkan di tengah kehidupan. Wallahualam bissawab. [Dara]