Alt Title

Di Balik Sengkarut Krisis Air yang Makin Meluas

Di Balik Sengkarut Krisis Air yang Makin Meluas

Fenomena alam seperti El Nino dan perubahan iklim memegang peranan penting dalam memicu terjadinya bencana kekeringan

Akan tetapi, lambatnya mitigasi dan tidak optimalnya langkah antisipatif pemerintah membuat musibah ini kian memberi dampak yang parah pada masyarakat. Krisis air akhirnya menggejala di berbagai daerah, bahkan wilayah yang mengalaminya semakin bertambah dari waktu ke waktu

__________________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa bulan belakangan ini, musibah kekeringan melanda berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.  Hal ini, disebabkan akibat perubahan iklim yang ekstrim sehingga berimbas pada terjadinya musim kemarau berkepanjangan. Menurut prakiraan BMKG pada April lalu, sebagian wilayah di Indonesia diprediksi akan mengalami muslim kemarau lebih awal mulai Bulan April hingga Juni 2023. Sementara, puncak musim kemarau di tahun 2023 terjadi pada Bulan Juli hingga Agustus 2023.   


Kepala BMKG menyebut beberapa wilayah yang akan mengalami musim kemarau di Bulan April meliputi Bali, NTB, NTT, sebagian besar Jawa Timur, disusul kemudian sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian Pulau Sumatera bagian selatan dan Papua bagian selatan pada Bulan Mei. Sementara, Provinsi Jakarta, sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian Pulau Kalimantan bagian selatan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi bagian utara akan mengalami muslim kemarau di Bulan Juni. 


Tak hanya datang lebih awal, kemarau tahun ini diprediksi akan menjadi lebih kering. Hal ini merupakan imbas dari fenomena El-Nino. El Nino sendiri adalah fenomena cuaca yang terjadi akibat meningkatnya suhu permukaan air lait di Samudera Pasifik Tengah dan Timut di atas normal sehingga menjadi lebih hangat dari biasanya. Kondisi tersebut membuat udara basah di wilayah sekitar berkurang serta menyebabkan peningkatan suhu. Akhirnya berdampak pada berkurangnya curah hujan, termasuk di wilayah Indonesia. BMKG mengungkapkan, fenomena El Nino ini terjadi hingga akhir tahun di Bulan Desember 2023.   


Hal ini diperparah dengan munculnya Indian Ocean Dipole (IOD). IOD merupakan sebuah fenomena dimana terjadi perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudera Hindia bagian barat) dan Samudera Hindia bagian timur di selatan Indonesia. Berdasarkan pengamatan BMKG, di Bulan Juli kemarin, El Nino mencapai indeks level moderate, sementara index level IOD sudah memasuki level positif. Kedua fenomena alam ini saling menguatkan satu dengan lainnya sehingga berdampak pada terjadinya musim kemarau yang lebih kering serta curah hujan yang lebih sedikit bahkan sangat rendah. Puncak musim kemarau, imbuh BMKG, akan terjadi pada Agustus hingga September, dimana saat tersebut diprediksikan akan jauh lebih kering dibanding 3 tahun sebelumnya.   


Tak pelak, musim kemarau ini memicu bencana kekeringan yang mengancam masyarakat Indonesia. Diantara dampak kekeringan adalah semakin tingginya angka kejadian kebakaran hutan (karhutla). Seperti dilansir detik[dot]com (13/8), lahan dan hutan seluas hampir 100 hektar di Bangka Belitung terbakar, imbas dari fenomena El Nino yang dirasakan sejak Juni lalu. Menurut data dari Badan Penanggulangan Nasional (BNPB), sudah ada 206 kejadian kebakaran hutan selama kurun tahun 2023 ini, dimana Provinsi Aceh menempati ranking tertinggi dengan kejadian sebanyak 53 kali disusul Kalimantan Tengah sebanyak 35 kali. Kebakaran hutan dan lahan yang masif ini, tak hanya mengganggu sumber penghidupan, melainkan juga berdampak pada kesehatan akibat asap yang ditimbulkan dari kebakaran.  


Selain menyebabkan ratusan hektar lahan dan hutan terbakar, kekeringan juga menyebabkan beberapa daerah mengalami krisis air bersih. Di Kabupaten Bogor, warga mengaku mengalami kesulitan air bersih karena sumur-sumur mereka mengering akibat tidak turunnya hujan selama 3 minggu terakhir. Memang, bantuan air bersih dari BPBD telah disalurkan, namun demikian mereka masih perlu merogoh kocek sendiri untuk biaya transportasi (bbcindonesia, 13/6). Hal yang sama juga dirasakan sebagian besar warga di Cimahi. Bahkan, pemerintah telah menetapkan status siaga darurat kekeringan karena banyaknya masyarakat yang mengalai krisis air bersih. Status tersebut ditetapkan sejak 27 Juli hingga 31 Oktober 2023. Selan itu, di Tasikmalaya, 5 wilayah juga terancam mengalami kekeringan. 


Sementara, di Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Mojokerto, krisis air juga dialami oleh warga tiga desa di kaki Gunung Penanggungan. Total penduduk yang terdampak krisis air ini mencapai hampir 8.000 jiwa. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah berkolaborasi dengan BPBD setempat harus mengucurkan dana hingga 200 juta rupiah guna pengadaan bantuan air bersih (kominfo[dot]jatimprov[dot]go[dot]id, 20/6/23). Senasib dengan ini, ratusan desa di belasan kabupaten dan kota di Jawa Tengah juga dilanda kekeringan. Warga desa tersebut akhirnya mengandalkan bantuan air bersih yang disalurkan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. (kompas[dot]id, 4/8/23)  


Bukan hanya di Pulau Jawa, krisis air juga dirasakan warga yang tinggal di luar Jawa. Di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, misalnya, debit embung yang biasa digunakan untuk keperluan warga sehari-hari mulai menipis. Menipisnya debit embung ini mengakibatkan warga pada akhirnya kesulitan mendapatkan air. Sementara, di Desa Tagawiti, Kabupaten Lembatas NTT, sekitar 500 jiwa dari 200 kartu keluarga juga mengalami krisis air. Demikian dengan warga Desa Bhera, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sumber air di kedua desa tersebut mulai mengering. (mediaindonesia, 22/7)


Krisis air ini nyatanya tak hanya terjadi saat musim kemarau. Warga Desa Binangun, Kota Banjar, Jawa Barat sudah bertahun-tahun mengalami kesulitan memperoleh air bersih. Sementara, air sumur yang selama ini menjadi satu satunya sumber penghidupan sudah tidak bisa digunakan lantaran rasanya asin. Warga setempat sebelumnya memang telah mendapat bantuan pemerintah untuk penggalian sumur bor. Namun,  air yang dihasilkan tetap saja asin dan kotor. Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak deretan kasus kekeringan lain yang mengantri untuk dituntaskan. 


Jika kita analisa, memang fenomena alam seperti El Nino dan perubahan iklim memegang peranan penting dalam memicu terjadinya bencana kekeringan. Akan tetapi, lambatnya mitigasi dan tidak optimalnya langkah antisipatif pemerintah membuat musibah ini kian memberi dampak yang parah pada masyarakat. Krisis air akhirnya menggejala di berbagai daerah, bahkan wilayah yang mengalaminya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Jika dahulu, problem ini hanya identik dengan daerah pedesaan dan pedalaman. Namun saat ini, masyarakat perkotaan, termasuk yang tinggal di kota-kota besar tak luput terkena dampaknya. 


Sebenarnya musibah kekeringan ini tak hanya dialami selama musim kemarau saja. Bahkan, di beberapa wilayah, faktanya, ada yang telah bertahun-tahun mengalami krisis air. Namun, tak juga mendapatkan penanganan yang tepat dari pemerintah setempat. Seperti dilansir dari data BPS 2021, tercatat ada 83.843 desa yang belum merasakan layanan air bersih, dimana 47.915 diantaranya bahkan belum mendapatkan akses sama sekali. 


Padahal, ketersediaan air bersih dari tahun ke tahun semakin menurun. Pada 2035, diperkirakan, ketersediaan air per kapita per penduduk hanya tinggal 181.498 meter kubik. Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan sumber air pada tahun 2010 lalu yang masih sebanyak 265.420 meter kubik. Penurunan ini tentu semakin mengancam masyarakat. Apalagi, masih banyak masyarakat yang saat ini belum mendapatkan sumber air bersih sama sekali. Bagaimana nasib mereka kelak jika sumber air terus berkurang? Sungguh tak terbayang, betapa sulitnya mencari sumber air nantinya. 


Sayangnya, fakta ini tak disikapi serius oleh pemerintah mengingat solusi yang ditawarkan hanya bersifat tambal sulam semata dan itu-itu saja. Bisa diamati, saat krisis air terjadi, langkah yang dilakukan pemerintah sebatas mengucurkan dana pengadaan air, distribusi air bersih, paling hanya membangun waduk atau bendungan. Padahal, langkah tersebut nyatanya tidak efektif menangani problem krisis ini. Terbukti, walau bantuan pengadaan air telah diberikan, krisis tetap saja berulang dari waktu ke waktu, bahkan dengan intensitas yang semakin luas.    


Sungguh miris mengetahui masalah krisis air terjadi di Indonesia, sebuah negara yang dikenal mempunyai sumber daya air melimpah. Bahkan, dikatakan Indonesia menyimpan 6 persen potensi air dunia. Dalam skala global, tentu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi, Indonesia terletak di garis khatulistiwa sehingga mempunyai curah hujan tinggi. Ba,gaimana bisa di negeri yang kaya sumber daya air ini, masyarakatnya mengalami krisis air? Menurut studi World Resource Institute (2015), Indonesia termasuk negara yang berisiko tinggi mengalami krisis air pada tahun 2040. 


Menilik kembali fakta krisis air sebelumnya, terdapat beberapa ketimpangan kondisi. Lihat saja saat ini, di tengah banyaknya masyarakat yang bingung mencari sumber air. Justru air minum kemasan masih ramai diperjualbelikan di toko maupun jalan-jalan. Beberapa diantaranya ada yang dijual dengan harga yang tak murah. Ini menjadi pertanyaan, bukankah seharusnya masyarakat sebagai warga negara berhak untuk menikmati air secara gratis mengingat air merupakan salah satu kebutuhan paling pokok bagi mereka?


Sayangnya, fakta tidak menunjukkan demikian. Untuk mendapatkan air minum, banyak masyarakat  harus membelinya dari perusahaan air minum yang notabene dimiliki swasta. Ini sebenarnya bukan suatu hal yang mengherankan karena berlakunya sistem ekonomi kapitalis, meniscayakan prinsip liberalisasi dalam hal pengelolaan sumber daya. Dengan adanya prinsip ini, maka sumber daya apapun, termasuk yang menyangkut hajat pokok umat, berhak dimiliki dan dikelola oleh kelompok tertentu maupun swasta dengan tujuan apapun termasuk meraih pundi-pundi keuntungan. Secara otomatis, mencegah akses masyarakat terhadap mata air. Wajar, jika tak semua bisa mengakses air bersih mengingat air telah menjadi komoditas bisnis yanguntuk mendapatkannya, masyarakat harus mengeluarkan kocek tak sedikit. 


Fakta ini diperparah dengan buruknya pengelolaan lingkungan yang dilakukan pemerintah. Sistem kapitalisme yang menghalalkan segala cara asal menghasilkan keuntungan membuat swasta selaku pelaku industri abai dengan kelestarian lingkungan. Alhasil, pembuangan dan pengelolaan limbah industri yang tak sesuai aturan, deforestasi, eksploitasi lahan besar-besaran masif dilakukan. Tindakan-tindakan tersebut tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, namun juga membuat iklim berubah. Perubahan iklim ini berkonsekuensi terhadap terjadinya musim kemarau yang memanjang dan jauh lebih kering, yang akhirnya berimbas pada masalah krisis air parah. Ironisnya, walaupun kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan lingkungan telah dibuat, namun ujung-ujungnya pemerintah dibuat mlempem saat berhadapan dengan korporasi-korporasi besar karena adanya politik uang maupun kepentingan. Walhasil, aturan tak ubahnya seperti tulisan di atas kertas yang hanya formalitas. 


Akan sangat berbeda kondisinya saat kita menilik apa yang terjadi dalam sistem Islam. Islam memiliki seperangkat aturan komprehensif yang menyediakan solusi bagi seluruh problematik umat, termasuk bagaimana mengatasi masalah krisis air. Dimulai dari bagaimana mendudukkan peran negara. Islam mengatur bahwa negara harus berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurusi seluruh urusan warga negaranya.


Rasulullah saw. bersabda : «الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»


Artinya: “Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)


Hadis tersebut secara tidak langsung menerangkan bahwa negara bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Tanggung jawab tersebut bukan hanya dalam aspek penyediaan saja, namun termasuk penanganan saat permasalahan terjadi, meliputi dorongan/support dalam pengembangan riset dan teknologi untuk mengatasi masalah hingga memastikan tak ada lagi masyarakat yang kesulitan karena permasalahan tersebut. 


Di samping itu, pemerintah Islam akan menindak tegas upaya-upaya perusakan lingkungan karena di dalam Islam, berlaku asas:


«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»


Artinya: “Janganlah memberikan kemudaratan pada diri sendiri, dan jangan pula memudarati orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni)


Jadi, tak ada lagi aturan sekadar formalitas layaknya yang marak terjadi di sistem sekuler kapitalis ini. Semua aturan didasarkan sesuai ketentuan syariat Islam dan dilaksanakan sebaik-baiknya dengan landasan keimanan dan takwa. 


Islam juga menerapkan sistem ekonomi Islam dimana sistem ini menetapkan bahwa sumber daya alam yang meliputi padang (hutan), api (sumber daya yang keluar dari perut bumi) dan air merupakan kepemilikan umum yang pengelolaannya diserahkan oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan umat, termasuk penyediaan sarana prasarana, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Pihak selain negara, termasuk swasta maupun kelompok-kelompok tertentu lainnya tidak diperbolehkan menguasai sumber daya ini termasuk mengelolanya. 


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)


Begitulah sistem Islam dalam menangani problematik di tengah-tengah umat termasuk masalah krisis air ini. Islam menggunakan mekanisme terbaik dan terlengkap untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat termasuk air, bukan solusi tambal sulam yang meniscayakan berulangnya masalah. Oleh sebab itu, sudah seharusnya sistem Islam ini tegak agar negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur dapat terwujud. Wallahualam bissawab. [Dara]