Alt Title

Mantan Napi Koruptor jadi Bacaleg, Hipokrisi Demokrasi

Mantan Napi Koruptor jadi Bacaleg, Hipokrisi Demokrasi

Di dalam sistem demokrasi fenomena ini bisa terjadi karena yang membuat aturan adalah manusia, bukan Allah Swt.. Akibatnya, aturan sesuka hati para penguasa untuk memuluskan syahwat politiknya

Pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi hanyalah basa-basi. Korupsi tidak akan benar-benar diberantas, karena menguntungkan para politisi, kewenangan KPK saja bisa menjadi lemah sekali "dimutilasi" 

_________________________________


Penulis Siti Mukaromah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah 



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Warganet Indonesia ramai-ramai merespon kabar diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif (caleg) DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu 2024 mendatang. Dikutip dari cnnindonesia[dot]com (22/8/2023), eks napi koruptor boleh jadi caleg, warganet pertanyakan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). 


Izin soal narapidana menjadi caleg seperti diketahui tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Pasal tersebut didalamnya, tidak ada larangan untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD bagi mantan kasus korupsi. 


Adapun bunyi pasal 240, "Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". 


Tentu saja aturan tersebut mendapat reaksi warganet. Mereka mempertanyakan SKCK yang selama ini kerap menjadi salah satu syarat melamar pekerjaan. Biasanya SKCK digunakan perusahaan untuk mengecek jejak rekam pelamar yang pernah terlibat tindak kriminal.


Akun tulis @RajagluguRudi mengatakan bahwa, "Inilah alasan mengapa kualitas DPR kita melempem, padahal kalau kita cari kerja saja disyaratkan punya SKCK". Sedangkan di akun tulis  @Minnie_imut mengatakan "Salah satu syarat melamar pekerjaan dan yang menjadi pejabat negara kan harus bikin SKCK. Lha koruptor yang pernah bermasalah kok bisa lolos, apa SKCK cuma buat formalitas aja dan buat nambah pemasukan kepolisian?"


Fenomena dalam daftar napi koruptor masuk bacaleg menunjukkan bahwa parpol memang menggelar karpet merah bagi mantan koruptor. Seolah-olah menutupi fakta, KPU tidak mengumumkan status hukum para bacaleg dan tidak melarang napi koruptor menjadi bacaleg. Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. UU HAM Pasal 73 juga mengatur soal pembatasan dan larangan hak kebebasan setiap warga.


Pada pemilu 2019 lalu, KPU mengumumkan perbedaan daftar caleg yang pernah terlibat korupsi. Peraturan berdasarkan KPU (PKPU) 20/2018, melarang mantan koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu. Namun, sejumlah mantan napi koruptor menggugat KPU dan akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan putusan MA Nomor 30 P/HUM/ 2018 yang menilai larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu. (CNN Indonesia, 24/08/2023)


Fenomena mantan koruptor menjadi bacaleg, menunjukkan demokrasi hipokrisi. Demokrasi selama ini yang dicitrakan sebagai pemerintahan transparan dan bersih karena para pemimpinnya adalah pilihan rakyat, dan menandakan seharusnya pemimpin yang terpilih adalah "pilihan Tuhan".


Namun nyatanya, justru demokrasi melindungi pelaku korupsi. Apalagi, jika yang menjadi bacaleg mantan koruptor. Kemungkinan besar mereka tentu akan terpilih jika bacaleg merupakan orang-orang yang punya posisi strategis di partainya. Alhasil, akan memuluskan bacaleg terpidana korupsi seolah-olah keputusan MA dan KPU memang di desain untuk bisa menduduki kekuasaan.


Narasi indah selama ini tentang pemberantasan korupsi didengungkan berulang-ulang. Namun, berkebalikan praktiknya, napi koruptor bukan saja mendapat keringanan hukuman. Bahkan setelah bebas, mantan napi tersebut bisa berkuasa dan melenggang. Fenomena aneh tetapi nyata terjadi, apakah yakin mantan napi koruptor ini bisa bertobat tidak akan mengulangi berbuat korup lagi?


Di dalam sistem demokrasi fenomena ini bisa terjadi karena yang membuat aturan adalah manusia, bukan Allah Swt.. Akibatnya, aturan sesuka hati para penguasa untuk memuluskan syahwat politiknya. Bahkan meski berbeda fraksi, mereka saling bekerja sama mengegolkan suatu regulasi yang dikehendaki. Pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi hanyalah basa-basi. Korupsi tidak akan benar-benar diberantas, karena menguntungkan para politisi, kewenangan KPK saja bisa menjadi lemah sekali "dimutilasi". 


Adapun berdasarkan instruksi Jaksa Agung, S.T. Burhanuddin, calon kontestan pemilu dilindungi dengan cara menunda pengusutan kasus korupsi terhadap napi koruptor yang terlibat pemilu. Ujungnya, para napi koruptor ini yang menang. Sungguh fakta yang sangat menyedihkan.


Sistem demokrasi selama masih dipertahankan di negeri ini, pemberantasan korupsi tetap menjadi sekadar basa-basi. Pemerintahan yang bersih hanyalah ilusi. Jika ingin Indonesia serius bebas dari korupsi, butuh mengubah sistem demokrasi menjadi sistem pemerintahan Islam.


Sistem dalam Islam bukanlah buatan dari manusia. Melainkan bersumber dari wahyu-Nya Allah Swt. yang terjamin sahih. Sistem ini dikenal sebagai institusi Islam Kaffah yang diwariskan Rasulullah saw.. Di dalam institusi ini, salah satu syarat penguasa adalah sifat adil.


"Sesungguhnya Allah Swt. menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan,  Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan." (QS. An-Nahl: 90)


Keadilan penguasa merupakan hal yang sangat penting di dalam institusi Islam kaffah. Makna "keadilan" adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Thaimiyah dalam kitab As-Siyasah asy-Syar'iyah yaitu "Apa saja yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan Sunah, baik  dalam huruf maupun hukum-hukum lainnya. Artinya, orang yang menegakkan hukum Allah Swt. adalah orang yang adil, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat.


Pelaku maksiat atau orang fasik terkategori tidaklah adil. Seseorang yang jelas terlibat dengan kasus korupsi jelas tidak memenuhi sifat penguasa adil. Artinya, tidak layak para koruptor tersebut mencalonkan diri menjadi penguasa.


Sistem demokrasi senantiasa akan banyak bermunculan politisi korup. Karena di sistem ini berlandaskan sekularisme yang menghalalkan segala cara dan menjauhkan agama dari kehidupan. Hari ini kita lihat politik Machiavellis tumbuh subur dalam demokrasi.


Oleh karenanya, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih tidak hanya cukup memilih pemimpin yang bersih. Jika awalnya pemimpin bersih di dalam sistem demokrasi, ketika sudah masuk, ia cenderung akan ikut terbawa arus menjadi korup. Terbukti, sudah banyak beberapa politisi yang awalnya terkenal bersih ternyata turut tersandung korupsi.


Dengan demikian, umat saat ini bukan sekadar beragenda memilih pemimpin bersih dan adil. Saat ini agenda yang lebih utama yaitu, mewujudkan sistem pemerintahan bersih dan adil sehingga akan terkondisi setiap politisi untuk menjadi bersih dan adil pula. 


Institusi Islam kafah yang diwariskan Rasulullah saw. memil9ki mekanisme pemerintahan yang bersih dan adil, satu-satunya yang berasaskan akidah Islam. Seluruh hukum Allah Swt. akan tegak dengan adanya sistem ini, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Seperti yang disampaikan Allah Swt. dalam QS. Ali-Imran ayat 161.


Pada sistem ini hanya orang-orang adil yang berhak menjadi penguasa, pejabat, dan pegawai. Orang yang sudah terbukti maksiat atau fasik, dilarang dalam menjabat pemerintahan. Khalifah senantiasa mengawasi pergerakan harta pejabatnya, jika ada kenaikan yang tidak wajar.


Jika terbukti bersalah, Khalifah mengumumkan di depan publik, harta miliknya atau ghulul akan disita. Khalifah dan qadi (hakim) memberikan hukum takzir bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati.


Demikianlah mekanisme Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, yang kita butuhkan saat ini. Untuk mewujudkannya, bukan sistem demokrasi yang terbukti korup. Wallahualam bissawab. [SJ]