Alt Title

Learning Poverty Tidak Dianggap Serius, Kualitas Pendidikan Diabaikan

Learning Poverty Tidak Dianggap Serius, Kualitas Pendidikan Diabaikan

 


Perbedaan sarana dan prasarana di berbagai wilayah semakin memperbesar angka learning poverty

Perbedaan ini terjadi karena kapitalisasi di bidang pendidikan merupakan sesuatu yang legal dalam sistem saat ini. Dengan demikian mewujudkan pendidikan yang berkualitas hanya sebuah mimpi dalam sistem sekulerisme kapitalis

_________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling banyak menarik perhatian. Alasan klisenya adalah semua orang berkepentingan terhadap pendidikan. Untuk itu, desain pendidikan selalu menampilkan inovasi baru. Itulah sebabnya kita jumpai pergantian kurikulum berkali-kali. Bahkan ada kalimat yang menyatakan ganti menteri ganti kurikulum. Semua itu diklaim untuk memacu kualitas sumber daya peserta didik.


Namun, patut disayangkan, gambaran fakta yang ada, tidaklah selalu berbanding lurus dengan harapan. Sebanyak 21 siswa di SMPN 11 kota Kupang ditemukan tidak bisa membaca, menulis hingga membedakan abjad. Hal ini terlihat saat pelaksanaan asesment kognitif peserta didik baru pada bulan Juni 2023 lalu. (Tribun flores[dot]com, 10/8/2023)


Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di republik ini. Dalam sebuah laporan Bank Dunia menunjukkan setidaknya di setiap tahunnya, sebanyak 172 juta di 22 negara berpenghasilan menengah di Asia Timur dan Pasifik terdaftar di sekolah dasar. Hanya saja jumlah partisipan pendidikan yang terus meningkat masih banyak anak-anak yang tidak memiliki keterampilan dasar pendidikan. (Republika[dot]co[dot]id, 24/9/2023)


Definisi tingkat ketidakmampuan belajar (learning poverty), menurut laporan tersebut adalah ketidakmampuan anak usia 10 tahun untuk membaca dan memahami bahan bacaan yang sesuai dengan usianya, berada di atas angka 50 persen di 14 dari 22 negara, termasuk Indonesia, Myanmar, Kamboja, Filipina, dan Republik Demokratik Rakyat Laos.


Kenyataan ini amat miris. Kegagalan dalam memberikan keterampilan dasar pada peserta didik akan berpengaruh pada masa depan peserta didik. Pendidikan dalam sistem kapitalisme yang berorientasi mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja akan banyak menemukan hambatan karena masalah tersebut. 


Jauh sebelumnya pemerintah pernah mencanangkan Wajib Belajar 9 tahun. Demi mendongkrak partisipasi masyarakat agar program tersebut berjalan dengan baik, pemerintah memudahkan masyarakat untuk mendirikan sekolah-sekolah. 


Benar saja, kebijakan ini disambut masyarakat dengan sukacita. Sekolah-sekolah, terutama di daerah pedesaan tumbuh bagai jamur di musim hujan. Namun sayang, munculnya sekolah-sekolah itu tidak dibarengi dengan fasilitas yang memadai. Meski kebijakan ini cukup mendongkrak partisipasi masyarakat dan menjadikan akses pendidikan menjadi lebih mudah.


Namun keberadaannya dengan fasilitas seadanya. Alih-alih menghasilkan pendidikan yang berkualitas, justru out put pendidikan yang dihasilkan pun juga seadanya. Meski pendidikan gratis telah lama bertalu-talu dengan digulirkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kualitas pendidikan masih berjalan lambat tidak juga melesat. Terutama di daerah pedesaan.


Hal ini wajar terjadi, karena dana BOS yang dikucurkan di sekolah menghitung jumlah siswa. Jelas kondisi ini akan menghasilkan ketimpangan. Bagi sekolah yang memiliki siswa dengan jumlah yang banyak, maka luncuran dana yang didapat pun banyak. Sehingga fasilitas sekolah bisa terpenuhi dengan memadai. Begitu pula sebaliknya.


Administrasi yang Njlimet


Episode berikutnya dunia pendidikan mulai menerapkan administrasi yang rumit. Seorang guru tidak lagi fokus menghantarkan peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang memiliki pengetahuan, sikap serta keterampilan. Konsentrasi guru mulai terpecah oleh seperangkat bahan ajar dan administrasi lainnya.


Sementara peserta didik hari ini, dituntut untuk tuntas dalam pembelajaran. Proses ketuntasan belajar diserahkan kepada guru. Tidak boleh ada siswa yang tidak naik kelas. Guru harus bekerja melakukan remidi pada peserta didik agar proses pembelajaran tuntas. Segudang tuntutan yang harus dilakukan, dalam waktu terbatas, kadang-kadang remidi hanya dilakukan secara adminitrasi saja. Sehingga status kenaikan kelas peserta didik tidak sesuai dengan kemampuan belajarnya.


Dukungan dan Komitmen Pembuat Kebijakan


Banyak negara menganggap bahwa masalah ketidakmampuan belajar (learning poverty) bukanlah masalah yang serius, sehingga tidak memerlukan penanganan yang serius pula. Padahal dukungan dan komitmen pembuat kebijakan merupakan faktor krusial untuk keluar dari masalah ini.


Hal ini disebabkan berbagai upaya untuk menanggulangi masalah, ternyata membutuhkan  pembelanjaan yang lebih efektif dari sumber daya yang ada dan alokasi sumber daya tambahan. Padahal penanganan permasalahan learning poverty akan dapat lebih mencerahkan masa depan generasi muda dan prospek ekonomi.


Membangun Pendidikan Berkualitas, Mimpi dalam Sistem Kapitalis


Fakta-fakta yang terungkap sejatinya merupakan buah dari penerapan sistem pendidikan saat ini yaitu sistem pendidikan sekulerisme kapitalisme. 


Sekulerisme adalah paham yang menanggalkan agama dalam setiap aktivitas, termasuk pendidikan. Materi adalah tujuan utama bagi sistem ini. Sedangkan manfaat merupakan azas bagi perbuatannya. 


Sejatinya kurikulum yang terus mengalami pergantian bukanlah diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas peserta didik. Melainkan untuk memenuhi kualifikasi yang dituntut korporasi. Muatan agama dikikis secara perlahan. Materi pembelajaran hanya bermuara pada pencapaian materi, berupa nilai, keterampilan dan sejenisnya. Bagi peserta didik yang tidak bisa mengikuti perubahan kurikulum akan tertinggal.


Di samping itu, perbedaan sarana dan prasarana di berbagai wilayah semakin memperbesar angka learning poverty. Perbedaan ini terjadi karena kapitalisasi di bidang pendidikan merupakan sesuatu yang legal dalam sistem saat ini. Dengan demikian mewujudkan pendidikan yang berkualitas hanya sebuah mimpi dalam sistem sekulerisme kapitalis.


Sistem Islam Mewujudkan Pendidikan Berkualitas


Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar publik yang harus diperoleh individu rakyat. Untuk itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan tersebut.


Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Imam (pemimpin) adalah raa'in (pengurus rakyat) ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)


Tanggung jawab penguasa dalam memenuhi kewajiban ini ditunjukkan Rasulullah saw. yang mewajibkan tawanan perang Badar untuk mengajarkan baca tulis kepada kaum muslimin yang masih buta huruf sebagai tebusan diri mereka.


Oleh karena itu pembiayaan sektor pendidikan tidak diberikan pada individu-individu masyarakat, melainkan ditanggung secara mutlak oleh negara. Pembiayaan diambil dari pos kepemilikan umum dan pos kepemilikan negara. 


Pos kepemilikan umum diambil dari pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara. Sedangkan yang dimaksud kepemilikan negara berasal harta fa'i, kharaj, jizyah dan sejenisnya. 


Dengan mekanisme ini tidak akan ada liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Sehingga tidak terjadi ketimpangan pendidikan di berbagai wilayah. Semua wilayah akan mendapat jaminan kualitas pendidikan yang sama.

Wallahualam bissawab. [GSM]