Mewujudkan Harapan Transformasi Kesehatan Sistemik: Refleksi Hari Kesehatan Nasional
Opini
Sungguh tak habis di nalar, bagaimana mungkin di tengah kondisi terhimpitnya sektor kesehatan akibat permasalahan mendasar yang menumpuk, pemerintah justru sibuk menyelesaikan problem-problem cabang seperti digitalisasi kesehatan ini.
Memang, upaya pemerintah ini harapannya dapat mempermudah masyarakat mendapatkan akses kesehatan. Namun demikian, dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bahkan belum semua melek teknologi, mungkinkah harapan tersebut dapat diwujudkan
______________________________
Penulis Etik Rosita Sari
Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pasca Sarjana
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kesehatan merupakan kebutuhan berharga yang diharapkan setiap orang tanpa terkecuali. Kesehatan bahkan menjadi salah satu pondasi keberlangsungan dari sebuah negara. Belum kering diingatan kita bagaimana tahun-tahun pandemi begitu memukul banyak negara dunia hingga membuat perekonomian kolaps.
Hal ini seharusnya cukup menjadi bukti kuat betapa pentingnya peran kesehatan bagi masyarakat. Oleh karena itu, merealisasikan terjaminnya standar kesehatan ideal menjadi kewajiban pokok pemerintah yang tak boleh absen dilakukan. Namun demikian, saat ini agaknya hal tersebut masih menjadi sebatas angan.
Dalam acara peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-59 yang bertajuk "Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju" pada 12 November lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengingatkan bahwa kondisi pandemi COVID-19 beberapa tahun ke belakang memacu negara untuk menguatkan arsitektur kesehatan sebagai bekal menghadapi pandemi COVID-19 pada masa mendatang.
Hal ini sebagaimana diangkat pula menjadi inisiatif dalam Presidensi G20 Indonesia tahun lalu dan Keketuaan ASEAN Indonesia pada 2023. Selain itu, Sri Mulyani juga menyoroti urgensi transformasi kesehatan untuk mewujudkan penguatan kesehatan tersebut.
"Transformasi kesehatan menjadi kunci penting dan ini adalah sesuatu yang telah, sedang, dan akan terus kita upayakan agar Indonesia telah melangkah maju. Selamat Hari Kesehatan Nasional,” tulis Sri Mulyani dalam sosial medianya.
Merujuk pada tema Hari Kesehatan Nasional tahun ini, memang benar, saat ini masyarakat secara umum memerlukan transformasi kesehatan. Apalagi berkaca dari pengalaman 3 tahun ke belakang, negara sempat mengalami kelimpungan dalam berbagai sektor akibat ketidaksiapan sektor kesehatan menangani gelombang COVID-19. Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang dituliskan oleh Sri Mulyani, penguatan sektor kesehatan melalui transformasi kesehatan perlu dilakukan agar masyarakat lebih siap jika suatu saat keadaan-keadaan serupa pandemi terjadi kembali.
Tranformasi kesehatan juga diharapkan dapat menyongsong dan mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara maju. Harapan tersebut tentunya perlu didukung pula dengan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Namun demikian, realitanya saat ini, hal tersebut agaknya belum mampu diwujudkan.
Ironisnya, musabab dari belum tercapainya kualitas SDM sesuai harapan, salah satunya diakibatkan karena tingginya permasalahan di bidang kesehatan, seperti angka stunting yang terus menanjak, mahalnya layanan kesehatan serta kualitas layanan kesehatan yang masih jauh dari harapan.
Permasalahan-permasalahan tersebut timbul karena banyak faktor. Mulai dari tidak meratanya akses kesehatan, tertinggalnya ekonomi khususnya di daerah terpencil hingga kesejahteraan tenaga kesehatan yang tak terjamin. Belum lagi komersialisasi kesehatan yang kian masif sampai-sampai membuat sakit terkesan 'mahal' dan bahkan memunculkan anekdot "orang miskin dilarang sakit."
Menyikapi hal ini, alih-alih menyelesaikan problem mendasar, pemerintah justru sibuk mengarahkan pandangannya pada upaya transformasi ekosistem kesehatan dengan digitalisasi. Hal ini sebagaimana dikutip dalam jpnn[dot]com (12/11) di mana PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (IHC), holding rumah sakit (RS) BUMN menyiapkan langkah transformasi melalui pemanfaatan ekosistem digital untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
“Pemanfaatan ekosistem digital dapat meningkatkan inovasi bisnis dan daya saing di bidang kesehatan,” ujar Direktur Medis IHC dr Lia Gardenia Partakusuma berkaitan dengan momentum Hari Kesehatan Nasional 2023.
Ekosistem digital sektor kesehatan di sini, tambahnya, mengacu pada jaringan teknologi, perangkat dan pemangku kepentingan yang saling terhubung dan bekerja sama untuk menyediakan layanan perawatan kesehatan yang komprehensif dan tanpa batas.
Sungguh tak habis di nalar, bagaimana mungkin di tengah kondisi terhimpitnya sektor kesehatan akibat permasalahan mendasar yang menumpuk, pemerintah justru sibuk menyelesaikan problem-problem cabang seperti digitalisasi kesehatan ini.
Memang, upaya pemerintah ini harapannya dapat mempermudah masyarakat mendapatkan akses kesehatan. Namun demikian, dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bahkan belum semua melek teknologi, mungkinkah harapan tersebut dapat diwujudkan?
Apalagi jika mengingat akses internet pun tak tersebar merata di semua daerah. Di daerah-daerah terpencil bahkan sinyal telepon tak bisa didapatkan dengan mudah. Apakah program transformasi digital kesehatan bisa efektif direalisasikan dengan kondisi semacam ini?
Ironisnya, jika ditilik dari pernyataan direktur medis IHC, transformasi ke ekosistem digital ini digunakan justru sebagai aji mumpung melancarkan bisnis para korporat di bidang kesehatan. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa saat ini teknologi menjadi salah satu sumber cuan terbesar.
Apalagi mengingat masyarakat abad ini begitu tergantung dengan penggunaan teknologi. Bisa dibayangkan, seberapa besar keuntungan yang didapat dari bisnis digital ini dengan mengatasnamakan label transformasi kesehatan.
Memang, begitulah kondisi masyarakat saat sistem kapitalisme sekuler dijadikan sebagai standar kehidupan. Sebagaimana kapital yang dimaknai 'uang', maka sistem ini akan meniscayakan orientasinya kepada perolehan keuntungan sebesar besarnya. Tak ada tindakan yang benar-benar tulus dimaksudkan untuk kemaslahatan umum.
Semuanya dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan oknum tertentu. No free lunch! Tak terkecuali dalam upaya transformasi ekosistem digital ini. Alih-alih benar-benar berusaha mengentaskan problem kesehatan masyarakat, muaranya justru kembali kepada bisnis yang dilakukan segelintir oknum.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang ditemui dalam sistem Islam. Di dalam Islam, kesehatan merupakan hal yang sangat penting. Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari sehat badannya, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut memberi makna kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Karena inilah, negara sebagai penanggung jawab urusan umat, wajib untuk menyediakan dan mengusahakan upaya terbaik untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Negara harus memastikan bahwa umat bisa mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, murah dan mudah dijangkau. Tak boleh ada oknum tertentu yang memanfaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan melalui komersialisasi hajat umat ini. Jikapun ada, negara akan memberikan sanksi tegas tanpa pandang bulu.
Untuk mewujudkan ke semua itu, tentu bukan hal yang mudah dan murah dilakukan. Negara membutuhkan biaya besar agar upaya-upaya yang diharapkan dapat berjalan optimal. Oleh karena itu, negara mengandalkan pemasukan dari berbagai pos. Pos-pos ini berasal dari hasil pengelolaan SDA, kharaj, jizyah, ganimah, fai, usyur, dan lainya. Semua pendapatan dikelola untuk melayani seluruh kebutuhan rakyat, termasuk layanan kesehatan.
Sayangnya, layanan yang ideal seperti ini tidak akan bisa dipraktikkan dalam sistem sekuler kapitalisme seperti saat ini. Layanan kesehatan Islam hanya dapat diwujudkan dalam sistem yang mendukung, yaitu sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan khulafa setelahnya.
Maka dari itu, sudah saatnya kita membuang sistem kapitalisme usang ini dan beralih menuju sistem Islam agar transformasi sistemik dalam bidang kesehatan dapat terwujud. Wallahu alam bissawab. [SJ]