Alt Title

Agama sebagai Alat Politik

Agama sebagai Alat Politik

  


Dalam Islam menjadi pemimpin atau penguasa bukan sekadar untuk harta dan tahta, menaikkan popularitas atau bahkan dimuliakan, tetapi perlu memiliki tujuan mulia yang mengantarkan kepada kemuliaan, di sisi-Nya

Memilih pemimpin bukan hanya sekadar dengan agamanya saja, tetapi yang visioner seperti Rasulullah, para sahabat, dan para khalifah, yang menjadikan Islam sebagai way of life, sebagai sistem kehidupan

______________________________


Penulis Salsabila N.A. Pasaribu

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Jelang Pilpres tahun 2024, bursa capres dan cawapres semakin memanas mulai berkompetisi dan bersaing, baik di lingkungan atau bahkan di media sosial.


Di tengah panasnya kompetisi kepemimpinan ini, Menteri Agama Yaqut Cholil mengimbau kepada masyarakat agar jangan memilih pemimpin yang memecah belah umat, dan juga meminta masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. (VivaJabar, 5/9/2023)


Pernyataan ini justru mengantarkan masyarakat kepada mindset yang menganggap bahwa agama hanyalah sebagai alat politik, juga akan menimbulkan pemikiran bahwa Islam dan politik adalah hal asing yang tidak bisa bersatu.


Allah berfirman :


وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِى كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ


"Dan Kami turunkan kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta Rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim)." (QS. An Nahl: 89)


Dari ayat di atas sudah jelas bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk yang di mana di dalamnya terdapat berbagai penjelasan segala sesuatu, yang salah satunya adalah politik pemerintahan. Maka, politik adalah bagian dari syariat Islam, yang berarti 2 hal ini tidak terpisah dan asing.


Namun saat ini justru umat Muslim dijauhkan dari syariat. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, bahwa yang pertama hilang adalah sifat amanah, dan yang terakhir hilang adalah salat. Dan bisa kita lihat keadaan dunia saat ini, sudah hampir hilang segalanya.


Politik Sekularisme


Sekularisme yang berarti memisahkan antara agama dan pemerintahan, yang tentu hal ini berasal dari Barat yang tujuan utamanya hanya untuk menciptakan Islamofobia agar masyarakat merasa asing dan makin jauh dengan agama. Namun disayangkan hal ini terjadi pada umat kita sendiri, yakni umat Muslim. Masyarakat dibuat makin jauh dengan agama oleh pemerintahnya sendiri.


Ini pun menjadi alasan mengapa kondisi saat ini menjadi makin buruk, karena pemimpin masyarakat yang juga menggunakan prinsip sekularisme-demokrasi. Menjadikan jabatan dan kekuasaan sebuah persaingan. Bahkan mereka menggunakan prinsip barat yaitu buatan Machiavell, "Menghalalkan segala cara."


Ini sebabnya banyak terjadi, modus pencitraan, janji palsu, dan bahkan sampai yang terburuk yaitu adanya  politik uang.


Nabi saw. telah mengingatkan kita sebagai umatnya bahwa persaingan dalam jabatan dan kekuasaan adalah hal yang berbahaya, apalagi dengan cara yang sangat amat Allah murkai, karena dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, An-Nasai dan Ahmad, Rasulullah bersabda bahwa kepemimpinan atau kekuasaan akan menjadi penyesalan dan kerugian di hari kiamat.


Karena menjadi pemimpin berarti memegang tanggung jawab yang berat karena setiap pemimpin akan dipertanyakan di akhirat kelak. Maka dari itu menjadi pemimpin adalah memegang sebuah amanah yang besar.


Menegakkan Syariat: Politik 


Islam, kekuasaan dan rakyat itu seperti tenda besar, tenda besarnya adalah Islam, tiangnya kekuasaan, tali pengikat serta pasaknya ibarat rakyat, bayangkan jika salah satu bagian tidak ada maka tenda besar tersebut tidak akan berdiri tegak, seperti itulah Ibnu Qutaibah mengumpamakannya.


Maka, ini adalah bukti bahwa Islam dan politik bukanlah hal yang asing. Islam dan politik adalah satu kesatuan yang berintegrasi, Ibnu Taimiyah pun menyatakan dalam kitab Majmu' al-Fatawa, (28/394), bahwa jika kekuasaan terpisah dengan agama, atau sebaliknya maka niscaya perkataan manusia akan rusak.


Dalam Islam menjadi pemimpin atau penguasa bukan sekadar untuk harta dan tahta, menaikkan popularitas atau bahkan dimuliakan, tetapi perlu memiliki tujuan mulia. Tujuan yang mulialah yang akan mengantarkan kepada kemuliaan, yaitu kemuliaan di sisi-Nya.


Salah satu contoh tujuan mulia ialah menjadikan hal ini sebagai amal salih untuk mengurus umat dengan menerapkan sistem Islam di seluruh dunia, juga harus berhukum dengan syariat Islam pula menunaikan amanah.


Allah berfirman :


إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا


"Sungguh Allah, menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil." (QS. An-Nisa : 58)


Dengan demikian memilih pemimpin bukan hanya sekadar dengan agamanya saja, tetapi kita perlu memilih pemimpin yang visioner seperti Rasulullah, para sahabat, dan para khalifah, yang menjadikan Islam sebagai way of life, sebagai sistem kehidupan.


Karena yang kita tuju bukanlah menjadi negara yang hanya maju, namun menjadi negara dengan seluruh isinya yang mengundang rida dan rahmat Allah Swt.. 


Wallahualam bissawab. [SJ]