Alt Title

Agar Anak Tidak Rapuh

Agar Anak Tidak Rapuh

Artinya, ketika orang tua memberikan batasan, aturan, itu semua bukanlah pengekangan tapi proses pemahaman dan pembelajaran

Sehingga seorang anak paham tentang apa yang dilakukannya serta tahu akan konsekuensinya

_____________________________________


Bersama Ustazah Dedeh Wahidah Achmad



KUNTUMCAHAYA.com, PARENTING - Sering kita dengar atau saksikan, berita di media massa, kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja, bahkan juga anak-anak. Trennya, mereka meninggalkan surat yang ditujukan untuk orang tua, sahabat, kerabat, atau untuk orang terdekat.  


Menariknya, seolah mereka ingin menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan pilihan untuk meraih kebebasan. Mereka menganggap selama hidupnya tidak mendapatkan kebebasan. Tidak mempunyai pilihan, karena perlakuan yang didapatkan dari orang tua.


Sering kali orang tua menjadi pihak yang tertuduh karena dianggap terlalu protektif. Terlalu melindungi, yang  menyebabkan anak tidak mempunyai kebebasan. Apa yang mereka lakukan semata karena mengikuti orang tua atau karena rasa takut kepada orang tua.


Lalu, seperti apa sih perilaku yang dianggap protektif itu, terus bagaimana pandangan Islam, serta apa yang harus kita lakukan agar terhindar dari pengasuhan dan pendidikan over protektif tersebut ? Ustazah Dedeh Wahidah Achmad,  memberikan penjelasan secara lengkap yang diunggah dalam channel youtube Muslimah Media Center (MMC).


Menurutnya hal ini penting untuk kita ketahui, agar jangan sampai kita sebagai orang tua terlalu khawatir. Takut kalau apa yang kita lakukan akan menjadi beban bagi anak, yang menyebabkan anak depresi, kemudian berujung bunuh diri.


Tentu tidak ada orang tua yang berharap demikian. Setiap orang tua pasti menginginkan apa yang dilakukan terhadap anaknya akan berakhir dengan kebaikan. Berharap anak bisa tumbuh  sehat, kuat, serta menjadi anak yang saleh dan salihah.


Lebih lanjut Ustazah menjelaskan, bahwa sesungguhnya Islam memiliki aturan yang sempurna, yang berasal dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt.. Selain dengan aturan tersebut, kita juga diberikan contoh yang jelas, yang dipraktikkan secara langsung oleh Rasulullah saw.. Bagaimana Rasulullah saw., seorang yang mulia, yang ma'sum, yang tidak pernah salah dalam urusan peraturan, beliau telah memberikan gambaran lengkap terkait pendidikan anak. Yaitu, sesuai dengan apa yang tertulis di dalam Al-Qur'an, Allah Swt berfirman:


"Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakar adalah manusia dan batu." (TQS. At-Tahrim (66): 6)


Artinya, dalam Islam menjaga keluarga termasuk menjaga anak justru diperintahkan oleh Allah Swt.. Jadi, kalau saat ini orang tua membebaskan anak, hanya karena khawatir dengan keadaan anak, maka hal itu tidak sesuai dengan apa yang telah Rasulullah saw. contohkan.


Yang harus kita pahami adalah, dari apa kita menjaga anak itu. Apakah sekadar menjaga dari panas, hujan, atau dari kelaparan? Terkait hal ini Islam telah memberi kepada kita panduan, bahwa yang harus kita jaga dari anak-anak, selain menjaga dari ancaman fisik, ancaman pada akalnya, juga menjaga dari ancaman masa depannya. Jangan sampai di akhirat kelak mereka menjadi penghuni neraka. 


Karena itu, orang tua harus paham bahwa anak merupakan amanah yang harus di jaga. Kemudian, mengetahui apa yang harus dilakukan, supaya amanah itu betul-betul bisa kita laksanakan sesuai dengan apa yang dibebankan kepada kita.


Rasulullah saw. telah memberikan pedoman dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dan terdapat dalam kitab Imam Ahmad. Rasulullah saw. bersabda: "Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggalkan salat maka pukullah. Dan pisahkanlah tempat tidurnya." 


Pukulan yang dimaksud dalam hadis di atas tentunya bukan pukulan hukuman, melainkan pukulan untuk mendidik. Rasulullah saw. juga menjelaskan bahwa di dalam Islam itu ada batasan-batasan dan aturan-aturan yang ditujukan pada anak.


Artinya, ketika orang tua memberikan batasan, aturan, itu semua bukanlah pengekangan tapi proses pemahaman dan pembelajaran. Sehingga seorang anak paham tentang apa yang dilakukannya serta tahu akan konsekuensinya.


Supaya kita tidak terjebak pada pengasuhan over protektif tersebut ada beberapa hal yang harus kita lakukan: Pertama, pemberian aturan harus dibarengi dengan proses pemahaman. Orang tua bukan hanya memberi tahu harus begini, tidak boleh begitu, namun harus dibarengi dengan memberikan pemahaman dan alasan, kenapa mereka harus melakukan hal tersebut.


Kenapa harus salat, menutup aurat, tidak boleh ikhtilat, harus dibarengi dengan memberikan pemahaman bahwa hidup hanya sementara. Kita akan kembali kepada Allah Swt. sehingga apa yang kita lakukan di dunia harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Kalau berbohong, berbuat maksiat, maka akan berhadapan dengan pengadilan Allah Swt..


Sebaliknya, ketika kita melakukan hal-hal yang baik seperti salat, menutup aurat, maka Allah Swt. pun akan memberikan pahala. Karena Allah Swt. itu Maha Mendengar, Melihat, dan apa yang kita lakukan di dunia akan ada balasan kelak di akhirat. Inilah yang disebut penanaman akidah atau keimanan dalam tsaqafah Islam.


Kedua, jangan melakukan pemaksaan. Inilah metode pengajaran yang terkait erat dengan gaya komunikasi. Komunikasi harus dibangun dengan harmonis, penuh kehangatan dan rasa cinta. Bukan komunikasi dengan ancaman, investigasi, atau pengawasan. Sehingga ketika kita menanamkan aturan-aturan, batasan-batasan, maka anak siap.


Siap mendengarkan tanpa ada beban, tanpa tekanan, dan anak mampu memahaminya dengan benar. Dengan pemahaman yang benar tersebut, anak akan melakukan, memilih sesuatu sesuai dengan apa yang dipahaminya dan sesuai dengan keinginan orang tua. 


Ketiga, terkait tentang paradigma kehidupan. Bahwa hidup adalah proses. Pemahaman yang salah tentang kehidupan, yang memahami bahwa hidup adalah sesuatu yang final, yang harus didapatkan secara instan dan sempurna, maka anak akan merasa gagal ketika dihadapkan  pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Membandingkan dengan orang lain, mengapa mereka bisa sementara saya tidak bisa. Hal-hal seperti itu akan mengantarkan mereka kepada depresi.


Kita tanamkan kepada mereka bahwa hidup adalah proses. Kewajiban untuk kita meniti langkah demi langkah setiap proses kehidupan sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Kemudian, kita pahamkan kepada mereka bahwa setiap kegagalan dan kesalahan itu bisa diperbaiki selama masih ada keinginan dan kesempatan.


Justru ketika memilih bunuh diri mengakhiri kehidupan, berarti kita telah memutuskan perbaikan. Apa pun masalahnya, sebesar apa pun kesulitannya, selama nyawa masih di badan maka kesempatan pun masih terbentang. Kegagalan itu biasa, tidak ada manusia yang tidak pernah mendapatkan kegagalan, kesulitan dan kesusahan.


Dengan kegagalan itu kita menjadi kuat, mengambil pelajaran, dan segera bangkit untuk memperbaikinya. Jika kita mampu menanamkan hal tersebut kepada anak-anak kita dengan sabar, dengan kasih sayang, maka mereka akan memilih kemudian memutuskan segala sesuatu berdasarkan pemahamannya.


Mereka yakin bahwa pilihannya itu benar, serta mampu menolak sesuatu yang salah karena pemahamannya. Bukan karena takut kepada orang tua atau ingin menyenangkan hati orang tua, tapi karena mereka ingin mendapatkan rida dari Allah Swt..


Dan yang paling penting adalah kesadaran itu akan membangun rasa percaya diri. Membentuk keyakinan yang kuat, bahwa apa yang dilakukannya tidak sia-sia. Karena dia yakin Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui apa yang dilakukannya, meskipun orang tua tidak tahu. Serta menyadari bahwa pengawasan Allah Swt. itu benar adanya.


Dengan begitu mereka akan menyadari bahwa apa yang dilakukan orang tua, merupakan bentuk kasih sayang, bukan karena kebencian. Sehingga hubungan yang harmonis, antara anak dan orang tua untuk bersama menjalani proses kehidupan senantiasa terjalin dengan baik, semata hanya untuk meraih rida Allah Swt.. Wallahu alam bissawab. [MKC/Tinah Ma'e Miftah]