Alt Title

Bimwincatin, Cukupkah Mengatasi Tingginya Angka Perceraian di Indonesia?

Bimwincatin, Cukupkah Mengatasi Tingginya Angka Perceraian di Indonesia?

Hal paling mendasar, pemerintah harus memastikan bahwa setiap individu mendapatkan pembekalan dan penguatan akidah Islam sebagai landasan kehidupan yang kokoh

Ketika individu memiliki akidah yang kuat akan mampu menyelami kehidupan dengan pandangan yang benar. Agar terhindar dari perkara yang mengarah pada keburukan dan berakhir dengan perceraian

_____________________________


Penulis Zaesa Salsabila

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi Serdang Bedagai



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. Kamaruddin Amin menyampaikan, angka perceraian setiap tahun di Indonesia meningkat menjadi 516 ribu. Sementara, angka pernikahan menurun dari 2 juta menjadi 1,8 juta. (Republika[dot]co[dot]id)


Artinya, setiap tahun lahir 516 lelaki yang menjadi duda dan 516 wanita yang menjadi janda. Tentu, ini menjadi permasalahan yang sangat serius. Dari perceraian akan berdampak buruk bagi anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya.


Perceraian itu sendiri memiliki banyak faktor pendukung, seperti ekonomi, perselingkuhan, stunting, KDRT, pernikahan dini, narkoba hingga judi online serta kebebasan pergaulan dan sosial media. Bahkan, di temukan kasus perceraian karena salah satu pasangannya memiliki kelainan seksual hingga LGBT seperti yang ditemukan di Aceh. (Serambinews[dot]com)


Ini adalah fakta yang sangat miris dan membutuhkan penanganan yang serius. Mengingat bahwa dalam ajaran Islam perceraian adalah perbuatan yang sangat tidak di sukai Allah. Sebaliknya, pernikahan itu sendiri adalah ajaran Islam yang menyempurnakan separuh agama.


Sebagai solusi Ditjen Bimas Islam Kemenag memiliki program Bimbingan Perkawinan Pra Nikah bagi Calon Pengantin (Bimwincatin). Menurut mereka ini adalah program yang sangat penting untuk memberikan edukasi kepada mereka yang hendak menikah agar kelak memiliki bekal dalam menjalani hubungan pernikahan.


Namun, cukupkah Bimwincatin tersebut mengatasi tingginya kasus perceraian di Indonesia? Tentu jawabannya tidak. Sebab, faktor yang memicu kasus perceraian itu sendiri sangat beragam dan tidak cukup hanya pembekalan bimbingan saja.


Pemerintah sebagai pengurus rakyat harus mampu menyelesaikan apa yang menjadi penyebabnya. Pemerintah harus bisa memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan yang banyak dengan penghasilan yang mencukupi. Hal ini, agar tidak terjadi permasalahan ekonomi dalam rumah tangga yang sering menjadi penyebab utama adanya percekcokan dan berakibat pada KDRT hingga berujung perceraian.


Pemerintah benar-benar memastikan bahwa Indonesia bersih dari segala jenis perjudian dan barang haram seperti minuman keras serta narkoba yang kini tersebar luas. Baik penggunaan, maupun pengedaran. Karena terbukti banyak manusia yang menjadi rusak akalnya akibat kecanduan terhadap barang haram tersebut. Dan ini berdampak bagi keharmonisan rumah tangga.


Hal paling mendasar, pemerintah harus memastikan bahwa setiap individu mendapatkan pembekalan dan penguatan akidah Islam sebagai landasan kehidupan yang kokoh. Ketika individu memiliki akidah yang kuat akan mampu menyelami kehidupan dengan pandangan yang benar. Agar terhindar dari perkara yang mengarah pada keburukan dan berakhir dengan perceraian.


Namun, hal ini tidak akan bisa terealisasi dalam kehidupan. Apabila negara Indonesia masih menerapkan sistem sekularisme kapitalisme. Sebuah sistem yang memisahkan kehidupan dunia dengan akhirat. Alhasil, manusia tidak lagi berstandar pada halal dan halam dalam menjalani kehidupan. Kehidupan hanya dijalani dengan pandangan kenikmatan dunia semata dan melalaikan dari tujuan kehidupan yang sesungguhnya yakni akhirat yang abadi.


Maka, solusi yang tepat dalam menangani kasus tingginya perceraian di Indonesia adalah di mulai dengan penerapan sistem Islam yang Kafah. Ketika pemerintah menerapkan sistem Islam seluruh permasalahan yang menjadi faktor pemicu perceraian bisa terselesaikan dengan tuntas sehingga angka perceraian akan sangat minim.


Hal ini bisa terjadi karena setiap individu yang memiliki landasan akidah Islam yang kuat akan memahami tugas dan perannya masing-masing. Sehingga, konflik yang terjadi di dalam rumah tangga semakin kecil. Juga dukungan negera yang menerapkan sistem Islam memastikan tidak ada lagi masalah kemiskinan atau ketimpangan ekonomi.


Negara akan memberikan peranan terbaik dalam memastikan setiap keluarga memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Serta, negara memastikan harga bahan pokok, stabil, serta stok yang melimpah.


Sistem Islam yang tegas tidak akan membiarkan miras dan narkotika serta perjudian beredar di masyarakat. Dengan sanksi yang tegas Islam akan membuat para pelaku maksiat seperti perselingkuhan bahkan LGBT akan jera dari perbuatannya dan tidak ada yang berani untuk mengulangi kesalahan yang sama. 


Islam adalah agama yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat. Dengan menerapkan sistem Islam keindahan berumah tangga bukan hanya dirasakan oleh sebagian orang, melainkan setiap pasangan.


Sebagaimana firman Allah yang artinya: "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum 21)


Dengan adanya ketetapan dari Allah tentang kepemimpinan seorang suami terhadap istrinya. Aturan Islam mengharuskan para suami untuk berbuat baik, memuliakan serta lembut kepada istri. Sebab, istri salehah adalah mereka yang menunaikan hak-hak Allah dengan menaati Allah dan Rasul-nya serta menunaikan hak suami dengan ketaatan, penghormatan dan khidmat terhadap suami.


Rasulullah saw, bersabda: "Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku (istriku)." (HR. Al-Hakim)


Wallahualam bisssawab. [Dara]