Alt Title

Refleksi Hari Kesehatan Nasional, Sudahkah Negara Menghadirkan Pelayanan Optimal?

Refleksi Hari Kesehatan Nasional, Sudahkah Negara Menghadirkan Pelayanan Optimal?

Digitalisasi kesehatan memang penting pada era digital. Namun, alangkah lebih baiknya negara memprioritaskan jaminan kesehatan

Transformasi kesehatan seharusnya lebih mengarah pada solusi persoalan kesehatan yang belum terselesaikan, bukan memprioritaskan transformasi ekosistem digital

__________________________________


Penulis Ranti Nuarita, S.Sos.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN) di Indonesia. Di mana tahun 2023 ini Indonesia merayakan Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang ke-59 dengan tema Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju.


Mengutip dari Liputan6[dot]com, Minggu (12/11/2023) Menteri Kesehatan Sri Mulyani menulis di akun instagramnya bahwa, "Transformasi kesehatan menjadi kunci penting dan ini adalah sesuatu yang telah, sedang, dan akan terus kita upayakan agar Indonesia telah melangkah maju.”


Jika merujuk pada tema, mampukah Indonesia mewujudkan kesehatan nasional agar menjadi lebih maju dan berkualitas?


Sejatinya tidak ada satu pun orang di dunia yang ingin sakit. Dan tentunya menjadi keinginan setiap negara agar rakyatnya dapat hidup sehat dengan pelayanan kesehatannya terjamin. Maka selayaknya peringatan HKN memberi banyak refleksi juga evaluasi agar transformasi kesehatan tidak hanya terdengar seperti slogan tanpa makna. Pun dengan Indonesia Maju, jangan sekadar menjadi  narasi tanpa aksi.


Ibarat jauh panggang dari api, betapa banyak persoalan kesehatan yang belum tuntas juga masih menjadi PR besar Indonesia hingga saat ini. Mulai dari negara membutuhkan SDM yang berkualitas. Namun, sayangnya saat ini masih banyak persoalan kesehatan yang menghambat terwujudnya kesehatan berkualitas, seperti tingginya stunting dan kemiskinan, mahalnya layanan kesehatan, serta kualitas layanan kesehatan yang jauh dari harapan.


Sayangnya masalah transformasi kesehatan yang seharusnya mengarah pada terselesaikannya persoalan dasar kesehatan, yaitu jaminan kesehatan negara kepada rakyat, mulai dari infrastruktur memadai, layanan kesehatan gratis, juga pemenuhan kebutuhan pokok, sehingga tidak ada masalah stunting, gizi buruk, atau dampak negatif akibat ekonomi yang tidak sejahtera. Akan tetapi justru malah tersibukkan pada persoalan cabang seperti ekosistem digital kesehatan.


Bahkan setingkat PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (IHC), holding rumah sakit (RS) BUMN demi meningkatkan kualitas layanan kesehatan justru malah fokus menyiapkan langkah transformasi melalui pemanfaatan ekosistem digital. 


Digitalisasi kesehatan memang penting pada era digital. Namun, alangkah lebih baiknya negara memprioritaskan jaminan kesehatan. Transformasi kesehatan seharusnya lebih mengarah pada solusi persoalan kesehatan yang belum terselesaikan, bukan memprioritaskan transformasi ekosistem digital.


Pelayanan Kesehatan dalam Islam


Dalam Islam, negara akan menjamin seluruh kebutuhan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan kesehatan. Karena Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan mendasar untuk rakyat, setelah pendidikan dan keamanan.


Sejarah telah membuktikan bahwa di bawah kepemimpinan Islam, kesehatan masyarakat sangatlah terjaga dengan baik. Bahkan Will Durant dalam tulisannya The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, seperti Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus pada tahun 1160, bahkan telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran juga menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan pun berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”


Bukan tanpa alasan, keberhasilan peradaban Islam ini tentu sebab dari paradigma pemimpin negara yang benar tentang kesehatan. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dalam Islam kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat. Maka, negara bertanggung jawab untuk memenuhinya secara optimal juga terjangkau oleh masyarakat. Khalifah (pempimpin dalam sistem Islam) memosisikan dirinya sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan. Islam bahkan meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.


Sistem kesehatan tersusun dari tiga unsur, yaitu: Pertama, peraturan yang baik, yakni peraturan yang berasal dari syariat Islam, baik segi kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua, sarana peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan, yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya.


Lantas dari mana sumber dana untuk menjalankannya? Adapun pembiayaan sektor kesehatan dalam Islam bersumber dari pos-pos pendapatan negara, seperti hasil hutan, barang tambang, harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, ‘usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya.

 

Belum cukup sampai di situ, Islam pun punya prinsip untuk mengatur kendali mutu sistem kesehatan yang berpedoman pada tiga strategi, yaitu administrasi yang sederhana, segera dalam pelaksanaan, juga dilaksanakan oleh individu yang kapabel. Demikianlah betapa komprehensifnya Islam dalam mengatur pelayanan kesehatan masyarakat. Wallahu alam bissawab. [SJ]