Pengap Asap di Negeri Paru-paru Dunia
AnalisisNegara wajib menjaga kelestarian hutan. Terutama hutan gambut yang sangat bermanfaat bagi paru-paru dunia. Penyimpanan air pada saat musim hujan dan sebagai sumber air pada saat kemarau tiba
Hutan gambut adalah habitat flora dan fauna yang menjaga keseimbangan alam
______________________________
Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.
Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Telah tergambar sebuah prediksi beberapa waktu lalu. Prediksi itu menyatakan bahwa suhu di wilayah Indonesia akan semakin panas. Meningkatnya cuaca ekstrem terjadi karena fenomena El Nino yang akan menyambangi tanah air.
Tahun 2023 diprediksi Indonesia merupakan negara yang akan dihantam El Nino. Para peneliti jauh-jauh hari telah meminta pemerintah untuk mengantisipasi sejak dini, termasuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Namun kini, apa yang telah diprediksikan telah nyata terjadi. Sejumlah titik api telah bermunculan di sejumlah hutan di negeri paru-paru dunia. Kalimantan, sebelumnya memang telah diperkirakan akan mengalami karhutla. Kondisi karhutla di wilayah Kalimantan akan lebih sulit diatasi dibandingkan Pulau Sumatra yang dekat dengan Samudra Hindia.
Seperti yang terjadi di Palangkaraya, sejumlah titik api kian meluas. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (PUSDALOPS-PB) Kalimantan Tengah, luas lahan yang terbakar sejak Januari sampai 12 Agustus 2023 sudah mencapai 2.975 hektar dengan total 978 kejadian yang tersebar di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. (CNN, 14/8/2023)
Sementara di Kalimantan Barat, seluas 1.962,59 Ha juga mengalami karhutla sampai bulan Juli 2023. Jumlah ini lebih rendah 13% dibandingkan tahun 2022 sepanjang periode yang sama. (PPID menlhk[dot]go[dot]id, 19/8/2023)
Negeri Ini Siap Apa?
Karhutla yang selalu berulang, seharusnya menjadi pelajaran berharga. Setiap tahunnya masyarakat selalu merasakan pengapnya asap karhutla yang memberikan gangguan pada kesehatan. Bahkan sampai pada pertaruhan nyawa.
Karhutla juga pernah membuat negeri ini dipermalukan oleh negeri tetangga yang tak luput dari pengapnya asap karhutla yang merambat ke negeri tetangga. Hal ini tampaknya cukup untuk memunculkan pertanyaan dalam setiap benak, seriuskah pemerintah menyelesaikan persoalan tersebut?
Memang, tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah solusi telah di-publish pemerintah. Untuk itu kementerian lingkungan hidup dan kehutanan dalam mengantisipasi dampak El Nino ini telah melakukan sejumlah strategi.
Mulai dari monitoring daerah rawan kebakaran lahan dan hutan hingga penetapan lima provinsi siaga darurat untuk mencegah kebakaran. Selain itu, penguatan aturan terhadap ancaman hukuman terhadap pelaku yang berkontribusi terhadap terjadinya karhutla juga dilakukan.
Namun semua strategi yang dicanangkan, ternyata tidak cukup ampuh untuk mengatasi karhutla yang setiap tahun menghampiri negeri yang terkenal sebagai paru-paru dunia ini. Negeri dengan hutannya yang luas dan hijau ini harus kehilangan lahan sedikit demi sedikit, diserap api yang tanpa bosan menyambar hutan dan lahan setiap tahunnya.
Ulah Tangan Manusia Perparah Karhutla
Dr. Erwin Permana, seorang pengamat kebijakan publik dari Indonesian Justice Monitor (IJM), pernah mengungkapkan istilah segitiga api yaitu oksigen, bahan bakar dan pemantik api. Tiga hal itu merupakan syarat terjadinya kebakaran. Oksigen dan bahan bakar, sangat melimpah di tengah hutan, sedang yang bisa memantik api, adalah manusia. (Khilafah News, 3/8/2022)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat, bahwa 99% lebih kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh ulah manusia. Tepatnya, yang terjadi bukanlah kebakaran hutan, tapi hutan dibakar.
Salah satu bukti atas hal itu adanya tuntutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Kumai Sentosa (PT KS). PT KS diminta pertanggungjawabannya atas kebakaran lahan di lokasi kebun sawit seluas 3.000 Ha yang telah berdampak luas terhadap lingkungan hidup.
Kapitalis Terus Menebar Api Karhutla
Sejatinya solusi yang digulirkan pemerintah hanya berupa retorika semata. Karena setiap penyelesaian persoalan hanya menyentuh permukaannya saja, tidak sampai ke akarnya. Sementara poin penting dari permasalahan karhutla sebenarnya terletak pada lemahnya pemerintah memutus rantai keserakahan tangan-tangan kapitalis dalam meraup keuntungan.
Kapitalis terus melenggang menebar titik api dan membabat habis lahan dan hutan untuk kepentingan industri. Seperti, kayu, kertas, lahan perkebunan (minyak sawit), sampai tambang. Bahkan undang-undang yang ada turut mendukung mereka.
Padahal seluruh aktivitas yang dilakukan oleh kaum kapitalis memberikan dampak kerusakan yang luar biasa. Namun mereka selalu terbebas dari laporan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Kalaupun ada, itu hanya bersifat formalitas saja.
Di sisi lain, upaya pemerintah untuk memberikan sanksi terhadap siapa saja yang telah berkontribusi terhadap karhutla tampaknya hanyalah pepesan kosong yang tak pernah nyata. Hal ini terbukti dengan adanya penolakan MA terhadap permohonan kasasi seorang jaksa atas kasus karhutla di Kalteng seluas 2.600 hektare.
Dengan putusan yang diketok pada 3 November 2021 tersebut, perusahaan sawit inisial KS tetap bebas dari tuntutan ganti rugi kebakaran hutan Rp935 miliar, yang akan digunakan untuk pemulihan serta pengaktifan kembali fungsi lahan dan ekologis.
Ironis memang, pengadilan pun seolah tidak punya kekuatan untuk menjerat para kapitalis yang telah menebar kerusakan di bumi Pertiwi. Sangat jarang kasus-kasus yang sampai ke meja pengadilan. Kalaupun ada sering berujung tak jelas dan menguap begitu saja. Memang ada yang tidak lolos hukum, namun untuk memutuskan satu kasus saja membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Sistem kapitalisme yang meniscayakan negara hanya bertindak sebagai regulator bagi siapa saja yang ingin meraup keuntungan, memosisikan pemerintah tunduk pada kepentingan kapitalis. Para pemilik modal lebih berkuasa dan bisa terus melenggang, melakukan apa saja sesuai keinginan mereka. Keputusannya tergantung apabila ada keuntungan yang bisa diraih, meskipun hal itu akan merugikan rakyat.
Pada kesempatan lain, di tengah ketidakmampuan negara mengatasi berbagai persoalan karhutla, negara harus berhadapan dengan tekanan internasional yang mengatasnamakan perubahan iklim dan pemanasan global. Negara harus memenuhi berbagai kewajiban yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Tentu saja negeri ini menjadi tidak berdaya dengan tekanan internasional ini.
Perlu Perubahan Paradigma
Kerusakan yang terjadi tidak terlepas dari paradigma sekuler kapitalistik neoliberal yang digunakan negeri ini. Paradigma yang berkelindan dengan sifat tamak dan niradab ini, menutup celah terhadap nilai-nilai kebaikan.
Tidak terkecuali pada lingkungan yang terbukti berdampak besar dan berjangka panjang pada ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, menghentikan karhutla, harus dimulai dengan perubahan paradigma. Mencampakkan sekuler kapitalistik neoliberal, menggantikannya dengan Islam.
Syariat Islam telah menetapkan hutan merupakan kepemilikan umum bukan kepemilikan invidu atau negara. Ketentuan ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw..
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ
Artinya :
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembala, dan api. Harganya (menjualbelikannya) adalah haram" (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Hanya saja karena pemanfaatan dan pengelolaan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang perorang serta membutuhkan keahlian, sarana dan dana yang besar, maka negara yang diberi amanah untuk mengelolanya.
Negara memasukkan pendapatan hasil hutan ke baitulmal sebagai kepemilikan umum. Kemudian mendistribusikan sesuai dengan kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariat, berupa pendidikan dan kesehatan gratis. Sebab negara melakukan pelayanan bukan berbisnis dengan rakyat.
Negara wajib menjaga kelestarian hutan. Terutama hutan gambut yang sangat bermanfaat bagi paru-paru dunia. Penyimpanan air pada saat musim hujan dan sebagai sumber air pada saat kemarau tiba. Selain itu, hutan gambut adalah habitat flora dan fauna yang menjaga keseimbangan alam.
Negara wajib melakukan penjagaan hutan dan pengelolaan hutan. Fungsi pelaksanaan operasional pengawasan ini, dijalankan oleh lembaga peradilan yaitu muhtasib (Qadhi Hisbah), yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum, termasuk pengelolaan hutan.
Qadhi muhtasib menangani pencurian kayu di hutan dan bila ada yang melanggar maka Khalifah memberikan hukuman berupa hukuman ta'zir kepada pelaku. Kadar atau jenisnya hukuman ta'zir ditentukan oleh kepala negara sehingga mampu memberikan efek jera dan tidak dicontoh oleh yang lain.
Pengaturan yang terperinci tentang kepemilikan, kesadaran umum menjaga lingkungan dan sanksi yang tegas bagi pelaku kemaksiatan akan mampu menuntaskan kasus karhutla. Inilah mekanisme institusi Islam Kaffah yang diwariskan Rasulullah saw. dalam mengelola hutan yang akan menghindarkan dharar bagi masyarakat dan lingkungan. Wallahualam bissawab. [SJ]