Alt Title

Mampukah Negara Menjamin Produk Halal?

Mampukah Negara Menjamin Produk Halal?

 


Pembuatan sertifikat gratis dianggap sebagai kemudahan dari pemerintah bagi siapa pun yang ingin mendapatkannya. Pertanyaannya apakah kemudahan tersebut menjamin bahwa yang sudah mendapatkan sertifikat halal tidak akan melakukan kecurangan? Sehingga membuat masyarakat tidak ragu lagi terhadap produk yang ada sertifikat halalnya

Mengingat sebuah negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler, yang meminggirkan agama dari pengaturan kehidupan, tidak terlalu peduli terhadap halal-haramnya sebuah produk

______________________________


Penulis Oom Rohmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Penduduk Indonesia merupakan mayoritas muslim. Maka untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat, penting kiranya bagi para pelaku usaha untuk menjual produk semisal makanan yang dijamin kehalalannya. Karena hal ini merupakan ketentuan yang telah ditetapkan agama.


Berkaitan dengan hal itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Tubagus Ace Hasan Syadzily mengimbau kepada ratusan pelaku usaha kecil dan UMKM untuk memanfaatkan kemudahan dari pemerintah yang menggratiskan pembuatan sertifikasi halal. Ungkapan tersebut disampaikan saat membuka acara Workshop Sihalal Bagi Pelaku Usaha di Sutan Raja Hotel Soreang, Kabupaten Bandung. (Minggu, Bandung IDN Times 22/10/2023)


Seiring dengan meningkatnya kesadaran umat Islam yang menghendaki apa yang dikonsumsinya itu thayyib (baik) dan halal, dan demi mengurangi rasa was-was, maka wajar banyak umat Islam yang menuntut peran negara untuk memastikan produk yang ada di pasaran itu baik dan halal. Jangan sampai apa yang dikonsumsi membahayakan bagi tubuh, apalagi kalau haram.


Kekhawatiran masyarakat sangat beralasan. Telah beredar berita banyaknya jajanan menggunakan zat pewarna yang dinyatakan haram juga bisa membahayakan kesehatan. Selain itu, ada juga restoran yang mencampur makanannya dengan daging babi dan lainnya. Bahkan ada yang jelas-jelas haram justru dilabeli halal, seperti khamr. Hal ini tentu saja membingungkan, dan masyarakat dibikin repot untuk lebih teliti dalam mengecek produk yang dibelinya.


Sementara dari pihak pemerintah menawarkan solusinya dengan menerbitkan sertifikasi halal. Akan tetapi pada pembuatannya dianggap sulit dan mahal. Sehingga tidak sedikit pelaku usaha yang enggan untuk mengurusnya, dan kecurangan pun marak dilakukan oleh penjual, yaitu dengan menempelkan langsung label halal di kemasan produk makanan atau minumannya.


Pembuatan sertifikat gratis dianggap sebagai kemurahan dari pemerintah bagi siapa pun yang ingin mendapatkannya. Pertanyaannya apakah kemudahan tersebut menjamin bahwa yang sudah mendapatkan sertifikat halal tidak akan melakukan kecurangan? Sehingga membuat masyarakat tidak ragu lagi terhadap produk yang ada sertifikat halalnya. Mengingat sebuah negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler, yang meminggirkan agama dari pengaturan kehidupan, tidak terlalu peduli terhadap halal-haramnya sebuah produk.


Terbukti ketika masyarakat menuntut, negara baru memikirkan untuk membuat sertifikasi halal. Seharusnya negaralah yang sigap untuk menjamin agar rakyatnya terhindar dari mengonsumsi yang haram dan berbahaya. Kalaulah negara yang menjamin tentu tidak dibutuhkan yang namanya sertifikat halal.


Namun sekali lagi, kapitalisme sekuler telah menjadikan kehidupan masyarakat liberal. Tidak hanya berlaku bagi para pelaku usaha, juga termasuk  konsumen itu sendiri. Mereka merasa bebas mengonsumsi apa pun.


Di sisi lain penguasa juga abai dalam mendisiplinkan perusahaan untuk memproduksi barang halal. Padahal sebuah negara yang masyarakatnya mayoritas muslim mestinya memperhatikan hal ini. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 168, yang bunyinya.


"Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu."


Selain itu makanan yang haram akan cenderung mendorong seseorang melakukan kemaksiatan. Al-Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi saw., "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah". Apa jawaban Rasulullah saw, :


"Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya." (HR. At-Thabrani).


Untuk itu, penting bagi umat Islam mengonsumsi makanan halal. Karena setiap niatan dan aktivitas ibadah bernilai pahala yang akan mendekatkan diri ke surga-Nya.


Kita sulit berharap ada jaminan kehalalan dari apa yang kita makan saat ini. Penipuan, suap-menyuap demi mendapat keuntungan terus terjadi. Ditambah produk haram bebas dijajakan asal legal di mata hukum (buatan manusia) sebagai contoh miras.


Maka akan berbeda saat Islam yang mengatur pemerintahan. Negara menjamin semua makanan yang tersedia telah halal untuk dikonsumsi. Masyarakatnya akan diajarkan hukum Islam sejak dini, termasuk soal pentingnya untuk mengonsumsi makanan halal, begitu pun cara mendapatkannya.


Dengan pengondisian seperti ini, mereka akan paham membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak. Islam tidak melarang setiap masyarakat melakukan produksi dan jual beli. Namun, jika proses atau bahannya mengandung yang haram, maka akan dilarang.


Sistem sanksinya juga bersifat tegas. Para qadi akan menghukum siapa pun yang melanggar. Apabila ada bahan makanan baru, maka akan diserahkan pada mujtahid untuk menggali hukumnya agar umat tidak bingung dalam menentukan sikap. Dengan penerapan hukum Islam secara menyeluruh, makanan yang beredar dipastikan terjamin dan mampu memberi ketenteraman sehingga sertifikasi halal pun tidak lagi dibutuhkan.


Hal ini tentunya tidak akan terwujud dalam sistem yang memisahkan agama dari kehidupan atau sekuler. Kebijakan ini baru akan terealisasi saat aturan Islam yang diberlakukan. Untuk itu umat harus bersama-sama memperjuangkannya agar sistem ini segera tegak dan diterapkan dalam kehidupan. Wallahu alam bissawab. [SJ]